Aku berusaha mencerna semuanya. Auriga sosok yang tak tertebak. Dibalik sosok yang dingin, angkuh, dan tegas, dirinya menyimpan sisi lembut, dan penyayang. Aku berusaha menghubungkan semua ini. Setelah Aquila lahir, kediaman Walsh tak lagi sama. Kemungkinan besar Aquila bukan anak dari Thomson Walsh. Sang Mama selingkuh dengan pria Amerika bernama Melton. Skandal yang tak asing.
Thomson Walsh tak sampai hati membuang istri dan putrinya sehingga mengurung dua perempuan ini di pulau pribadi yang disebut Aquila Mansion saat ini. Lima tahun setelah Aquila lahir, Mama mereka bunuh diri. Itu merupakan pukulan terberat anak-anak Walsh. Auriga selalu mencoba mencari tahu keberadaan selingkuhan Mamanya. Dalam dirinya masih ada rasa tak terima bahwa Sang Mama telah tiada. Aku mengetahui semua ini karena Auriga menceritakan padaku. Setelah memberitahuku bahwa aku harus menjadi pengawalnya, Auriga mengajakku untuk minum anggur sebagai teman. Auriga tak hanya meminum anggur, mungkin pria itu juga minum whiskey, dan vodka, aku kurang mengingat detailnya. Pria itu minum sangat banyak hingga mabuk. Aku mencoba mencerna igauan pria itu sebelum aku keluar ruangan.
...
Setelah selesai bercerita tentang Mamanya, Auriga tertidur. Tangannya menopang kepala di sandara sofa. Aku hendak keluar memanggil pelayan untuk membawanya ke kamar, karena aku sendiri tak tahu dimana kamarnya. Saat aku hendak keluar, Auriga mengigau kecil.
“Chris….Chris….” hanya igauan kecil namun aku dapat mendengarnya dengan jelas. Aku tak bisa menahan diriku untuk menyimpulkan bahwa Auriga, dan Christina memiliki hubungan.
Keberadaan Chris rupanya akibat dua orang. Jika Auriga mempertahankan Chris karena hubungan yang terjalin di antara mereka lantas apa yang membuat Aquila mempertahankan Chris? Chris pasti sudah memegang peran penting di Aquila Mansion.
Aku memperhatikan pelayan yang sedang membenahi tidur Auriga di kasur. Ada rasa penasaran yang mengganggu diriku. Apa yang sebenarnya terjadi pada permaisuri keluarga Walsh. Sesuatu yang serius pasti terjadi pada permaisuri Walsh karena Auriga menebak adanya kemungkinan baku tembak saat menemui selingkuhannya. Aku keluar kamar Auriga dan kembali ke kabinku.
...
Aku terbangun karena suara berisik dari luar. Jarum jam di atas nakas menunjuk angka empat, tidak, nyaris empat. Astaga! Ini bahkan belum pukul empat. Aku hanya mengenakan kaos putih, dan celana selutut. Aku mengintip dari jendela kabin. Orang-orang sudah berpakaian rapi. Aku segera berganti mengenakan setelan jas kerja.
Kapal sudah merapat pada dermaga saat aku turun ke dek bawah. Auriga yang mengenakan mantel coklat tua keluar dari pintu kabinnya. Aku menganggukkan kepala memberi hormat pada Auriga. Laki-laki itu berjalan mendahului diriku sedangkan aku berjalan di belakangnya. Sebuah mobil sudah menunggu di depan dermaga. Aku membukakan pintu untuk Auriga. Setelah pria itu masuk aku kembali menutupnya lalu masuk ke kursi depan. Saat mobil bergerak, Auriga menyodorkan pistol kepadaku. Pria itu memegang moncongnya. Aku diam sesaat mencoba mencerna. Aku mengambil pistol itu.
“Saya belum memiliki lisensi untuk memiliki ini.” kataku lalu melepas peganganku dari pistolnya. Auriga memajukannya lebih lagi padaku.
“Aku sudah membuatnya.” kata Auriga lagi. Masih dengan keraguan aku mengambil pistol itu. Aku memasukkan pistol itu ke balik jas.
Mobil melaju di jalanan berliku. Kanan dan kiri hanya ada hutan. Sebuah gerbang hitam besar menghentikan laju mobil. Seorang berpakaian setelan jas menghampiri sisi pengemudi mobil. Supir yang mengendarai mobil ini menurunkan kaca lalu menyodorkan selembar kertas pada pria itu. Cukup lama laki-laki itu membaca isi kertas tadi kemudian berbicara handy talkie di tangannya. Sesaat kemudian gerbang besar terbuka. Di depan kami masih sama, hanya jalanan dan hutan. Tak terlalu jauh dari gerbang tadi, mulai terlihat rumah besar dengan pekarangan yang sangat luas. Rumput tumbuh dengan rapi.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah. Aku turun lebih dulu membukakan pintu untuk Auriga kemudian menutupnya kembali saat Auriga mulai berjalan. Mobil berlalu kemudian aku mengikuti langkah Auriga. Bangunan di depanku lebih kecil ketimbang Aquila Mansion. Dari modelnya, rumah ini memang mirip dengan Aquila Mansion. Banyak kaca yang menjadi pengganti dinding. Saat masuk ke dalam rumah, perabotnya memiliki model sederhana namun tetap berkelas. Auriga melepas tubuhnya ke sofa yang berada di tengah ruangan ini.
“Jadi semalam aku menceritakan apa saja saat mabuk?” kata Auriga tanpa basa-basi. Aku menatap Auriga sesaat lalu berjalan mendekat.
“Ibu Anda.” jawabku sopan.
“Kau harus menjadi temanku saat ini, jangan bersikap terlalu formal.” protes Auriga dengan santai. Tak ada tatapan dingin dan menusuk, yang ada hanya tatapan santai dengan seringai tipis di sisi bibirnya. Aku tersenyum tipis lalu berjalan, dan duduk berseberangan dengannya.
“Kemarin kau cerita tentang ibumu, dan Aquila. Terlalu menyakitkan untuk mengatakan rinciannya.” jawabku kemudian mendengus geli. Auriga ikut tersenyum.
“Benar, itu menyakitkan.” katanya kemudian tertawa kecil. Auriga memandang kosong pada dinding kaca yang menampilkan pepohonan di sebelah rumah.
“Aku tak pernah punya teman. Bahkan ini pertama kalinya aku dapat bercakap sesantai ini.” kata Auriga lagi kemudian tertawa kembali, menertawai hidupnya, Auriga tertawa sarkas.
…
Saat ini aku ada di sebuah kamar. Lebih kecil ketimbang kamarku di Aquila Mansion tapi tetap nyaman, dan terkesan mewah. Nanti sore aku baru bertugas jadi saat ini aku hanya mengenakan kaos putih dengan celana selutut. Ruanganku didominasi warna hitam, dan abu seperti di Aquila Mansion. Aku bersandar pada jendela menikmati matahari pagi yang masuk lewat jendela kamar.
Pandangku beralih pada pistol di atas nakas. Awalnya aku berpikir bahwa aku dengan mudahnya diterima disini karena memang memiliki nilai yang baik di resume. Nilai di kertas itu nyaris sempurna tapi aku tak pernah menembak orang secara nyata. Masih ada rasa takut saat aku harus menarik pelatuk itu. Aku rasa nilai di kertas itu tak berguna karena selama masih ada rasa takut menarik pelatuk itu, aku bukanlah seorang pengawal yang baik.
Aku terbangun oleh ketukan di pintu. Aku mengusap wajahku kasar mengusir kantuk. Aku melirik jam dinding. Sekarang sudah pukul tiga, aku harus segera bangun. Aku mengiyakan ketukan di pintuku. Kurasa itu salah satu pelayan disini. Aku menyibak selimut yang menyelimuti tubuhku. Aku segera mandi ke kamar mandi. Air hangat mengalir dari pancuran membasahi tubuhku. Setelah selesai membasuh tubuh, sebuah kimono menutupi tubuhku kemudian aku berkaca. Aku mengambil sikat gigi beserta pastanya. Aku mengamati pantulan diriku di kaca. Kembali anganku memutar hari dimana aku memilih untuk masuk ke sekolah pengawal ketimbang melanjutkan karir sebagai aktor di Korea. Apakah kejadian di hari kelulusan memang ditakdirkan terjadi agar aku membanting kemudi atau hanya sekedar batu yang seharusnya diloncati? Kepalaku cukup terganggu dengan hal itu. Ah bukan, ini mengganggu karena aku tidak tahu apakah aku dapat menarik pelatuk untuk melindungi Auriga nanti.
Auriga sedang menikmati makanan di meja makan saat aku turun ke bawah. Aku sudah makan di kamar tadi. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing teratas yang dibuka. Disampingnya ada mantel abu yang dibiarkan di atas kursi. Wajahnya seperti biasa. Dingin, dan angkuh. Aku berdiri di dekat pintu masuk menunggu tuanku ini menyelesaikan piringnya.
“R!” panggil pria itu disela makannya. Aku mengangkat wajahku menatapnya. Dagunya digerakkan menunjuk kursi di sebelahnya.
“Duduklah! Ada yang perlu aku bicarakan.” perintah Auriga. Aku berjalan ke kursi di sebelah Auriga kemudian duduk. Pria itu mengambil mantelnya lalu mengeluarkan dua perekam suara kecil.
“Kau harus merekam perbincangan ku nanti.” katanya sambil memberikan perekam suara itu. Aku mengangguk lalu memasukan perekam itu pada kantung jasku. Perekam suara lainnya dimasukan ke dalam kantong celana pria itu sendiri. Aku bangkit dari kursi lalu kembali ke dekat pintu.
…
Setelah Auriga selesai dengan piringnya, segera kami melaju ke sebuah rumah. Ada satu mobil lagi berisikan delapan orang pengawal lain yang berjalan di belakang mobil yang kunaiki. Berbeda dengan rumah Keluarga Walsh, rumah ini bergaya klasik Amerika. Beberapa bagian didominasi dengan kayu hitam. Sepertinya ini rumah orang yang dimaksud dengan selingkuhan ibunya. Seorang pelayan membawa kami ke ruangan di dalam rumah besar ini. Seorang pria yang sudah berumur duduk di tengah ruangan seakan menunggu kedatangan kami. Aku memasukkan tanganku ke dalam saku jas menyalakan perekam suara seperti yang diperintahkan Auriga tadi.
Saat ini aku berada di sebuah ruang tamu. Aku berdiri di dekat pintu mengamati dua pria berbincang. Mereka berbicara dengan bahasa yang tidak dapat aku mengerti. Suasana tegang memenuhi atmosfer ruangan ini. Keduanya duduk dengan angkuh. Sesaat kemudian Auriga melempar perekam suara dari kantong celana miliknya kemudian berteriak kencang. Pria di depannya hanya tertawa keras. Keduanya kembali bercakap-cakap cukup lama. Auriga berdiri saat pria tua di hadapannya masih berbicara lalu keluar. Aku mengikuti Auriga yang berjalan sedikit terburu.
“Perekam suara yang kulempar tadi adalah bom kita harus segera pergi.” kata Auriga setengah berbisik. Aku ikut mempercepat langkahku. Tak lama suara ledakan terdengar disusul dengan teriakan marah pria tua itu. Mungkin itu bukan ledakan yang besar namun itu mampu memicu ledakan emosi pria tua itu. Saat mencapai pintu depan, pengawal lainnya sudah menodong senjata pada pengawal rumah ini. Aku kembali masuk ke dalam rumah.
“It’s R! I’m with Sniper and we need the car! I’m on the way to the other side of the main entrance!” teriakku di mikrofon yang terselip pergelangan tangan. Aku berlari lalu berbelok mencari jalan lain. Auriga mengikuti langkahku. Aku mengambil pistol yang ada di saku jas kemudian menembak kaca di ujung lorong yang berlawanan dari keberadaanku saat ini berharap mampu menipu pengawal rumah ini. Sebuah deruman mesin mengalihkan pandangku dari kaca yang sudah berserakan di ujung sana. Dari jendela aku melihat sebuah mobil menerobos ke taman samping rumah ini. Aku tidak boleh menembak kaca di depanku jika tak ingin para pengawal berlari ke arahku. Aku membuka jendela yang ada di depanku kemudian mengeluarkan Auriga terlebih dahulu. Seorang pengawal muncul dari belokan lorong. Aku segera melompat keluar namun saat itulah timah panas menyayat kakiku. Bukan luka besar namun mempengaruhi cara jalanku. Mobil segera pergi dari rumah itu setelahnya.
Pria di sebelahku tak melepas pandangan sekalipun dari jalanan. Mobil melaju tak kurang dari seratus enam puluh kilometer per jam. Suasana semakin mencekam karena hujan yang turun. Kabut mulai turun memperpendek pandangan.
“It’s Fifth Agent. I’m safe.” suara di telingaku mulai memberi laporan.
“It’s Visil, I’m with the SUV car, we’re safe.” suara kembali terdengar di telingaku. Aku masih mengatur nafas saat ini. Saat nafasku mulai teratur aku mendekatkan pergelangan tangan pada mulut.
“It’s R, I’m with Sniper, and we’re on the way to mansion.” laporku.
“It’s Fifth Agent. All clear. Mission done.” suara kembali terdengar di telingaku. Misi selesai.
…
“Ini bukan soal Andrea.” kata Auriga lagi. Pria itu kemudian membenarkan duduknya bertumpu pada lututnya.
“Saat kita di Amerika, aku akan menemui selingkuhan Mama. Kemungkinan akan terjadi baku tembak disana. Saat itulah kau harus menjadi pengawalku.”
“Pria itu, dia selalu mengatakan hal yang sama selama dua belas tahun. Dia selalu berkata bahwa Mama dan dia hanya sebatas sahabat. Jika mereka sebatas sahabat mengapa Mama memilih bunuh diri?” lanjut Auriga dengan nada marah di dalamnya.
“Lalu apa yang harus saya lakukan nanti?” tanyaku dengan hati-hati.
“Ini misi yang sudah dirancang sejak jauh hari. Kau hanya perlu memastikan aku keluar dari tempat itu hidup-hidup.” jawab Auriga.
“Misi?” tanyaku penasaran.
“Pria itu memiliki berbagai rahasia petinggi Inggris yang harus dijaga. Kita hanya perlu mengambil rahasia itu untuk mengancam dirinya.” jawab Auriga dengan tatapan gelap.
Visil, dan dua orang lainnya dari mobil SUV yang berjalan di belakang mobil yang kunaiki bertugas untuk mencuri rahasia itu sedangkan aku menemani Auriga yang mengalihkan perhatian selingkuhan ibunya. Auriga menekan tombol di perekam suara sebelum turun dari mobil, di saat itulah aku baru menyadari bahwa itu adalah bom. Pewaktu di peledak itu tersambung dengan penghitung waktu yang dibawa Visil, dan dirinya hanya memiliki waktu empat puluh lima menit hingga bom itu meledak, dan Auriga harus mengalihkan perhatian selingkuhan ibunya selama itu. Walaupun Auriga berkata aku harus menjadi pengawalnya kali ini, aku tetap menjadi agen rahasianya karena aku harus merekam perbincangan keduanya di balik jas milikku.
Saat aku, dan Auriga masuk ke ruangan pria itu, Visil dan timnya mencari jalan ke ruang rahasia itu. Auriga yang mulai membentak pria di depannya dengan bahasa yang tak aku sendiri mengerti. Suara di telingaku mulai muncul.
“Secret room found.” sepertinya ini salah satu anak buah Visil.
“The file found.” kali ini Visil yang berbicara.
“Last five minutes.” aku yakin ini suara kapten misi ini, Fifth Agent.
“Last fifteen percent copying.” kata Visil kali ini
“Last two minutes!” Fifth Agent mulai membentak.
“Last one minute!” peringat Fifth Agent lagi. Saat inilah Auriga bangkit dari duduknya kemudian mengajakku berlari.
“Copying done!” lapor Visil.
“Run!” perintah Fifth Agent dengan bentakan lebih keras.
…
Pandangku beralih pada pistol di atas nakas. Awalnya aku berpikir bahwa aku dengan mudahnya diterima disini karena memang memiliki nilai yang baik di resume. Nilai di kertas itu nyaris sempurna tapi aku tak pernah menembak orang secara nyata. Masih ada rasa takut saat aku harus menarik pelatuk itu. Aku rasa nilai di kertas itu tak berguna karena selama masih ada rasa takut menarik pelatuk itu, aku bukanlah seorang pengawal yang baik.
Aku tidak salah jika aku berkata pengawal yang baik harus bisa menarik pelatuk ke tubuh orang. Itu demi melindungi tuannya, itu sudah menjadi tugasnya. Aku tidak salah jika mengatakan pengawal yang takut menarik pelatuk bukanlah pengawal yang baik. Namun aku menyadari satu hal. Pengawal yang baik adalah pengawal yang mampu menjadi apapun yang tuannya butuhkan. Pengawal yang baik adalah pengawal yang mampu melakukan tugasnya dengan baik, yaitu : melindungi orang lain. Terlalu banyak ukuran yang ditetapkan dalam angan manusia. Mereka terlalu banyak menetapkan ukuran itu hingga melupakan hal yang terpenting.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
🌸Ar_Vi🌸
suka thor.. lebih seru dari sebelumnya.. 😍😍
2020-12-19
1
Mei Shin Manalu
Likee lagii
2020-08-12
1
Pandathor🐼Hiatus🐼
Hai author
aku udah boom like dan rate 5
jangan lupa mampir feedback ya ke karya ku
Keep Up❤
2020-07-31
1