Pasal XIII : Pergantian Formasi

Aku menghirup nafas mengisi paru-paruku. Bau lautan sangat mendominasi indra penciumanku. Aku dapat melihat rasa kecewa di mata Aquila. Meski bibirnya tersenyum, sinar matanya tak dapat berbohong. Aku berpaling tak ingin melihat kesedihan itu kemudian naik ke dalam mobil. Visil duduk di depan menemani sopir. Aku duduk bersebelahan dengan Auriga.

“Kau suka adikku?” tanya Auriga saat mobil berjalan keluar dari pelabuhan. Aku terdiam tak mampu menjawab. Mengakui hal itu pada bosku adalah hal bodoh tapi tanpa pengakuan itu Auriga sudah tahu kenyataannya. Kau akan apa jika jadi diriku?

“Aku menyetujui sebagai teman tapi sebagai bos, aku tidak memberimu restu,” ucap Auriga sendu. Aku menengok ke Auriga yang menatap keluar jendela. Aku dapat melihat perubahan Auriga. Tak ada pria hangat seperti kemarin-kemarin. Auriga kembali dingin, dan angkuh. Aku tahu sikap itu hanya untuk menutupi kekosongan yang dihadapinya.

“Bagaimana dengan Chris?” tanyaku menoleh padanya.

“Kau bertanya sebagai teman atau pengawalku?” tanya Auriga masih menatap keluar mobil.

“Keduanya,” sahutku masih dengan menatap salah satu bagian wajah Auriga.

“Sebagai pengawal, Chris sekarang pengawal Aquila, jadi aku tidak tahu dengan detail” jelas Auriga kemudian menghembuskan nafas panjang.

“Sebagai teman?” tanyaku lagi lebih menuntut.

“Aku, dan Chris berpisah,” ucap Auriga berat kemudian menghembuskan nafas berat.

“Apa perpisahan seberat itu?” tanyaku yang hanya berhembus di udara. Aku melempar pandang keluar jendela mengamati langit yang seakan mengerti keresahan dua pria ini. Langit terus bergerak seakan sedang berganti formasi untuk menurunkan hujan.

“Jika saya memilih Auriga?” tanyaku lagi. Thomson meletakkan cangkirnya ke atas meja lalu menumpu tubuh dengan kedua tangannya di atas lutut. 

“Chris akan kembali bekerja untuk Aquila, dan Visil akan menggantikan posisimu untuk sementara waktu,” jawab Thomson sambil menautkan kedua tangannya.

“Bolehkah saya mengajukan keinginan saya?” aku meminta izin. Thomson melambaikan tangan mempersilahkan. 

“Saya ingin Visil, dan saya di pihak Auriga,” 

“Lalu siapa yang akan menjaga Aquila?” tanya Thomson menantang. Aku berpikir mencari nama yang bisa diajukan. 

“Fifth agent,” ucapku. Sejujurnya aku tidak mengenalnya, bahkan nama aslinya aku tidak tahu. Thomson menyandarkan kembali pundaknya ke sofa menatapku tak percaya. 

Aku kembali ke hunian mewah Walsh di Amerika. Saat salah satu misi yang Auriga berikan, aku akan kembali ke Aquila Mansion. Aku tidak akan selamanya disini. Visil kembali satu kamar denganku. Meski semuanya seakan tak ada yang berubah, aku dapat merasakan ada sesuatu yang hilang kini. Tak pernah terlintas bahwa aku ada di situasi seperti ini. Situasi dimana aku berat meninggalkan suatu tempat, lebih tepatnya suatu tempat dimana ada seseorang yang ingin aku jaga. Seseorang yang sudah mengajarkanku mengambil keputusan. Seseorang yang memberiku pengalaman-pengalam baru.

Hal aneh lainnya adalah perkataan Auriga membayang terus di benakku. Meski tak satupun antar aku, dan Aquila menyatakan perasaan tapi ikatan itu sangat kuat. Sedari tadi diriku hanya menatap keluar jendela yang terbuka menikmati musim yang akan segera berganti. Udara akan menjadi lebih dingin, begitu juga hari-hari yang akan berjalan beberapa bulan ke depan. Sebuah baju dilempar padaku cukup keras hingga menarik diriku kembali ke dunia nyata.

“Kau terlihat sangat menyedihkan!” seru Visil saat aku menengok. Aku melempar balik baju itu padanya sambil memutar bola mataku.

“C’mon, R!” seru Visil sekali lagi sambil berjalan mendekat padaku. Sikap menyebalkan Visil keluar lagi, ini sungguh menjengkelkan.

“Jika kau mencintai gadis itu mengapa kau memilih bekerja untuk kakaknya?” tanya Visil dengan nada menyebalkan. Aku hanya menatapnya tak suka.

“Biar kutebak, ingin mencari tahu ibunya?”

“Salah satunya,” jawabku jujur sambil menatap kosong ke Visil.

“Alasan lainnya?” tuntut Visil. Aku hanya menarik salah satu sudut bibirku membentuk seringaian tanpa menjawab pertanyaan Visil. Alasan lainnya adalah karena aku yakin gadis itu tak akan kemana-mana walaupun aku tak disampingnya. Aquila gadis berkepribadian yang hebat. Aquila tak akan membuka dunianya untuk sembarang orang. Itu yang aku yakini namun jika aku salah, aku tak akan menyesalinya karena aku belum menanamkan rasa sedalam itu. Haha, aku terdengar seperti pengecut karena takut jatuh cinta.

Aku mulai menggerakkan kakiku untuk keluar kamar. Pundak Visil aku tepuk dua kali sebelum aku benar-benar keluar. Auriga sudah menungguku di ruang kerjanya. Tempat ini mirip dengan ruang kerjanya di Aquila Mansion. Pria di akhir kepala dua itu sudah menungguku sambil memainkan cairan keemasan di tangannya. Aku langsung melempar pantatku pada sofa di sebelah Auriga.

“Kini, kau menjadi tangan kananku,” ucap Auriga masih mengamati cairan di dalam gelas.

“Lalu?” tuntunku.

“Kita akan menemui Melton lagi secepatnya, kau punya usulan untuk membuka mulutnya?” ucap Auriga angkuh.

“Apa kita membawa pasukan?” tanyaku sambil mencari rencana yang tepat di otakku.

“Jika memang dibutuhkan,” jawab Auriga kemudian mengangkat pundak ringan.

“Kita datang berdua saja,” ucapku mulai memutuskan yang membuat Auriga menoleh.

“Apa pikiran kita sama?” tanya Auriga dengan seringan licik. Aku ikut menarik sudut bibir.

“Mungkin,” ucapku semisterius mungkin sambil menyipitkan mata.

Visil sedang berhadapan dengan laptop saat aku kembali ke kamar. Di meja yang sama ada sepiring makanan yang baru dimakan setengah. Aku membuka dua kancing teratas kemeja sambil menghampiri Visil. Pria itu terus mengetik di laptopnya seakan tidak menyadari kehadiranku.

“Kau sedang apa?” tanyaku sambil menggulung lengan baju sampai ke siku.

“Little Namja,” jawab Visil singkat. Pria ini benar-benar berubah saat sudah berhadapan dengan laptop, ternyata sikap Visil yang seperti ini juga menyebalkan. Aku mengamati kode-kode yang sama sekali tak kumengerti.

“Kau mau membobolnya?” tanyaku lagi saat kedua lengan bajuku selesai tergulung.

“Akan butuh waktu berabad-abad untuk membobolnya, aku hanya berusaha mencari sandi yang tepat,” jawab Visil masih tetap fokus pada laptopnya. Aku hanya manggut-manggut kemudian berjalan ke kasur.

“Apa kau bisa?” tanya Visil tiba-tiba saat tubuhku nyaris kulempar pada kasur.

“Bisa apa?” tanyaku balik karena tak mengerti.

“Mencuri password,” jelas Visil. Mendengar ide Visil, otakku tiba-tiba terbuka.

“Apa setelah mencuri password kita bisa melihat isi Little Namja?” tanyaku lagi.

“Kemungkinan besar begitu,” jawab Visil yang memberiku sedikit harapan.

“Dimana kita bisa mendapat alat penyadap?” tanyaku.

“Aku kenal salah satu agen FBI,” jawab Visil kemudian mengangkat kepalanya lantas menatap mataku. Aku menyeringai mendengar itu. Kurasa aku bukan lagi seorang pengawal.

“Kurasa kita bukan lagi pengawal,” komentarku.

“Pergantian formasi,” Visil menambahkan.

“Hubungi orang FBI itu, kita butuh penyadap sekecil mungkin,” perintahku.

“Siap, bos!” seru Visil sambil berpose hormat. Aku tertawa melihat tingkahnya.

