Pasal XIX : Hari-Hari Terbaik

Aku kembali berdiri di dek atas setelah makan malam. Ingatanku terlempar ke satu tahun yang lalu saat aku berlayar menuju misi pertamaku bersama Auriga. Aku mendongak menatap langit mengingat percakapan tentang rasi Aquila yang muncul di musim panas. Aku tersenyum menatap langit yang dihiasi oleh bintang. Dengan mata telanjang aku mampu melihat indahnya rasi Aquila. Dia tetap ada disana, di waktu yang sama seperti tahun lalu. Cukup lama aku terpana oleh keindahan langit malam.

“Siapa Aquila yang lebih cantik? Aku atau rasi di langit?” Tanya Aquila yang aku sendiri tidak tahu kapan datangnya. Suara gadis ini terdengar berbeda dari sebelumnya. Mungkin lebih menggemaskan. Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya tapi yang pasti dia menjadi gadis tujuh belas tahun pada umumnya. Aku tersenyum menatap Aquila yang memandang langit.

“Apa kau bahagia?” Tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaan Aquila.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ucap Aquila tak suka. Aku mendengus geli mendengarnya. Aku mengusap kepalanya yang tak lebih dari pundakku. Tanganku lalu turun merangkul pundaknya. Aku dapat mendengar Aquila mendengus saat tanganku menyentuh pundaknya. Aku terkekeh geli sambil menurunkan tangan dari pundaknya.

“Apa jawabanku akan mempengaruhi suatu hal nantinya?” Tanyaku memastikan sebelum menjawab pertanyaan Aquila.

“Bisa jadi,” jawab gadis di sampingku ini cuek.

“Lebih cantik rasi,” ucapku yakin. Gadis di sebelahku kemudian tersenyum -reaksi yang tidak aku duga sekalipun. Aquila lalu merapatkan tubuhnya padaku. Kepalanya disandarkan pada lenganku -yang tentu saja membuatku terkejut setengah mati. Menyentuh kepalanya saja membuat jantungku berdebar kencang apalagi ini.

“Jangan terlalu tegang, tidak ada Auriga disini,” bisik Aquila santai.

“Bagaimana jika ada yang melaporkannya?” Tanyaku takut.

“Kau tahu apa yang lebih buruk dari itu?” Tanya Aquila sambil menatap mataku. Tatapannya misterius, dan ketakutan. Aku mengangkat sebelah alis menanggapinya.

“Bekerja untuk orang yang telah membunuh orang tua kandungmu,” ucap Aquila pelan namun mengintimidasi. Seketika aku terlempar pada kenyataan itu kembali. Aku menunduk, menatap kosong lantai yang kupijak.

“Apa kau menyesalinya kini?” Tanya Aquila lagi. Apa aku menyesal? Tidak, aku sama sekali tidak menyesal. Aku bahkan sangat menikmatinya.

“Aku sama sekali tidak menyesalinya, aku bahkan menikmatinya, sangat menikmatinya,” jawabku santai.

“Jadi kau akan tetap melanjutkan kontrakmu?” Tanya Aquila lagi, kali ini lebih menuntut.

“Kemungkinan besar,” ucapku sambil menaikkan kedua bahuku. Aku belum benar-benar memikirkan hal itu tapi jika aku berhenti, pekerjaan apa yang bisa aku dapatkan?

“Apa berpergian denganku termasuk salah satu alasannya?” Tanya Aquila menuntut.

“Apa aku benar-benar harus menjawabnya?” Aku bertanya balik dengan malas. Aquila terkikik geli mendengar jawaban malasku. Aquila kembali menatap langit malam.

“Setelah delapan belas tahun hidup, ini pertama kalinya aku melihat kembaranku,” ucap Aquila.

“Kau bahkan belum benar-benar delapan belas tahun,” komentarku menyindirnya. Aku tidak salah. Gadis itu baru berulang tahun minggu depan.

“Ah! Benar juga! Aku belum setua dirimu,” jawab Aquila tak mau kalah. Aku mendiamkan ledekan gadis itu. Percayalah itu benar-benar menyebalkan. Keheningan mulai mengisi ruang yang ada. Suara air laut berpadu dengan udara musim panas memenuhi indra pendengaran.

“If I ask you to leave, will you leave?” Tanya Aquila. Suasana mendadak sendu. Aku menghirup nafas panjang sebelum menjawab, “I think I will.”

“What if I ask you to stay, would you stay?” Tanya Aquila lagi.

“Mengapa kau menanyakan itu?” Tanyaku sendu.

