Aku terbangun oleh suara tawa dari dapur. Jas yang semalam kupakai kini tergeletak di atas meja sehingga aku hanya menggunakan kemeja putih, dan celana bahan. Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku. Semalam aku tidur di sofa sedangkan Aquila tidur di kamar dengan Anna. Aku segera bangkit dari sofa menyusul ke dapur. Dapur ini tak terlalu besar namun terasa sangat hangat, dan nyaman. Seorang perempuan yang baru kulihat pagi ini ikut memasak, dia pasti perempuan yang diceritakan Aquila tadi malam.
“Hai! Kau sudah bangun rupanya,” sapa Aquila sambil membawa panci ke meja makan.
“Duduklah, R!” seru Anna yang sedang mengaduk panci di atas kompor. Aku berjalan ke salah satu kursi lalu duduk menunggu ketiga perempuan itu selesai.
“R! Ini Elsa,” kata Aquila mengenalkan perempuan yang sedang memotong wortel. Perempuan itu merasa dipanggil lantas berbalik ke arahku. Elsa tersenyum. Gadis ini memang memiliki cahaya sendiri, hanya saja Elsa tak mampu membuatku tertarik. Aku tidak terpesona saat melihatnya.
“Hai! Aku Robert,” kataku memperkenalkan diri. Elsa tersenyum lagi lalu berbalik menyelesaikan potongannya.
Matahari masih lewat jendela yang dibuka. Udara pagi Paris ikut masuk bersama sinar matahari. Meja makan terasa sangat hangat. Aku bahkan merasa asing dengan suasana ini. Aquila tertawa lebar bersenda gurau dengan Anna, dan Elsa. Aku menikmati isi piring sambil mengamati interaksi tiga orang lainnya. Makanan ini mengingatkan diriku pada hari-hari sebelum kebakaran itu.
“Jadi sampai kapan kalian disini?” tanya Elsa menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar.
“Kami tidak tahu,” jawabku.
“Selama suasana di Inggris belum aman, tetaplah disini, aku sangat senang ada orang lain disini,” sahut Anna dengan penuh ketulusan.
“Dengan senang hati aku akan tinggal disini bersamamu,” kata Aquila dengan wajah cerah lalu terkekeh. Aku dapat mendengar nada manja di sela-sela kekehannya.
Setelah sarapan selesai, Aquila serta Elsa membereskan piring sedangkan aku mengikuti Anna untuk membenahi pompa air yang macet. Ini pertama kalinya aku melihat sekeliling rumah ini. Sekitar masih dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Sangat indah. Ladang gandum terhampar cukup luas. Ada rumah kaca beberapa meter dari rumah utama. Di sebelah rumah kaca ada lumbung gandum yang dicat merah. Ini benar-benar seperti di gim. Pompa air ada di sebelah rumah. Beberapa kali aku memutarnya.
“Kurasa ini hanya perlu diberi oli,” ucapku.
“Aku akan mengambil oli,” kata Anna lalu pergi ke dalam rumah.
…
Saat ini aku ada di ladang bersama tiga perempuan lainnya. Setelan jas milikku sudah berubah dengan pakaian lama milik suami Anna. Kaos abu dan celana selutut yang sangat pas dengan tubuhku. Aquila juga ikut turun ke ladang dengan senang hati. Aku tak pernah melihat gadis itu sebahagia ini. Binar matanya benar-benar hidup. Aku tak pernah mengira menjadi petani semenyenangkan ini. Meski harus menahan teriknya matahari siang, menyiangi ladang terasa ringan.
Aku menyulut api untuk membakar tanaman liar yang kami cabuti tadi. Aquila, dan Elsa duduk di bawah pohon yang rimbun. Anna keluar dari rumah membawa keranjang kayu. Anna membuka makanan di bawah pohon rindang. Aku tak pernah memiliki pengalaman ini. Hidup di pedesaan, menjadi petani, makan siang di bawah pohon dengan angin yang bertiup malu-malu. Sungguh sempurna. Setelah makan siang, tiga perempuan masuk kembali ke dalam rumah. Sebuah notifikasi masuk ke ponselku saat aku berdiam di bawah pohon sendirian. Ini dari Chris.
Chris
Sopir kabur dari rumah sakit semalam
Sial! Sopir itu memainkan peran undercover. Ini akan bertambah rumit. Aku masuk ke rumah melalui pintu dapur. Aquila sedang mencuci piring sedangkan tuan rumah berada di ruang tamu. Aku mendekati Aquila.
“Sopir itu kabur,” bisikku sepelan mungkin.
“Oh, gosh!” geram Aquila. Gadis itu memejamkan mata sesaat.
“Tunggu laporan selanjutnya, selama kita aman, kita harus bertahan di sini selama mungkin,” bisik Aquila lalu menyelesaikan cuciannya. Aku berjalan menuju ruang tamu. Kedua tuan rumah sedang membaca buku mereka masing-masing. Aku ikut bergabung dengan keduanya. Mataku mengamati buku yang tersusun rapi di dinding.
“Aku boleh membacanya?” aku meminta izin.
“Tentu!” seru Anna kemudian melanjutkan bacaannya. Aku mengambil buku karangan Montgomery. Aku membacanya sekilas. Bahasanya terlalu rumit untuk aku mengerti jadi aku mengembalikan buku itu ke tempatnya. Aku menarik sembarang sebuah buku kemudian membukanya. Ah, ini bukan buku. Ini album foto.
“Aku boleh melihat ini?” tanyaku lagi.
“Ah, kemarilah! Aku juga ingin melihatnya,” jawab Anna. Aku duduk kemudian meletakkan album foto itu ke meja. Anna tersenyum sambil mengamati foto-foto lama.
“Ini Aquila saat masih tiga tahun,” kata Anna sambil menunjuk sebuah foto. Di dalam foto itu ada dua orang gadis, dan Anna.
“Apa ini Elsa?” tanyaku sambil menunjuk gadis lain yang berdiri di samping Aquila.
“Iya, ini Elsa, sekarang mereka terlihat seumuran,” komentar Anna sambil memandangi foto itu.
“Aquila, dan Elsa beda lima tahun,” jelas Anna lagi.
“Aquila dewasa terlalu cepat kurasa,” Elsa menambahkan lalu terkekeh.
“Aku mendengar namaku disebut-sebut dari tadi,” seru Aquila sambil berjalan ke sofa.
“Lihatlah!” seru Elsa mengajak Aquila. Ketiga perempuan itu akhirnya bernostalgia sendiri dengan foto-foto lawas. Dalam album itu aku juga melihat seorang pria dewasa. Sepertinya itu suami Anna. Aku dapat merasakan perubahan air muka Aquila saat melihat pria itu. Aku yakin pria ini benar-benar berdedikasi besar dalam hidup Aquila. Pria ini pasti seumuran dengan Thomson jika masih hidup.
…
Ini hari ketiga aku tinggal. Tak banyak yang terjadi. Rutinitasku sama seperti sebelumnya. Saat ini aku sedang mengatur gandum hasil panen di lumbung bersama Aquila sedangkan Anna serta Elsa di rumah utama menerima tamu. Elsa masuk ke dalam lumbung saat aku, dan Aquila nyaris selesai menata gandum.
“Kalian harus pergi melewati hutan belakang!” ucap Elsa terangah. Seluruh tubuhku berubah kaku. Aquila maju mendekati Elsa.
“Bawalah ini untuk bekal kalian,” kata Elsa lagi sambil menyodorkan tas ransel yang sudah lusuh.
“Aku melihat mereka membawa pistol,” kata Elsa lagi. Aku memejamkan mata berusaha menetralkan pikiranku. Aquila kemudian memeluk Elsa.
“Sampaikan terima kasihku pada Anna,” kataku kemudian mengambil ransel yang dibawa Elsa. Aquila melepas pelukannya kemudian mengelap air mata. Sebuah suara mulai terdengar dari luar. Aku segera menarik Aquila bersembunyi di balik gandum yang sudah terikat rapi. Elsa segera mengambil posisi mengikat gandum-gandum yang masih berserakan. Suara sepatu terdengar jelas menghentak lantai lumbung beberapa kali. Sebuah suara berat kemudian berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Setelahnya Elsa menjawab laki-laki itu dengan nada takut. Suara sepatu itu semakin mendekat. Jantungku berdegup kencang. Aku dapat merasakan tangan Aquila yang mencengkram pergelangan tanganku keras. Suara Elsa kembali terdengar lalu suara sepatu itu menjauh. Aku bernafas lega setelahnya. Aku, dan Aquila mengendap keluar lumbung kemudian berlari memasuki hutan. Langkah kami mulai pelan setelah berlari cukup jauh. Rimbun pepohonan mampu menahan matahari yang menyengat.
Rambut pirang keabuan Aquila diikat menjadi satu. Beberapa anak rambut sesekali menari malu tertiup angin. Tidak ada lagi Aquila Sang Fashionista. Alih-alih menggunakan pakaian mahal, Aquila kini hanya menggunakan kaos lusuh dengan celana denim. Meski begitu, Aquila tetaplah Aquila. Seorang gadis mempesona di usianya. Aku tak berbeda jauh dengan Aquila. Kaos kebesaran yang sudah lusuh dengan celana denim yang sedikit sobek di bawahnya.
