Tertolak

Baskara hanya bisa menarik dan membuang napas dengan pasrah tatkala rekan kerjanya menatapnya sambil berbondong-bondong menahan tawa. Hari Senin kali ini benar-benar kacau. Bukan saja dia yang terpaksa gas pol sampai membuat Vero kewalahan, tindakan Biru yang memburu-buru dirinya juga membuatnya tak sadar telah salah mengenakan alas kaki.

Kalau hanya sekadar tidak mengenakan sepatu, dan malah mengenakan sandal jepit rumahan sih, Baskara tidak akan terlalu malu. Tapi masalahnya, sudahlah ia memakai sandal jepit, warnanya pun berbeda pula. Yang satu warna hijau tua, satu lagi warna biru.

“Mas Abi habis sholat di masjid mana, kok sandalnya bisa beda warna?” celetuk Seno, menjadi satu-satunya orang yang berani meledek di saat rekan kerja yang lain hanya bisa menahan tawa.

Baskara menghela napas lagi. Dipandanginya alas kaki beda warna yang telah merusak outfit kecenya secara keseluruhan. Padahal dia sudah merasa keren sekali dengan outfit serba hitam yang kalau kata anak zaman sekarang adalah outfit-nya para cowok mamba.

“Mas Abi non muslim,” bisik salah seorang rekan kerja lain, mengoreksi pertanyaan Seno yang takutnya akan menimbulkan reaksi yang sensitif.

Bisikan itu masih bisa Baskara dengar dengan jelas, namun dia memutuskan untuk tidak berkomentar. Malah Seno yang akhirnya heboh sendiri dan meralat ucapannya.

“Aduh, lupa, Mas, maaf. Habisnya yang suka ketuker sandal tuh biasanya yang habis pulang sholat dari masjid.” Ucap Seno merasa tidak enak.

“Santai, lah, Sen.” Baskara mengibaskan tangannya. Soal agama bukan sesuatu yang cukup menarik untuk dirinya. Dia bahkan tidak peduli sekalipun di ruangan ini ada yang mengaku atheis. Baginya, urusan antara seorang manusia dengan Tuhan itu benar-benar urusan personal, manusia lain tidak perlu tahu.

Seno menarik kursinya mendekat ke arah meja kerja Baskara. Masih penasaran dia soal alasan sebenarnya di balik munculnya perpaduan sandal yang tidak match di kedua kaki Baskara saat ini.

Setengah berbisik, lelaki itu kembali bertanya. “Serius, itu kenapa bisa sampai salah? Mas Abi kan orangnya detail banget, nggak mungkin tiba-tiba asal pakai sandal.”

Baskara menoleh ke samping, terdiam sejenak sebelum menjawab, “Anin heboh banget ngajakin berangkat karena udah kesiangan, jadi ya ... gini, lah.”

Mendengar itu, Seno ber-oh panjang sekali sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, beberapa detik setelahnya, lelaki itu terkekeh pelan, membuat Baskara menaikkan sebelah alisnya keheranan.

“Anin kalau dilihat-lihat lucu juga, ya, Mas.” Kata Seno. Mulai dari situ, perasaan Baskara tidak enak. Raut wajah Seno juga mulai berubah ketika menyebut nama Anin.

“Lucu gimana maksudnya?” selidik Baskara.

Seno makin senyum-senyum aneh, “Ya ... gitu. Lucu, gemes. Jadi pengin—“

“Nggak ada, anaknya masih kecil, belum boleh buat pacaran.” Belum juga mendengar sampai habis, Baskara sudah memotong.

Praktis, Seno mengerucutkan bibir. Gagal sudah rencananya untuk memulai agenda pendekatan dengan Anindia, yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya. Dia pikir, bekerja di lingkungan yang sama dengan kakak kandung Anindia akan memberikan benefit untuk dirinya. Semacam jalan pintas menuju sebuah hubungan pacaran yang indah. Rupanya dia salah. Dia sempat lupa kalau Abimanyu orangnya juga sulit untuk didekati.

“Lagian,” Baskara menarik tangannya dari mouse, kini sepenuhnya beralih memandang Seno. “Kamu nggak akan kuat kalau pacaran sama dia. Anaknya galak, tapi juga cengeng dan manja. Saya aja pusing ngadepinnya, gimana kamu?”

Tapi bagi Seno, dia tidak akan tahu apakah dirinya bisa menghandle Anindia atau tidak, jika belum pernah mencobanya sendiri. Selama ini, dia hanya sedikit menjalin interaksi. Mereka tidak pernah bertemu kecuali Anindia datang menghampiri Mas Abi yang sedang lembur.

“Belum juga dicoba, Mas.” Sungutnya, suaranya teramat pelan.

“Oh, jadi kamu mau coba-coba sama adik saya?” tanya Baskara.

Seno seketika gelagapan. Dia menggeleng panik, “Bukan gitu maksud saya, Mas. Saya cuma ... cuma....”

“Kalau cuma penasaran, mending jangan ya. Saya nggak siap ngeliat adik saya nangis-nangis karena cowok.”

“Nggak gitu, Mas Abi. Saya—“

Baskara menyentak kursi kerjanya, membawanya pada posisi nyaman selagi matanya kembali fokus ke layar komputer. “Saya sih nggak masalah kalau Anindia memang mau, tapi sebaiknya jangan. Kamu nggak akan pernah tahu gimana rumitnya isi kepala anak itu.” Pernyataan itu lantas menjadi pamungkas. Seno tak lagi mampu bersuara, harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa restu untuk melakukan PDKT sudah gagal dia lakukan.

Seno menyeret kursinya kembali ke depan meja kerja, membawa serta kekecewaan dalam raut wajahnya yang langsung berubah kusut.

Apanya yang jangan jatuh cinta sama orang lain? Harusnya gue yang bilang kayak gitu sama lo, Sabiru...

Dan rintihan itu hanya bisa Baskara keluhkan di dalam hati. Dia simpan sendiri karena mengatakannya kepada Sabiru pun tidak akan berpengaruh banyak.

...🌻🌻🌻🌻🌻...

Jam makan siang, tumben-tumbenan Seno tidak ikut keluar bersama rekan kerja yang lain untuk makan di warung Mbok Yem seperti hari-hari biasanya. Lelaki itu malah menarik kursinya, mepet ke arah meja kerja Baskara di mana sang empunya masih khidmat menjalankan kewajibannya.

“Mas Abi,” bisik lelaki itu.

Baskara hanya berdeham sebab dia masih harus fokus mengerjakan desain di layar komputernya.

“Mau makan siang bareng saya nggak?” tanya Seno masih dengan suara pelan. Padahal sedang tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua di ruangan ini. Aneh juga kenapa lelaki itu harus bisik-bisik seperti sedang mendiskusikan rencana penyerangan terhadap musuh.

“Saya udah pesan delivery. Kamu kalau mau makan bareng saya di sini ya nggak apa-apa, beli dulu sana makanannya.” Jawab Baskara.

Namun, dia malah mendengar Seno mengembuskan napas pelan sehingga ia pun mau tak mau menoleh ke samping.

“Saya niatnya mau traktir Mas Abi makan siang, bukan sekadar mau ngajak makan bareng.” Tutur lelaki itu dengan bibir merengut.

Baskara menaikkan sebelah alisnya, mulai mencium maksud tersembunyi di balik kebaikan hati Seno siang ini. Well, yeah, Seno memang baik dan royal. Lelaki itu sering mentraktir kopi dan camilan untuk rekan kerja mereka yang lain. Akan tetapi, itu biasanya dilakukan untuk semuanya, tidak pernah secara khusus mentraktir hanya satu orang saja.

Maka sudah bisa dipastikan, lelaki itu sedang ada maunya.

“Dalam rangka apa kamu mau traktir saya?” Baskara sepenuhnya melepaskan tangannya dari mouse, lantas memutar kursi menghadap Seno. Lengannya dilipat di depan dada, tatapannya menyelidik.

Sedang diinterogasi, Seno malah cengar-cengir seperti orang bodoh. Makin-makin Baskara menaruh curiga. Traktiran ini jelas tidak akan datang secara cuma-cuma, ada harga yang harus dia bayar untuk seporsi makan siang.

Tak juga kunjung mendapat jawaban, Baskara menarik diri. “Saya nggak tahu niat kamu apa, tapi kalau ini ada hubungannya sama Anin, lebih baik kamu berhenti.” Ujarnya, sudah kembali fokus menatap layar komputer. “Jawaban saya tetap enggak, Sen. Adik saya nggak boleh pacaran dulu sama siapa pun.”

Keras kepalanya Baskara itu membuat Seno melenguh kecewa. Dua kali dalam sehari, dia mendapatkan penolakan yang tidak pakai basa-basi.

“Padahal seru kalau kita bisa double date suatu hari nanti.” Gumam Seno sambil mendorong kursinya kembali ke meja.

Mendengar itu, Baskara melirik sinis, lantas kembali menggerutu di dalam hati. “Double date matamu! Sabiru pacar gue anying!”

Bersambung

Terpopuler

Comments

Larasati

Larasati

lucu amatt sih yg lagi nahan cemburu

2023-08-14

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!