“Apa maksudnya?” tanyaku pada Auriga saat mobil melaju.
“Mama ganti identitas,” ucap Auriga dengan rahang yang mengeras.
“Tandanya beliau masih hidup?” tanyaku memastikan.
“Tapi mengapa?” Auriga mulai berbicara sendiri. Dahinya berkerut berpikir keras.
“Andrea, apa ada hubungannya dengan Little Namja?” ucapku membuat teori yang memungkinkan.
“Namja adalah bahasa Korea, dan itu artinya pria, dan itu seharusnya menjadi nama brand yang akan dikeluarkan Mama, apa mungkin Little Namja buatan Mama?” Auriga mulai berteori.
“Kalau begitu kita perlu membuka Little Namja bukan?” aku bertanya sekaligus mengusulkan rencana yang memungkinkan.
“Kapan alat penyadap datang?” tanya Auriga sambil menoleh ke arahku.
…
Perpisahan yang aku kira akan berlangsung lama ternyata berakhir terlalu cepat. Aku kembali lagi ke Aquila Mansion. Tempat ini masih sama dari terakhir kutinggalkan. Masih sunyi, dan dingin. Saat ini aku sedang melakukan persiapan terakhir untuk menembus tembok Little Namja. Besok pagi Auriga akan membawaku pergi ke tempat misterius Lyan Andrea itu. Entah apa yang akan keduanya bicarakan di ruangan kaca itu, aku hanya perlu melakukan misiku.
Visil sedari tadi mengotak-atik alat penyadap yang barusan datang. Pria itu kembali dengan sikap seriusnya. Aku mengamatinya dari kasurku. Rasanya sangat membosankan hanya menunggu seseorang jadi aku memilih untuk keluar kamar mencari udara segar.
Pemandangan di rooftop sama sekali tak berubah kecuali keberadaan Aquila. Tidak biasanya gadis itu menghabiskan waktu disini. Langkah kakiku memilih untuk berhenti di sebelahnya. Gadis itu menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
“How's the US?” tanya Aquila lembut.
“Kau bertanya sebagai mantan atasan atau teman?” tanyaku balik.
“Keduanya,” jawab Aquila tanpa menoleh padaku.
“US masih sama seperti yang terakhir kali, bangun pagi lalu ikut Auriga menjalankan misi, bekerja sama dengan Visil, begitulah, tidak terlalu spesial,” ucapku.
“Sebagai teman?” tanya Aquila menuntut.
“Tidak mengesankan seperti yang pertama kali,” jawabku lagi.
“Mengapa?” tanya Aquila lagi.
“Karena aku naik pesawat mungkin?”
“Memang apa bedanya?” tanya Aquila mengejek lalu mengendus.
“Saat perjalanan pertama kali aku berlayar menuju Amerika. Auriga menunjukan padaku rasi Aquila di lautan, itu sangat indah,” jawabku jujur.
“Ah, aku iri. Aku sendiri bahkan tidak pernah melihat rasi itu secara langsung,” ucap Aquila lesu.
“Mama masih hidup,” ucapku setelah keheningan sekian lama.
“Aku tahu, bukankah aku sudah menebaknya sejak awal?” Aquila menanggapi.
“Mengapa kau tidak berusaha mencarinya?” tanyaku penasaran.
“Karena aku bukan Auriga,” ucap Aquila pelan nyaris tak terdengar.
“Auriga lahir sebagai versi laki-laki seorang Sriwahyuni Aretta, dan aku dilahirkan sebagai versi perempuan Thomson Walsh, kau mengerti?”
“Jadi kau merasa semua tanda ini tidak ditinggalkan untukmu?” tanyaku menyimpulkan.
“Aku masih terlalu muda untuk menghadapi semua ini, aku bahkan tidak punya teman,” renung Aquila murung. Benar perkataan gadis ini. Usianya bahkan baru 17 tahun tapi dirinya sudah bekerja layaknya seseorang di akhir dua puluh. Aku tak tahu bagaimana rasanya menapaki jalan yang tidak pernah dilewati orang lain. Pasti berat karena tidak ada jejak yang dapat dijadikan patokan.
“Apa kau menyesal terlahir di posisi ini?” tanyaku. Aquila tak langsung menjawab. Gadis di sampingku ini terdiam beberapa saat sambil memandang langit.
“Anehnya tidak,” jawab Aquila lembut sambil menatap ke langit. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Aquila terlihat sangat manis dengan senyuman kecil itu.
