“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu dengan nada yang….khawatir, mungkin, entahlah.
“Chris dijadikan tahanan,” jawabku dengan nada lelah kemudian kesunyian datang.
“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Aquila lagi.
“Dia di kamarnya, Chris….”
“Bukan dia! Kamu, R!” seru Aquila memotong ucapanku. Tatapan gadis itu sangat lemah. Aku tak menjawab. Aku hanya menatap Aquila dalam. Wajah gadis itu marah. Tidak. Aquila khawatir.
“Aku hanya perlu tidur,” ucapku pelan kemudian berjalan perlahan. Aquila menahan pergelangan tanganku saat tubuh kami sejajar.
“Tetaplah melindungi aku,” ucap Aquila. Aku menoleh menatapnya tak mengerti.
“Saat kau harus memilih antara aku, dan Auriga. Pilihlah aku,” bisik Aquila menatap lurus ke depan. Aku dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tak menjawab ucapannya. Aku menyentuh tangan Aquila yang menahan pergelangan tanganku.
“Sebaiknya kau kembali ke kamar,” ucapku sambil melepas tangannya. Selanjutnya gadis itu hanya menyeringai lalu tertawa. Kaki Aquila mulai melangkah menyusuri lorong setelahnya sedangkan aku menatapnya menjauh.
…
Aku kembali bangun dengan perasaan yang sama dengan kemarin. Tubuhku masih lelah. Aku melirik jam di atas nakas. Ini sudah siang, nyaris sore. Aku meletakkan kembali kepala pada bantal. Aku menoleh ke arah lain. Troli kayu itu ada lagi. Segera aku bangun kemudian menghampiri troli itu. Ada sepiring pasta dengan saus krim. Mimpi indah tiga hariku yang sempat tertunda ternyata berlanjut, betapa menyenangkannya. Aku tidak mengerti mengapa pengawal sebelumnya mengundurkan diri. Kemewahan ini terasa berlebihan untuk seorang pengawal. Masa bodoh dengan pengawal sebelumnya, yang terpenting aku menikmati semua ini.
Visil tiba-tiba masuk saat aku sedang menikmati makananku. Ahli komputer itu tidak sedang bertugas sepertinya, terlihat dari kaos putih yang dikenakannya. Bajunya terlalu kasual untuk sekedar absen wajah. Visil langsung saja duduk di sofa tanpa permisi.
“Apa kau tak tahu sopan santun?” tanyaku sinis setelah menelan pasta.
“Kita bukan lagi orang asing, kurasa sopan santun sudah tak berlaku,” ucapnya santai sambil memainkan ponsel. Aku mendengus kesal membalas ucapannya. Kembali aku menyuapkan pasta ke dalam mulut, enggan mengurusi Visil.
“Ternyata benar, kau adalah kesayangan,” ucap Visil iri. Aku mengangkat wajah kemudian menatap Visil dengan satu alis kunaikkan.
“Kau tak tahu?” tanya Visil dengan nada yang mulai dinaikkan. Aku hanya menatapnya tanpa berkomentar sedikitpun.
“Tadi pagi aku mendengar bahwa Aquila melarang Auriga untuk menggunakanmu lagi,”
“Ah, dan juga Chris tidak akan lagi mengikuti kalian karena Chris dipindahkan untuk bekerja di kantor utama bersama Auriga,”
“Dari mana kau tahu?” tanyaku.
“Aku mendengar mereka saat aku mengecek CCTV rumah,”
“Kau menguping,” kataku.
“Aku tidak sengaja mendengarnya,” elak Visil tak terima.
“Terserahlah!” seruku kesal. Visil kemudian bangkit, dan melihat-lihat isi rak buku di kamarku.
“Mengapa kau kemari?” tanyaku masih dengan nada kesal.
“Aku hanya penasaran seperti apa kamar pengawal kesayangan,” ucap Visil enteng, dan menyebalkan.
“Kalian bergosip di belakangku, ya?”
“Kadang, kau ingin ikut?” jawab Visil dengan nada yang sangat menyebalkan. Aku melempar tatapan membunuh padanya. Visil terkekeh lalu keluar dari kamarku. Orang itu memiliki kepribadian yang berbeda. Saat bertugas Visil sangat serius, berbeda dengan saat ini.
Aku lumayan penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi disini saat aku, dan Aquila melarikan diri di Perancis. Aku tak pernah mengetahui kebenarannya. Nasib seorang pengawal. Kau tak tahu apakah yang terjadi pada atasanmu. Mungkin saja Keluarga Walsh adalah orang jahat, kita tak pernah tahu bukan?