Saat ini aku mengamati gambar di laptop Visil. Beberapa bentuk alat penyadap terpampang di depan mataku. Aku sudah memiliki dua kandidat. Pertama, alat penyadap berbentuk kotak kecil berwarna hitam. Kelemahannya adalah tebal, akan mudah terlihat. Kelebihannya, sinyalnya lebih stabil. Kedua, alat penyadap dengan ukuran sangat tipis, dan juga lentur. Kelebihannya tentu saja tipis, dan lentur. Kelemahannya, sinyalnya sangat tidak stabil jadi bisa saja informasi penting terlewat. Kutopang tubuhku dengan kedua tangan di atas meja. Aku mengetuk meja dengan jariku beberapa kali. Kusisir rambutku menggunakan salah satu tangan,

“Beli saja yang ini dua,” perintahku sambil menunjuk alat penyadap yang tipis di laptop.

“Kau yakin Auriga tak masalah?” tanya Visil dengan nada tak yakin.

“Kau baru memikirkannya saat ini?” tanyaku balik kesal.

“Aku akan bicara padanya nanti,” tambahku kemudian melempar diri pada kasur.

Mobil melaju melintas daerah yang pernah aku kunjungi. Sepanjang perjalanan terhampar perkebunan. Tak berbeda jauh denganku, Auriga melempar pandang ke luar mobil. Kami berdua sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Aku baru saja memesan alat penyadap,” ucapku memecah keheningan.

“Rencana apa?” tanya Auriga seakan bisa membaca arah pembicaraan.

“Little Namja,” jawabku.

“Bukankah lebih aman jika Visil meretasnya?”

“Tempat itu tidak mudah diretas,” jawabku.

“Aku akan mengatur pertemuan dengan wanita itu nanti,” ucap Auriga final.

Aku, dan Auriga turun saat mobil berhenti di depan pintu utama. Rumah ini bahkan tak berubah sedikitpun setelah diserang. Melton pasti terlalu kaya sehingga mampu memperbaiki tempatnya dalam waktu cepat. Lagi-lagi seorang pelayan menggiring kami ke ruangan yang kemarin.

“Kau ingin meledakkan apa lagi?” tanya Melton sarkas saat kami memasuki ruangan yang sama. Aku baru tahu Melton berbahasa Indonesia. Seingatku terakhir kali bertemu kedua orang itu berbicara bahasa asing yang aku tak mengerti. Satu hal yang aku simpulkan, Auriga sepertinya sudah mencoba berbagai macam cara untuk membuka mulut Melton. Terbukti dengan ucapan Melton yang menanyakan apalagi yang akan diledakkan bosku ini.

“Kepalamu,” jawab Auriga tak kalah sarkasnya lalu melempar diri ke sofa yang berhadapan dengan Melton. Auriga menepuk sofa disebelahnya menyuruhku untuk duduk. Segera aku menuruti keinginannya dengan duduk di sebelahnya.

“Ini kali terakhir aku bertanya,” ucap Auriga mengintimidasi. Melton menatapnya tajam.

“Dimana Mama?” tanya Auriga lebih mengintimidasi lagi. Melton hanya menatapnya lalu menarik salah satu bibirnya membentuk seringai. Auriga menepuk lenganku menyuruhku mulai menjalankan rencana. Salah satu tanganku menarik keluar revolver yang aku sembunyikan di balik jas lalu menodongkannya ke Melton.

“Baiklah, kau ingin ditembak di bagian mana?” tanya Auriga angkuh.

“Aku sangat yakin kau sadar jika tak ada gunanya membunuhku,” ucap Melton kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa. Rahang Auriga mengeras karena sebal.

“Bagaimana jika kau membocorkan salah satu rahasia tak berguna?” tanyaku masih tetap dengan menodongkan revolver.

“Ah, ide bagus. Aku yakin Dilaeni tidak akan marah,” ucap Melton licik membuat Auriga mengerutkan dahi seketika.

“Ups, bukankah aku baru saja membocorkan rahasia itu?” ucap Melton lagi sambil pura-pura menutup mulutnya. Auriga mendadak terbahak keras. Setelahnya tangan Auriga mendorong pistolku turun. Bosku ini kemudian bangkit dari sofa meninggalkan ruangan. Bergegas aku mengikuti langkah Auriga yang berjalan keluar dari kediaman Melton. Aku masih tak mengerti mengapa Auriga tiba-tiba keluar.

“Sampaikan salamku pada Andrea!” seru Melton dari dalam.

“Apa maksudnya?” tanyaku pada Auriga saat mobil melaju.

“Mama ganti identitas,” ucap Auriga dengan rahang yang mengeras.

Terpopuler

Comments

AngelKiss

AngelKiss

Aku mampir kak 😊😊

2020-09-01

1

Eka azzahra

Eka azzahra

Lanjut thoor semangat 😘
#ArabellaMaheswari

2020-08-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!