“Jadi kau pernah berpikiran untuk pergi.” Itu merupakan sebuah pernyataan yang tidak dapat kuingkari. Aku sering memikirkan itu meskipun pada akhirnya aku tidak menemukan keinginan untuk benar-benar pergi. Aquila duduk di lantai dengan kaki yang dikeluarkan melalui pagar yang membatasi sehingga kakinya tergantung di udara.

“Aku akan menunggu jawabanmu disini,” ucap Aquila cemberut. Aku jarang melihat Aquila dengan sikap seperti ini, sungguh menggemaskan. Aku terkekeh geli sambil ikut duduk di sampingnya.

“Apa kau pernah melihat matahari terbit?” Tanya Aquila lagi.

“Beberapa kali,” jawabku. Beberapa kali saat aku lari pagi, dan juga kemarin di Jogja selagi menunggu Nyonya Aretta muncul. Kurasa hanya itu.

“Dimana pemandangan matahari terbit terbaik?”

“Aku menunggu Nyonya Aretta muncul di pantai Jogja, dan itu sangat indah,” ucapku sambil mengingat kembali matahari hari itu.

“Aku sangat iri, aku tidak pernah melihat matahari terbit,” ucap Aquila dengan nada yang sangat menggemaskan.

“Bagaimana jika kita melihatnya? Kita bisa duduk disini sambil melihatnya,”

“Atau kita akan sama-sama tertidur sebelumnya,” ucap Aquila dengan nada meledek. Aku lagi-lagi terkekeh geli.

“Setidaknya kita berusaha,” ucapku lantas tertawa lepas yang diikuti oleh tawa Aquila.

Punggung hingga pinggulku terasa ngilu saat otakku kembali bekerja. Lengan kananku terasa berat, dan sedikit kebas. Ini bukan posisi tidur yang nyaman pasti. Aku segera teringat bahwa aku, dan Aquila tertidur di dek kapal. Aku membuka mata perlahan. Langit masih gelap tanpa bintang. Aku meraih tangan Aquila melihat jam yang dikenakannya. Ini masih pukul lima pagi. Aquila mulai bergerak kecil. Mata gadis itu berkedip beberapa kali sebelum akhirnya terbuka seluruhnya.

“Hai!” Sapaku lembut. Gadis itu mengucek matanya lalu berkedip beberapa kali hingga akhirnya benar-benar bangun dari tidur.

“Apakah matahari belum muncul?” Tanya gadis itu dengan suara serak. Aquila sangat menggemaskan. Dia menjadi gadis pada umumnya. Aku terkekeh pelan mengingat perbedaan Aquila yang kini di depan mataku dengan Aquila yang biasanya angkuh, dan dingin.

“Belum,” jawabku masih dengan senyum lebar di bibir. Aquila kembali pada posisi duduk yang kemudian aku ikuti. Gadis itu menatap lurus ke lautan di depannya sedangkan aku mengamati wajahnya dari samping.

“Lihatlah!” Seru Aquila sambil menunjuk lautan di depan. Aku tersenyum tanpa niatan untuk menoleh ke arah jari. Karena tak menerima respon, gadis ini kemudian menoleh ke arahku sehingga wajah kami berhadapan sangat dekat. Sepertinya tak satupun dari kami berniat mengalihkan mata sedetikpun. Jantungku seketika berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku tak mampu mengalihkan mataku ke manapun. Semuanya berakhir saat gadis di depanku ini  berdehem sebelum kembali menunjuk ke arah laut.

“Matahari sudah muncul,” ucapnya kaku sambil menatap laut kembali.  Aku tersenyum kecil lalu menatap lantai dek. Aku kira momen indah akan muncul. Aku melupakan fakta bahwa Aquila tetaplah remaja kebanyakan.

“Itu sangat indah,” komentarku setelah melirik lautan. Aku mengatakan itu tidak sembarangan. Lautan kini benar-benar indah. Matahari seakan membuat garis oranye di atas air. Langit di atasnya perlahan menjadi biru. Ini kali pertama aku menatap matahari di lautan lepas. Aku harus akui ini adalah matahari terbit terbaik dalam hidupku. Kurasa momen tadi juga merupakan momen terbaik sejauh ini.

“Aku akan menambahkan melihat matahari terbit dalam daftar cita-citaku,” ucap Aquila sambil terus menatap langit yang perlahan terang. Aku terkekeh geli mendengar itu. Gadis ini bahkan memiliki daftar cita-cita.

“Memang sudah ada berapa cita-cita dalam daftarmu?” Tanyaku setengah meledek.

“Hanya dua,” jawab Aquila serius.

“Berarti kau hanya memiliki satu cita-cita sebelumnya,” ucapku memastikan.