Sebenarnya aku tak ingin terlalu memikirkan perkataan Visil, hanya saja kini otakku tidak bisa dibohongi. Aku berulang kali memikirkan perihal pengawal kesayangan. Seharian aku hanya berdiam di rooftop rumah sambil memegang buku. Aku hanya memegangnya karena otakku berkelana sendiri. Rasanya aku menyia-nyiakan liburanku dengan hanya memikirkan itu.
…
Liburan telah usai. Aku kembali pada pekerjaanku sebagai pengawal Aquila. Seperti dulu, aku akan menunggu Aquila sarapan kemudian mengikutinya kemanapun seharian penuh. Ada dua hal yang berbeda kali ini. Pertama, tidak ada Chris. Kedua, aku menyetir sendiri. Sisanya, sama. Aquila tidak semengerikan saat pertama bertemu namun tidak juga semanis seperti hari aku menyelamatkan Chris. Semuanya normal. Kemudian semuanya berjalan seperti rutinitas. Terkadang aku menemani Aquila menemui klien, atau sekedar bercengkrama dengan penuh kepalsuan.
Satu purnama akhirnya berlalu. Seperti biasanya, Aquila masuk ke kamarnya setelah makan malam. Aku kembali ke kamarku juga setelah Aquila. Malam ini Auriga kembali memanggilku. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Auriga memintaku ke ruang kerjanya di sayap kiri bangunan. Ruangan ini berbeda dari desain rumah keseluruhan. Ruangan ini memiliki desain industrial. Temboknya sengaja tak dicat. Langit-langit ruangan juga berwarna hitam semen. Ruangan ini juga jauh lebih dingin dibanding ruang lainnya.
“Duduklah!” perintah Auriga saat aku masuk. Kemudian aku duduk di salah satu sofa di ruangan itu. Auriga bangkit dari kursi kerja, dan duduk di sofa yang diletakkan letter-L denganku.
“Sudah lama kita tidak bertemu,” bukanya.
“Mengapa Anda memanggil saya?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Kartel yang mengejar kalian kemarin sudah tertangkap, mereka balas dendam tanpa perhitungan, tenang saja kartel itu tak akan berurusan lagi dengan kita,” jelas Auriga. Aku hanya mengangguk menanggapinya.
“Aku perlu bantuanmu,” ucap Auriga lagi, kali ini sedikit memelas.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku.
“Kita lakukan ini sebagai teman,” Auriga membuka keinginannya.
“Kau tahu bukan bahwa Mama bunuh diri walaupun begitu hingga saat ini tak satupun dari keluarga Walsh mengetahui keberadaan makam Mama. Itu semua karena Mama sudah menulis surat wasiat, dan tertulis bahwa Hedrig Melton adalah pihak yang berhak atas mayatnya,” lanjut Auriga. Aku mengerutkan dahi tak mengerti.
“Mengapa begitu?” tanyaku penasaran.
“Melton, dan Mama sudah bersahabat sejak masuk kuliah. Melton seperti keluarga bagi keluarga Walsh hingga hari kematian Mama,” jawab Auriga lalu menyandarkan punggung ke sofa.
“Mayat Mama ditemukan di kamar. Saat itu aku sedang belajar menjalankan bisnis keluarga dengan Papa di Amerika, sedangkan Mama disini. Hanya ada Aquila, namun Aquila masih terlalu kecil untuk mengingat dengan jelas hari itu,” cerita Auriga sedih.
“Jadi apa yang harus saya lakukan?” tanyaku lagi.
“Aku ingin kau untuk memilih pihakku,” ucap Auriga rendah setengah berbisik.
…
Tidak ada yang spesial setelah malam itu. Semua rutinitas kembali seperti semula. Hari dengan cepat berlalu, terasa sangat cepat. Tentu saja permintaan Auriga terus terngiang di kepalaku. Aneh memang seorang pengawal baru diperebutkan dua saudara tapi itu kenyataannya.
Hari ini aku kembali dengan hari-hari tenang. Tidak ada orang kartel yang mengincar. Tidak ada keadaan yang memaksa aku mengeluarkan pistol. Semakin hari Aquila juga semakin menerima kehadiranku. Antara karena tak ada lagi Chris atau agar aku memilih untuk tetap disisinya, hanya dirinya yang tahu.
“Nanti malam aku akan makan di luar, kalian tidak perlu menyiapkan makanan untukku,” perintah Aquila sebelum berdiri, dan meninggalkan ruang makan. Pagi berjalan seperti biasanya, setelah meninggalkan ruang makan Aquila akan berdiri di dek speedboat hingga mencapai pelabuhan pulau utama.
“Apa aku boleh tahu mengapa kalian tinggal di pulau pribadi? Bukankah ini menyulitkan karena harus bolak-balik setiap hari?” tanyaku saat speedboat melaju.
“Awalnya karena Papa kecewa kepada Mama tapi setelah pemeriksaan, aku adalah anak kandungnya tapi kenyataan itu sama sekali tidak merubah sikap keduanya,” jawab Aquila.
“Maaf, aku tidak bermaksud,” ucapku tak enak.
“Itu hakmu untuk tahu, kau berhak tahu pada orang seperti apa kau bekerja,” balas Aquila menghiraukan permintaan maafku. Aku menunduk mendengarkan tuanku berbicara.
“Kau tahu bukan bahwa Mama bunuh diri. Aku ada disitu tapi aku tak terlalu ingat,” Aquila membuka ceritanya.
Setiap orang memiliki definisi tenang yang berbeda. Bagi seorang Aquila ketenangan adalah dimana kedua orangtuanya berada di tempat yang berbeda. Hari itu Papa, dan Auriga pergi ke Los Angeles. Mama ada di kamarnya sedangkan Aquila di taman belakang dengan pengawalnya, Jacob. Awal musim panas yang indah. Matahari bersinar terang, angin berhembus menerbangkan anak rambut Aquila, dan juga kolam renang yang luas. Definisi musim panas yang sempurna. Gadis kecil itu menikmati matahari musim panas dengan sangat riang. Semuanya tenang hingga jeritan pelayan Mama.
Awalnya Aquila tak ingin memperdulikannya tapi melihat Jacob yang mulai menjauh membuat gadis kecil itu mengikutinya. Tidak terlalu jelas memang ingatan itu tapi Aquila melihat Mama yang berbaring di atas kasur dengan salah satu pelayan yang menangis. Aquila tak berani mendekat. Gadis lima tahun itu bersembunyi di balik kaki pengawalnya. Hari itu juga seorang teman Mama membawa Mamanya pergi. Harry, dan teman Mama ribut besar tapi Harry kalah. Dua hari setelahnya Papa, dan Auriga baru pulang. Hari terus berlalu seakan Mama memang tak pernah ada. Aquila akhirnya tumbuh menjadi remaja tanpa memori yang baik tentang orang tua.
“Begitulah,” ucap Aquila mengakhiri ceritanya kemudian tersenyum memandang lautan lepas.
“Apa kau pernah merindukan Mama?” tanyaku berhati-hati.
“Entahlah,” jawabnya sambil mengangkat pundak.
“Lalu mengapa Auriga seakan tidak bisa melepas Mama?” tanyaku lebih dalam lagi.
“Auriga percaya ada hal yang janggal karena itu dia tidak terima, kau tahu Auriga sepuluh tahun lebih tua dariku jadi dia lebih mengerti saat itu,”
“Bagaimana jika Mama masih hidup?” tanyaku berandai-andai.
“Aku juga percaya bahwa Mama masih hidup,” ucap Aquila yang cukup mengejutkan diriku. Gadis itu kemudian menghembus nafas panjang kemudian melanjutkan ucapannya.
“Aku menemukan cincin pernikahan Mama di kasur kamarku setahun setelahnya. Dan juga aku melihat surat cerai mereka. Di situ tertulis bahwa mereka cerai saat Mama masih hidup di tahun 1999, dua tahun setelah Mama bunuh diri, Sriwahyuni Aretta, dan Thomson Walsh cerai saat keduanya masih hidup,” aku mengerutkan dahi menatap Aquila. Gadis di sebelahku ini hanya tersenyum tipis sambil menatap lurus ke lautan.
Setiap orang memiliki definisi tenang yang berbeda. Bagi seorang Aquila ketenangan adalah dimana kedua orangtuanya berada di tempat yang berbeda. Aku juga berpikir yang sama setelah mendengar ceritanya saat itu tapi kini aku memikirkannya lagi. Itu bukan definisi ketenangan, itu definisi kesepian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
🌸Ar_Vi🌸
semakin penasaran aku tho.. maraton dari sore thor.. 😍😍
2020-12-19
1
supri yanti
like.👍
lanjut terus Thor 🤗
keren 😊
salam dari 'love and life'
di tunggu feedback nya ya😀
2020-08-28
1
Naiina Setyanii
Yeeyy 3 like datang untuk karya terkerenmu dari "Tentang Kita"👍
Semangat selalu thor, ayo next up💕
2020-08-23
1