…
Matahari kembali terbit pagi ini. Aku bangun lebih cepat dari matahari pagi ini. Udara di sekitar pulau lebih dari sekedar dingin. Aku mempercepat langkahku berlari. Entah mengapa pagi ini aku terbangun dengan suasana hati sangat baik. Biasanya aku terlewat malas untuk sekedar bangun pagi tapi entah mengapa pagi ini aku malah sudah berlarian. Aku menatap matahari yang mulai naik mengisi langit di sebelah timur. Sama seperti matahari, aku harus melakukannya perlahan.
Tubuhku lebih segar setelah mandi. Kini aku berdiri di depan cermin mengamati penampilanku. Sama seperti biasanya. Setelah jas berwarna hitam. Kemeja putih, dan sepatu pantofel hitam. Aku memasang earpiece di telingaku kemudian membenarkan posisi mic di lengan jas. Aku akan berbicara dengan Auriga lewat alat ini.
“Kau sudah tampan tenang saja,” ucap Visil menyebalkan seperti biasanya. Aku dapat melihat wajahnya yang mengejek dari pantulan kaca. Aku tak menjawab, aku hanya diam memandang Visil malas.
“Kau akan bicara dengan Auriga lewat alat itu?” tanya Visil dengan mata yang membesar. Aku mengangguk sambil menatapnya lewat kaca.
“Kalian ini bodoh atau bagaimana?” tanya Visil mengejek.
“Lalu?” tuntunku santai.
“Kalian tidak bisa menggunakan itu, mereka akan mencurigai kalian,” ucap Visil. Benar juga apa yang dikatakan Visil. Aku tidak bisa menggunakan earpiece ini untuk berbicara dengan Auriga.
Aku terus menatap pantulan diriku di cermin mencari jalan keluar. Aku hanya memiliki waktu setengah jam untuk memikirkan perubahan rencana. Aku menatap Visil yang sedang memainkan ponsel sambil bersandar pada tembok dari cermin. Sepertinya aku tidak perlu waktu lama menemukan jalan keluar. Aku tersenyum menatap cermin bangga pada otak cerdasku. Ah! Bukankah ruangan Little Namja kebanyakan terbuat dari kaca, dan cermin?
...
Seperti rencana, aku berjalan di belakang Auriga menyusuri lorong menuju Little Namja. Dinding lorong memang tidak terbuat dari cermin ataupun kaca tapi dinding lorong ini dapat membuat pantulan. Setelah mencapai ujung lorong, aku berhenti membiarkan Auriga jalan sendiri. Pintu kaca terbuka, dan Auriga masuk ke ruangan menemui Lyan Andrea. Aku berdiri di depan pintu kaca dengan pengawal Lyan Andrea. Aku berdiri membelakangi ruangan kaca itu tapi aku tetap dapat melihat interaksi dua manusia di dalamnya. Tembok kaca di depanku membuat pantulan kejadian di dalam ruang kaca di belakangku ini.
Sepertinya ini saatnya untuk melakukan misiku. Aku mulai berjongkok perlahan saat Auriga mulai berbicara dengan Andrea. Pengawal di sebelahku melirikku sekilas. Aku membenarkan tali sepatu yang lepas -tentunya ini sudah aku rencanakan. Setelah memastikan lewat dinding cermin di depanku bahwa pandangan pengawal Andrea tidak padaku, aku merogoh saku jas kemudian menempelkan alat penyadap itu pada bagian bawah pintu kaca. Setelah memastikan alat itu menyala aku segera kembali berdiri.
Aku berdiri cukup lama sebelum akhirnya melihat Auriga mulai merogoh saku jasnya. Aku melirik pengawal Andrea yang ternyata sedang mengawasi gerak-gerik Auriga dari kaca. Aku berdehem pura-pura batuk memancing perhatian. Pengawal di sebelahku menoleh.
“Do you need some water?” tanya pengawal Andrea itu menawarkan air minum.
“I’m fine,” jawabku kemudian berdehem lagi. Aku kembali melihat kaca. Tangan Auriga sudah kembali ke atas meja. Auriga berhasil menempel alat penyadap itu pada bawah meja. Aku tersenyum tipis melihatnya.
…
Ruang IT kembali terlihat hidup. Ada Visil dengan dua bawahannya mengamati layar kecil di depannya yang berisi gelombang-gelombang yang asing bagiku. Harry berdiri mengamati layar besar di depannya. Aku sendiri berdiri dekat pintu menunggu jika ada perkembangan dari alat penyadap. Auriga tadinya berdiri di sampingku tapi kini mulai melangkah keluar ruangan. Aku mengikutinya keluar. Auriga tidak kemana-mana rupanya hanya keluar ruangan lalu bersandar di tembok depan ruangan.
“Bolehkan aku bertanya?” aku meminta izin. Auriga melirikku lalu mengangguk.
“Mengapa tidak tanya saja pada Mister Thomson?” aku mengajukan pertanyaan sesopan mungkin. Ini terasa aneh saat aku menyebut Thomson dengan embel-embel seperti itu.
“Papa? Aku sudah pernah bertanya,” jawab Auriga.
“Hasilnya?” tuntuntku.
“Pria itu tidak peduli, tapi aku yakin dia pasti tahu sesuatu,” ujar Auriga sambil menatap kosong tembok di depannya.
Tak banyak yang terjadi kemudian. Tidak ada sedikitpun titik cerah yang didapatkan. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Lyan Andrea menemukan alat penyadap kemudian membuangnya, atau Lyan Andrea memang sama sekali tidak ke Little Namja. Seminggu berlalu sangat cepat tanpa hasil. Menghilangnya Lyan Andrea menimbulkan tanda tanya dalam benakku. Biasanya Lyan akan mengadakan pertemuan di Little Namja, tidak mungkin jika selama seminggu Lyan Andrea tidak mengadakan pertemuan.
Ini hari kedelapan setelah aku meletakkan alat penyadap itu. Lagi-lagi aku bangun tanpa hasil. Tubuhku seakan sudah lelah menunggu tanpa hasil. Aku bergegas mandi setelah melihat matahari mulai menyusup ke dalam kamar. Visil duduk di atas kasur saat aku selesai mandi. Dahiku berkerut melihat Visil di kamarku.
“Kau mandi seperti wanita, aku susah disini setengah jam,” komentar Visil dengan wajah cemberut. Ini sangat tidak nyaman. Aku keluar kamar mandi hanya menggunakan handuk yang menutupi pinggang.
“Mengapa kau disini?” tanyaku tanpa menanggapi perkataan Visil sebelumnya. Aku berjalan menuju lemari pakaian.
“Pagi ini Lyan Andrea membuka Little Namja,” ucap Visil membangkitkan semangatku. Aku mengambil kemeja hitam, dan celana bahan lalu berjalan kembali ke kamar mandi.
“Apa yang kita dapatkan?” tanyaku berseru dari kamar mandi dengan semangat.
“Tidak ada,” ucap Visil lesu. Kelesuan itu langsung menular padaku. Aku berdecak seketika. Aku menyisir rambut dengan tangan karena frustasi. Tiba-tiba ada rasa menyesal yang menyusup karena telah memilih Auriga hari itu. Jika aku berada di sisi Aquila, pekerjaanku tidak akan seperti ini.
“Kembalilah, beritahu perkembangan lainnya,” perintahku dari dalam kamar mandi.
“Apa kau tak ingin tahu apa yang kami dengar?” tanya Visil misterius. Benar juga, tapi sepertinya sebuah kesia-siaan mendengar ucapan Visil di awal. Aku hanya diam tidak menanggapi.
“Dia bernyanyi,” lanjut Visil kemudian tertawa. Aku mendengus mendengarnya. Sungguh konyol.
“Apa yang akan kau lakukan setelah mendapat sandinya?” tanyaku sambil keluar dari kamar mandi. Visil diam memandang jendela beberapa saat sebelum menjawab.
“Aku tinggal memasukannya, dan kita bisa melihat isi Little Namja,” ucap Visil yang terdengar sangat mudah. Terdengar seperti membuka surel.
“Tidak ada cara lain?” tanyaku menuntut.
“Meretasnya tapi sia-sia. Firewall-nya sangat kuat. Tapi aku menemukan sesuatu yang aneh. Untuk apa menciptakan firewall sekuat itu jika semua orang yang memiliki password bisa membukanya? Bukankah itu aneh?”
“Bagaimana maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Kita bisa membuka data Little Namja jika memiliki password, tidak ada pengamanan ketat menanyakan apapun selain password. Website Little Namja sengaja dibuka di deep web, dan itu bisa dibuka oleh siapapun dengan mudah. We know the password, then boom, it’s open,” Visil berusaha menjelaskan. Perkataan Visil ada benarnya. Ada kemungkinan data yang ada di dalam Little Namja hanyalah pancingan. Apa yang sebenarnya Little Namja sembunyikan? Ah, bukan. Siapa sebenarnya Little Namja? Aku yakin Andrea bukan satu-satunya orang dibalik Little Namja. Atau mungkin saja benar Sriwahyuni Aretta, a.k.a Nyonya Walsh?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Eka azzahra
next Thor
#ArabellaMaheswari
2020-09-04
2