“Itu benar,” ucap Aquila membenarkan.

“Dan apa itu?” Tanyaku menuntut.

“Hidup bahagia,” jawab Aquila singkat namun cukup menohok diriku. Apa gadis ini tidak bahagia sama sekali dalam hidupnya?

“Apa kau punya cita-cita?” Tanya Aquila balik padaku.

“Tadinya tidak, sekarang aku punya satu,” jawabku.

“Dan apa itu?” Tanya Aquila tak kalah menuntutnya denganku tadi.

“Menciptakan kehidupan bahagia untukmu,” ucapku yang pastinya terdengar mengerikan, menjijikan, menggelikan, dan apapun kata yang mampu menggambarkan perasaan itu. Aku tidak sepenuhnya berkata kosong, aku benar-benar ingin membahagiakannya. Aquila tidak merespon apapun. Gadis di sebelahku ini hanya mendengus sambil tetap menatap langit di depannya.

Aku berpisah dengan Aquila di tangga menuju kabin masing-masing. Senyum tak lepas dari bibirku sedikitpun. Aku memasukan kedua tanganku ke kantong celana sambil terus berjalan menuju ke kabinku. Cahaya yang masuk lewat dinding kaca di sepanjang lorong seakan mendukung suasana hatiku hari ini.

“...aku juga berharap kau ada disini.” Itu suara Chris. Aku dapat melihat Chris yang sedang berbicara di telepon sambil sesekali tersenyum. Kurasa itu Auriga. Sepertinya bukan hanya aku yang memiliki momen baik hari ini. Kurasa semua orang sedang memilikinya. Aku tersenyum memikirkan hal itu. Sebelum ketahuan menguping, aku segera melanjutkan langkahku ke kabin.

Aku langsung melempar tubuh ke atas kasur saat aku tiba di kabin. Matahari pagi masuk lewat jendela bulat kecil di sisi kabin. Aku menutup mata menikmati nikmatnya punggungku yang akhirnya menyentuh benda empuk ini. Aku menghembus nafas panjang lalu tersenyum mengingat momen indah yang terjadi. Semua ini jarang terjadi -aku akan menikmati semua ini selama yang aku bisa. Seperti aku yang terpejam menikmati nikmatnya kasur ini, aku akan terus terpejam menikmati hari-hari terbaik selama yang aku bisa sebelum realita kembali menarikku.

Aquila. Aku ingin membicarakan tentang Aquila. Gadis itu tetaplah remaja pada umumnya. Dia masih mempertanyakan banyak hal di bumi. Terbukti dengan berbagai macam pertanyaan yang ditanyakan. Gadis itu terus memulai dengan sebuah pertanyaan, dan aku selalu menjawab gadis itu. Aquila sangat menggemaskan. Tunggu, kalian tidak menyebutku pedofil bukan? Aku tidak pedofil! Aquila, dan aku hanya berjarak tujuh tahun, dan itu sangat normal.

Seminggu bukanlah waktu yang singkat jika kau menunggu. Bagiku seminggu yang aku habiskan di atas kapal bersama Auriga dulu terasa panjang serta melelahkan. Kini seminggu yang aku jalani terasa sangat singkat. Aku menjalani hari tanpa beban, dan mengakhirinya dengan senyuman. Seminggu perjalanan ini adalah hari-hari terbaik yang bisa aku miliki sejauh ini.

Matahari bersinar cukup terik namun tidak membuatku ingin masuk ke dalam. Aku terlalu bersemangat menyambut Amerika kali ini. Pelabuhan sudah terlihat dari dek kapal. Sebentar lagi aku akan menikmati tanah Amerika. Ini memang bukan pertama kalinya aku menginjakan tanah ke Amerika namun entah mengapa kesempatan kali ini benar-benar terasa berbeda. Kapal mulai mendekat pada daratan.

“Kita tidak bisa pergi ke daratan, kita harus putar balik!” Seru Chris dari bawah. Aku mengerutkan dari mengamati itu dari atas. Aku mengambil ponsel dari saku celana hendak menelpon Chris. Jariku terhenti saat membaca pesan singkat dari Thomson. Aku menghembuskan nafas lalu menutup kedua mataku menengadah ke langit. Hari-hari terbaikku telah terhenti

Terpopuler

Comments

oktabebee

oktabebee

next thor

2020-09-20

1

Eka azzahra

Eka azzahra

Semangat Thor 🙋
aku mampir😁
#Arabellamaheswari

2020-09-19

1

Mommy 2

Mommy 2

Keren 😍
Like, semangat up thor 🤗

Salam dari "PANGGIL AKU MAS!"

Terima kasih 🤗🥰

2020-09-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!