Dari seberang jalan, Lintang sudah bisa menemukan keberadaan Anindia di antara banyaknya lalu-lalang manusia yang memenuhi Malioboro. Di tempatnya duduk, tatapan perempuan itu tampak tertuju pada enam orang musisi jalanan yang tengah bekerja sama menghibur pengunjung yang datang. Sesekali Lintang akan menemukan Anindia bertepuk tangan, lalu di momen lain, perempuan itu akan maju menghampiri spot di mana para musisi jalanan sedang beraksi, menyisihkan lembaran uang berwarna biru yang kemudian dimasukkan ke kotak penampungan. Meski jarak mereka cukup jauh, Lintang bisa melihat betapa cantik senyum yang terukir di wajah Anindia yang lebih sering terlihat polos tanpa pulasan make up.
Dalam beberapa kesempatan, Lintang pernah bermimpi untuk berada di posisi Anindia. Memiliki kakak laki-laki yang menyayanginya sepenuh hati, rela pasang badan untuk membela tak peduli siapa pun lawan yang sedang dihadapi. Sebagai anak tunggal, Lintang menaruh iri. Kehadiran saudara seperti Mas Abi adalah impian yang tak akan pernah kesampaian sekalipun dia merengek kepada Bapak dan Ibu sebanyak jutaan kali. Maka ketika dia memiliki kesempatan untuk merasakan berada di posisi itu, agaknya Lintang menjadi cukup serakah dan berakhir menjadi manusia menyebalkan.
“Masih mau di sini aja?” di belakangnya, masih menunggang Vero yang telah diparkirkan, Mas Abi angkat bicara.
Mereka sebenarnya sudah tiba di sini sejak 20 menit yang lalu, namun Lintang masih tak memiliki keberanian untuk berjalan mendekat ke arah Anindia. Rasa bersalah yang ia miliki juga mulai menimbulkan rasa malu, membuat nyalinya ciut tanpa bisa dicegah degan apa pun.
“Iya,” Lintang lantas menoleh. Seperti biasa, yang Mas Abi suguhkan kepadanya adalah tatapan teduh yang tidak pernah Lintang temukan di mata siapa pun yang dia kenal sepanjang hidupnya. Mata teduh yang dalam beberapa kesempatan, membuat Lintang bersikeras untuk bisa memilikinya hingga akhir. “Lima menit lagi, ya. Tunggu Lintang kumpulin keberanian dulu.”
Dan Mas Abi tidak pernah berkata ‘tidak’ kepada dirinya. Pun ketika kini lelaki itu mengangguk dengan penuh pemakluman, membiarkannya kembali melayangkan tatapan jauh ke tempat di mana kini Anindia sudah kembali sibuk dengan dunia sendiri.
Lima menit yang Lintang minta nyatanya berlangsung cukup lama. Ketika pada akhirnya, Lintang malah tidak kunjung menemukan keberanian tatkala ia menemukan Anindia di seberang sana tengah mengeluarkan satu batang jagung rebus dari kantong plastik miliknya, menyerahkannya kepada bocah perempuan yang mungkin baru berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Bocah perempuan random yang tahu-tahu ikut duduk di sebelah Anindia, entah ke mana orang tuanya.
Anindia orang baik, jadi kenapa Lintang selalu membuat kesabaran perempuan itu habis? Kenapa dia tidak bisa bersikap manis, agar mereka bisa sama-sama menerima kasih sayang dari Mas Abi tanpa adanya pertengkaran yang tak penting?
Pertanyaan itu Lintang tujukan kepada dirinya sendiri, dan dia malah berakhir merutuki banyak sekali hal yang telah dia lakukan selama ia mengenal Mas Abi dan Anindia. Bukan sekali, sudah banyak momen di mana dia membuat Anindia yang baik hati itu berubah menjadi reog, dan ia selalu merasa tidak bersalah karena yakin Mas Abi berada di belakang punggungnya untuk membela. Namun kejadian yang tadi siang adalah perkara lain. Kemarahan Anindia sudah mencapai level paling tinggi, Lintang tak bisa lagi menutup mata.
“Ayo, Mas.” Ajaknya, usai ia menarik napas dalam-dalam demi menguatkan diri sendiri.
Tak sedikit pun Lintang berbalik ke arah Mas Abi di belakangnya. Ayunan langkahnya yang ragu-ragu perlahan berubah menjadi teratur setelah dia meyakinkan diri bahwa, Anindia adalah orang baik. Mereka akan baik-baik saja. Malam ini, Linang bertekad untuk berdamai dengan perempuan itu—entah bagaimana pun caranya.