“Apa baterai ponselmu penuh?” tanyaku.
“Tidak, kita tidak sering menggunakannya jadi aku tidak mengisi baterainya,” jawab Aquila santai.
“Kita perlu menjaga ponsel kita tetap menyala sampai bisa keluar dari hutan ini,” ucapku. Aquila mengangkat pundak lalu berjalan acuh.
Aku baru berhenti berjalan saat matahari sudah nyaris tenggelam. Kembali diriku membuka ponsel mencari bantuan. Tak sedikitpun aku mendapat sinyal. Aku duduk di tepi aliran sungai saat Aquila mencuci wajahnya. Hutan ini sangat luas sampai aku sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sini. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah aku dan Aquila akan terjebak disini hingga Auriga menurunkan pasukan untuk mencari kami.
Malam semakin larut, jalan Aquila semakin lambat. Aku berhenti sejenak. Aquila menabrak punggungku. Aku duduk yang kemudian diikuti Aquila. Gadis itu langsung meringkuk di tanah setelahnya. Wajahnya terlihat lelah. Aku bersandar pada pohon. Kuangkat kepala Aquila meletakkannya ke salah satu pahaku. Aku memejamkan mata berharap ikut terlelap.
Denting ponsel menarikku dari alam mimpi. Aku mengerjap beberapa saat mengumpulkan kembali nyawa yang sudah tersebar. Aku membuka kembali ponselku. Syukurlah aku mendapat sinyal. Sebuah pesan dari Thomson.
Harry Tomblor
Kau bisa pulang. Situasi sudah terkendali.
Robert Prayanto
Aku terjebak di sebuah hutan karena melarikan diri.
Harry Tomblor
Kirimkan lokasimu saat ini
Robert Prayanto
(share location)
Harry Tomblor
Ikut sungai yang ada di kiri, akan ada yang menjemputnya di jalan besar nanti
Aquila masih terlelap. Aku ikut melanjutkan mimpi. Besok aku harus melakukan perjalanan panjang untuk keluar dari hutan ini. Aku harus mengumpulkan energi yang sudah kubuang hari ini. Semoga besok adalah akhir dari pelarian ini.
Tidurku terusik oleh cahaya yang berusaha menyelinap ke penglihatanku. Pepohonan menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Cahaya yang terpantul dari sungai memperindah pepohonan yang berdiri di tepinya. Aquila ada di tepi sungai menikmati makanan yang dibawakan Elsa. Aku bangun menyusul Aquila.
“Kita harus menyusuri sungai ini, akan ada yang menjemput kita nanti,” ucapku. Aquila tetap memandang ke seberang sungai sambil memakan roti isi di tangannya. Aku mengikuti pandangan gadis itu. Sebuah siput liar.
“Baiklah, aku akan segera menghabiskan roti ini,” jawab gadis itu masih menatap siput di seberang.
Menyusuri sungai bukan perkara mudah. Sungai ini sangat panjang. Aku dan Aquila berjalan dalam diam demi menghemat energi. Beberapa kali kami berhenti untuk makan atau sekedar mengisi paru-paru yang mulai kekosongan udara.
Benar saja setelah menyusuri sungai itu, aku menemukan jalan besar. Jalanan yang sangat sepi. Tak satupun mobil melintas. Perlu beberapa saat hingga orang suruhan Harry datang. Selanjutnya Aquila tertidur di kursi belakang dengan lelapnya. Perjalanan berlanjut. Perjalanan menuju tempat sementara yang kusebut rumah.
...
“Mobil SUV hitam mengikuti kita,” ucap sopir yang ada di sebelahku. Aku melirik kaca spion memastikan itu. Dari kaca depan aku dapat melihat empat orang menggunakan setelan jas rapi.
...
Rumah hanya sebuah sebutan untuk bangunan dimana kita bisa pulang, dan beristirahat. Bagiku definisi rumah lebih dari itu. Rumah adalah tempat dimana aku nyaman. Tempat aku dapat berbagi beban hidup. Tempat dimana aku berani mengatakan semua impian yang mungkin terasa tak mungkin. Mirisnya, aku tak pernah memiliki rumah. Rasanya aku adalah siput. Kemanapun aku pergi, aku membawa beban itu. Menyimpan sendiri impian itu dalam cangkang kecil. Menjadikan jalanan tempat aku merasa nyaman. Miris sekali, aku tak punya rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Marsh Dede
udah ku like semua,aku pembaca setiamu 😍😘
2020-08-20
1
Mommy 2
semakin oke
semangat 🤗🤗
2020-08-18
1
Noejan
Waw💓
2020-08-18
1