Stella memandang ke langit dari balkon kamarnya. Tubuhnya dia sandarkan pada pagar teralis besi sambil sebelah tangannya memegang secangkir kopi. Stella tersenyum tipis, bahkan pahit kopi yang biasanya ia benci kini tak terasa begitu pahit setelah dia mendapatkan pengkhianatan keji dari Garry dan Feby.
Ia menyeruput kopinya seraya kembali mengingat kejadian malam itu, malam di mana dia memergoki perselingkuhan Garry dan Feby. Hatinya terasa hancur berkeping-keping setiap kali dia mengingat bagaimana teganya mereka melakukan hal semacam itu padanya. Dua orang yang paling dia percaya setelah Ane dan orang tuanya, berhasil menikamnya dari belakang dan menghancurkan hatinya hingga ia bahkan tak tahu apakah dia bisa mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya kembali.
Drrtt ... Drrtt ....
Stella mengambil ponsel dari saku piyamanya dan langsung mengangkat panggilan tersebut karena yang meneleponnya adalah Ane.
“Halo, Kak Ane,” sapanya.
“Halo, Stella. Apakah kau jadi pulang ke kampung?” tanya Ane.
Stella menepuk dahinya. Tadi sore, dia buru-buru memesan tiket pesawat dan pergi ke bandara setelah Ane pergi. Setelahnya, dia tak sempat mengabari Ane sama sekali tentang kepulangannya ke tanah kelahirannya.
“Kak Ane, maaf aku lupa mengabari Kak Ane. Tadi, setelah Kak Ane pulang sebenarnya aku langsung memesan tiket untuk pulang dan sekarang aku sudah di rumah,” balas Stella sambil terkekeh kecil.
“Astaga! Kenapa kau tidak bilang kepadaku? Kalau tahu begitu, kan, aku bisa mengantarmu ke bandara,” ucap Ane.
“Aku tadi buru-buru, Kak. Aku takut kalau Garry datang ke kosku. Karena itulah aku langsung memesan tiket pulang,” ungkap Stella.
“Jadi, Garry belum tahu kalau kau pulang?”
Stella menghela napas berat. “Entah, Kak. Aku sedang tidak ingin memikirkan Garry saat ini,” jawabnya.
“Aku mengerti, Stella. Kau tenangkan lah pikiranmu dulu. Setelah pikiranmu jernih, baru kau boleh mengambil keputusan. Jangan terburu-buru. Keputusan yang diambil secara terburu-buru jarang yang berakhir baik,” terang Ane.
“Iya, Kak. Kak Ane tenang saja. Aku tahu apa yang akan aku lakukan, kok.”
“Baiklah, aku tutup dulu teleponnya. Bella sudah mengantuk, aku akan membacakan buku dongeng dulu untuknya,” balas Ane.
“Baik, Kak. Katakan pada Bella kalau aku merindukannya.”
Setelah menutup panggilan tersebut, Stella meletakkan secangkir kopinya di meja dekat balkon, lalu memeluk tubuhnya sendiri yang kian menggigil karena angin malam yang menusuk-nusuk kulitnya.
Dulu, peluk hangat Garry selalu mampu menghilangkan rasa dingin yang ia rasakan. Akan tetapi, sekarang semua itu sangat mustahil untuk terjadi sebab Garry yang sekarang bukan lagi Garry yang dulu dia kenal. Kini, ada Feby di antara mereka berdua.
“Ck! Kenapa aku masih memikirkan dia? Tidak penting sekali!” gerutu Stella, memarahi dirinya sendiri.
Ia pun masuk ke dalam kamar, lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Selama berjam-jam, Stella berusaha untuk tidur. Namun, dia tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Meski kantuk sudah menghinggapinya sejak tadi, tetap saja ia tidak bisa terlelap. Justru sebaliknya, ia kini malah menatap langit-langit kamarnya dengan dua mata terbuka lebar.
Kini jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Stella pun mengambil ponsel dari nakas, lalu memandang puluhan pesan singkat dan telepon tak terjawab dari Garry. Sebetulnya Stella tidak tega mengabaikan Garry, tapi kalau Garry saja tega menyakitinya maka dia harus tega mengabaikan Garry.
Mendapati Garry yang kembali meneleponnya, Stella pun meletakkan ponselnya di samping bantalnya. Namun, karena Garry tak berhenti menelepon, Stella pun akhirnya mengangkat panggilan tersebut.
“Stella, kau ada di mana? Kenapa kau tidak bilang kalau kau mau pulang kampung?” ujar Garry bahkan sebelum Stella sempat bersuara. “Kau tahu, aku sangat frustrasi karena kau tidak bisa dihubungi. Apakah kau pikir enak diabaikan seperti ini?”
Garry terus meracau tidak jelas, membuat Stella jadi khawatir karena jelas sekali kalau pria itu sepertinya sedang mabuk. Ia merasa cemas dengan keadaan Garry.
“Stella, aku sangat sedih. Aku kecewa dengan sikapmu yang berubah seperti ini. Ke mana Stella yang dulu aku kenal?”
Pertanyaan Garry membuat rasa cemas yang tadi sempat dirasakan oleh Stella menguap tanpa sisa. Stella kembali mengingat alasannya berubah seperti ini karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Garry sendiri.
“Apakah kau mencintaiku, Gar?” tanya Stella tanpa membalas pertanyaan dari Garry.
“Tentu saja aku mencintaimu. Aku bahkan sangat mencintaimu, Stella,” balas Garry tanpa ragu.
Stella terdiam sejenak, memejamkan matanya saat mendengar jawaban Garry. Air mata menetes dari sudut matanya. Ia tersenyum kecut. Rasa cinta yang Garry berikan untuknya tak akan pernah cukup untuk menyembuhkan luka di hatinya.
“Kalau kau memang mencintaiku, maka kau harus bisa membuktikan seperti apa cinta yang kau maksudkan,” tantang Stella, lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
tia
lanjut thor
2023-06-17
2