Semakin dekat langkahnya, Lintang merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. Rasanya mirip ketika dia sedang menunggu hasil ujian, atau ketika dia diombang-ambingkan oleh pengumuman penerimaan mahasiswa baru 2 tahun lalu. Degup yang membuat perutnya ikut-ikutan mulas, serta napasnya yang harus ditarik susah payah.
“You can do it, Lintang.” Ia berbisik lirih kepada diri sendiri.
Suara langkah Mas Abi yang mengekor di belakang tak lagi Lintang gubris tatkala tatapannya bertubrukan dengan Anindia. Masih dengan senyum lebar sisa persembahan kepada bocah perempuan yang duduk di sebelahnya, perempuan itu menoleh ke arahnya. Lintang merasa jantungnya seperti diremas saat senyum itu perlahan menyempit, namun tak benar-benar hilang.
“Hai,” dan sapaan itu seketika membuat kaki Lintang serasa lemas. Tulang-tulang di tubuhnya seperti berubah menjadi gumpalan jeli, meleyot ke sana dan ke sini.
Sekarang, bagaimana caranya Lintang harus memulai misi perdamaian ini?
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Dua puluh menit duduk berdua, obrolan mereka hanya terjadi di lima menit pertama. Sisanya dihabiskan untuk terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing yang tentu saja tidak bisa ditebak oleh orang di sebelahnya.
Di area tengah, para musisi jalanan masih unjuk kebolehan. Lagu demi lagu terus dimainkan. Dari yang gembira, hingga yang sendu menguras air mata. Bocah perempuan yang semula menempati posisi duduk Lintang sudah pergi, dibawa menepi oleh Mas Abi dengan iming-iming dibelikan sosis bakar di area tepi di seberang jalan. Lintang dan Anindia ditinggalkan benar-benar hanya berdua.
“Gue minta maaf.”
Sekali lagi, Lintang dibuat kehilangan kata-kata. Di saat dialah yang seharusnya mengucapkan kalimat itu, dia malah menjadi orang pertama yang mendapatkannya. Sungguh ia kemudian bertanya-tanya, seberapa baik kedua orang tua Anindia mendidiknya hingga bisa dengan rendah hati meminta maaf lebih dulu, padahal dia tidak bersalah?
“Lintang yang harusnya minta maaf.” Saat mengatakan itu, mata Lintang sudah kembali berembun. Hanya menunggu waktu sampai embun-embun itu tumpah, menjadi banjir air mata yang akan sulit untuk dikendalikan. “Lintang udah keterlaluan banget sama Mbak Anin dan Mas Abi. Lintang....” kalimatnya tak selesai, menggantung bagai layangan putus yang tersangkut di kabel listrik nan tinggi. Terlalu sulit untuk dilepas, namun tak bisa berlama-lama pula tinggal di sana.
“Lo emang udah keterlaluan karena sampai nerobos masuk ke pekarangan rumah gue sama Mas Abi,” ucapan Anindia itu langsung Lintang angguki. “Tapi gue juga perlu minta maaf sama lo karena udah bentak-bentak lo kayak manusia yang nggak pernah dikasih tahu gimana caranya berdiskusi. Gue lebih mementingkan emosi, bikin mental lo down parah karena gue marah-marah di depan Mas Abi, yang notabene adalah orang yang lagi berusaha lo deketin.”
Setelah kalimat panjang itu, Lintang menemukan Anindia mengambil jeda. Perempuan itu tampak mendongak, menatap rembulan yang bersinar malu-malu sebab gumpalan awan hitam hampir menelan ia sepenuhnya.
“Mas Abi bilang, emosi nggak pernah menyelesaikan semuanya.” Kata perempuan itu lagi setelah jeda yang cukup lama. “Gue tahu, tapi masih aja nggak bisa mengendalikan diri kalau ada hal-hal yang berjalan di luar kehendak gue. Sama kayak manusia lain di muka bumi ini, menahan emosi adalah sesuatu yang sulit buat gue, Lintang. Apalagi, kalau itu ada hubungannya sama Mas Abi.”
Lintang terdiam mendengarkan. Meskipun dia punya banyak sekali hal yang ingin dikatakan, pada akhirnya dia tetap memilih untuk bungkam. Kalimat demi kalimat yang seterusnya Anindia katakan tetap Lintang simak, dia cerna baik-baik di dalam kepala sambil menilik kembali apa saja kekacauan yang telah dia buat untuk sepasang kakak adik yang saling menyayangi itu.
Lantas pada satu titik, Lintang mulai mengerti, mengapa Anindia terlihat antipati. Bukan hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada perempuan-perempuan lain yang berusaha menarik perhatian Mas Abi.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments