Rasa bersalah dan perasaan tidak enak membuat Lintang hanya mampu merebahkan tubuhnya di atas kasur sejak sekembalinya ia dari rumah kontrakan Mas Abi. Pintu kamar dia kunci, tak dia bukakan untuk siapa pun termasuk Bapak dan Ibu, bahkan ketika mereka berkali-kali mengetuk dan membujuknya untuk keluar. Jam makan siangnya dia lewatkan begitu saja, pun dengan makan malam yang sebentar lagi akan tiba.
Berkali-kali Lintang menarik dan membuang napas dengan cara yang dramatis, namun sesak yang bergerumul di dadanya seakan enggan pergi, betah sekali menjadi penghuni gratis yang tak perlu membayar biaya sewa.
Mengenaskan. Hanya satu kata itu yang kemudian terlintas di kepalanya untuk mendeskripsikan kondisinya sendiri saat ini. Akibat tingkahnya yang terlalu over dalam mengejar cinta Mas Abi, dia malah tanpa sengaja menggali kuburannya sendiri. Satu-satunya yang Lintang takutkan kemudian hanya satu, bagaimana jika setelah ini, Mas Abi enggan untuk bertemu dengan dirinya lagi?
Membayangkan hari-harinya yang akan kembali sepi jika Mas Abi betulan memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengannya telah berhasil membuat air mata Lintang tumpah lagi. Dalam sejarah hidupnya, ini adalah kali pertama Lintang menangis begitu sering karena sesuatu. Mungkin, karena Mas Abi adalah cinta pertamanya. Cinta pertama yang kata orang-orang memiliki kemungkinan untuk berhasil hanya sebanyak 0,01 persen. Entahlah, Lintang juga tidak tahu orang-orang itu telah melakukan survei di mana sampai bisa membuat kesimpulan tersebut.
Lelah menangis, Lintang bangun pelan-pelan dari tidurnya. Ia melangkah gontai ke kamar mandi karena kandung kemihnya bergejolak, mendesaknya untuk mengeluarkan sesuatu yang sudah penuh.
Tiga langkah sebelum dia mencapai pintu kamar mandi, Lintang berhenti. Samar-samar rungunya menangkap suara deru motor yang sangat familier. Deru motor yang hadirnya selalu dia tunggu-tunggu untuk datang ke rumahnya setiap malam minggu, membawa serta sang empunya yang tampil all out dalam setelan serba hitam yang membuatnya terlihat tampan maksimal. Deru motor yang untuk saat ini, malah membuat Lintang tertawa miris sambil mempertanyakan kewarasannya sendiri.
"Kayaknya aku udah mulai gila, deh." Monolognya. Berpikir kegalauannya terlalu dahsyat hingga membuatnya halu berat.
Yakin bahwa suara deru motor itu hanya imajinasinya sendiri, Lintang pun melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam kamar mandi tanpa mau repot-repot menutup pintu. Lalu sambil buang air kecil, dia menangis lagi. Oh, sungguh, Lintang yakin dia bukanlah orang yang cengeng. Tapi kenapa hari ini dia menangis terus tanpa henti?
Masih sambil sesenggukan, Lintang menyudahi prosesi buang air. Tak lupa mencuci tangan hingga bersih sebelum menggunakan tangan itu untuk menyeka wajahnya yang basah oleh air mata.
Untuk beberapa lama, Lintang terdiam di depan cermin di dekat wastafel. Dia pandangi pantulan dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan. Tidak perlu dideskripsikan secara detail, kalian bisa membayangkan sendiri betapa buruknya kondisi wajah seseorang yang menangis seharian.
"Jelek banget mukamu," ia mengejek diri sendiri. Lalu, setelah menarik napas dalam-dalam, Lintang kembali menyalakan keran, menangkup air sebanyak yang dia bisa untuk kemudian dia basuhkan ke wajahnya yang tidak keruan.
Dingin menyebar cepat, bergerak laju hingga terasa sampai ke sel-sel otak. Gemuruh tidak nyaman yang merundung dada perlahan menyingkir, tarikan napasnya pun terasa lebih lega daripada sebelumnya.
"Jangan overthinking. Mas Abi sama Mbak Anin orang baik, kok. Mereka nggak mungkin musuhin kamu karena masalah ini. Yang penting udah minta maaf dan sadar kalau kamu salah, kan?" ia bicara panjang lebar sebagai upaya untuk menghibur diri sendiri. Padahal sebenarnya, dia juga masih khawatir setengah mati.
Dirasa cukup meratapi diri sendiri, Lintang keluar dari kamar mandi. Perutnya terasa lapar, tetapi dia tidak berselera untuk memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Jadi ketika dia sampai di kamar, Lintang berniat untuk kembali merebahkan diri di atas kasur.
Akan tetapi, belum juga bokongnya mendarat di tepian kasur, gerakannya terhenti ketika pintu kamarnya diketuk beberapa kali.
Mulanya, hanya ada ketukan, sehingga Lintang perlu menerka-nerka siapa gerangan yang berada di balik pintu kamarnya itu. Karena kalau itu adalah Bapak, Ibu ataupun Mbak Asih, ia masih tidak berniat untuk membukakannya. Ia ingin mengulur waktu, enggan membiarkan orang-orang terkasihnya itu melihat betapa buruk penampilannya saat ini. Biarlah dia selesaikan dulu kegalauannya, baru dia akan kembali memunculkan diri.
"Lintang masih mau di kamar!" teriak Lintang dengan suara parau ketika tidak kunjung ada suara yang menyusul ketukan-ketukan yang masih dilabuhkan.
Teriakan yang pertama masih tidak membuat ketukannya berhenti, jadi Lintang sudah bersiap untuk berteriak sekali lagi. Namun, lagi-lagi urung karena dia malah mendengar suara Mas Abi tepat setelah ketukan di pintu kamarnya berhenti.
"Mas Abi?!" Lintang setengah berteriak, berniat memastikan bahwa dia tidak sedang salah dengar--atau barangkali, sudah mulai benar-benar gila.
Dan ketika Mas Abi menjawab, "Iya, ini Mas Abi. Keluar dulu sebentar, Mas Abi mau bicara!" dengan suara yang juga lumayan keras, Lintang tak kuasa untuk tidak berlarian mendekati pintu.
Sekian lama ditutup rapat agar dia bisa bersembunyi, pintu itu akhirnyna terbuka. Hanya untuk membuatnya bisa bertatap muka lagi dengan Mas Abi kecintaannya yang beberapa jam ini dia tangisi dengan begitu nelangsanya.
"Mas Abi..." Lintang melirih. Matanya kembali memburam kala laki-laki yang dia taksir berat itu berdiri di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata teduh yang khas dirinya.
"Mas Abi minta waktunya sebentar, ya? Kita ngobrol, sama Mbak Anin juga." Ucap lelaki itu.
Nama Anin membuat Lintang menggigit bibir bagian dalam, menahan perasaan bersalah yang sekali lagi datang menerjang. "Mbak Anin mau ngobrol sama Lintang?" tanya ragu-ragu. Melihat betapa murkanya perempuan itu siang tadi, Lintang merasa sangsi.
Namun, Mas Abi mengangguk meyakinkan, sambil membubuhkan senyum tipis yang tak pernah bisa Lintang tolak kehadirannya. "Mbak Anin udah nungguin kita di tempat biasa, kita kesana ya? Tadi Mas Abi juga udah izin sama Bapak sama Ibu kok." Kata lelaki itu.
"Tapi, Mas..."
"Nggak ada tapi, tapi. Ambil jaketnya, kita jalan sekarang, keburu malam." Dengan lembut, Mas Abi memutar tubuh Lintang, mendorong pelan tubuhnya agar segera mengambil jaket supaya tidak kedinginan.
Sudah begitu, Lintang pun hanya bisa menurut. Dia ambil jaket berwarna merah muda dari dalam lemari pakaian, mengenalkannya dengan terburu sambil berjalan kembali ke hadapan Mas Abi.
"Ayo," ajak Mas Abi seraya menggenggam erat tangannya.
Lintang mengikuti ayunan langkah lelaki di depannya, sambil begitu khidmat menatapi tangannya yang terasa hangat di dalam genggaman Mas Abi. Dan sekali lagi, Lintang merasa ingin menumpahkan air matanya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments