Perut kenyang, hati pun senang. Dompet pun masih aman karena duduk berdua di angkringan hanya menghabiskan 55 ribu. Terbilang murah, untuk ukuran mereka yang dulunya hidup serba mewah. Layaknya anak kos pada umumnya, mereka memang sudah terbiasa hidup hemat dan sederhana sekarang. Hanya sesekali ketika habis gajian, mereka akan pergi jalan-jalan. Tidak jauh-jauh, hanya berkitar mengelilingi mal terdekat, untuk sekadar jajan es krim gelatto kesukaan. Kadang-kadang kalau ada budget lebih, mereka akan pergi agak jauh, mengembara mengunjungi pantai-pantai di Jogja yang masih belum banyak tersentuh kaki wisatawan. Pantai-pantai yang masih asri, yang untuk ke sana pun perlu effort yang tidak main-main.
Baskara memarkirkan motornya di halaman, turut membantu Biru melepaskan helm yang menempel di kepala kekasihnya karena gadis itu tampak kesusahan.
“Siapa duluan yang mandi? Gue atau lo?” tanya Biru saat mereka berjalan beriringan menuju pintu rumah.
“Bareng aja gimana?” celetuk Baskara seraya menaikturunkan alisnya.
“Boleh, habis itu lo sekalian gue dandanin terus gue masukin ke dalam peti, ya?”
Baskara sontak merengut, "Serem amat sih anjir."
“Makanya, itu mulut jangan asal kalau ngomong.” Sambil mengomel begitu, Biru memasukkan kunci ke lubang di pintu tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari Baskara. Mungkin itu merupakan salah satu keahlian tersembunyi kaum perempuan, bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu alias—multitasking. Kalau itu Baskara, dia tidak akan bisa melakukannya.
Antara kunci yang tidak segera masuk ke lubang, atau justru kunci itu jatuh bergelimpangan.
“Bercanda. Ganteng-ganteng gini, otak gue sama sekali nggak mesum.”
Baskara menyentuh dadanya sendiri, seketika memasang raut innocent yang membuat Biru mendadak mual.
“Oh aja.” Sahut Biru, kemudian berjalan masuk mendahului Baskara.
Baskara cemberut, disusulnya Biru yang sudah berjalan jauh di depan.
“Gue mandi duluan deh, lo kalau mandi suka lama, gue juga heran ngapain aja lo di kamar mandi.” Teriak Biru dari depan pintu kamarnya. Sudah ada handuk dan baju ganti yang tersampir di bahu semampainya.
“Ritual wajib para laki-laki.” Baskara menjawab pelan, setelah tubuh Biru menghilang di telan pintu kamar mandi.
Faktanya, alasan di balik mengapa dia betah berlama-lama di dalam kamar mandi adalah karena dia senang melamun. Di tempat yang dingin dan lembab itu, dia sering menghabiskan waktu untuk memikirkan banyak hal. Kadang melakukan kilas balik perjalanan hidup, kadang merangkai andai-andai untuk masa depan bersama Sabiru yang dia cintai setengah mati.
Lintang pernah berkata padanya, bahwa kita dilarang untuk berlama-lama di kamar mandi karena di sanalah para setan senang berkumpul. Akan tetapi, Baskara tidak takut sama sekali. Karena perlu Lintang dan orang-orang lain ketahui, Baskara sudah masuk ke dalam lingkaran pertemanan para setan itu sendiri. Malah bisa dibilang, dia mungkin adalah pemimpinnya.
“Jangan lama-lama, Yang, dingin!” teriak Baskara, yang kemudian disahuti dengan suara menggelegar oleh Biru dari arah dalam kamar mandi.
Selagi menunggu giliran untuk dirinya mandi, Baskara duduk di meja makan. Untuk apa? Untuk melamun. Sekarang ini, kapan pun dia punya waktu luang, dia akan menggunakannya untuk melamun. Itulah sebabnya dia berpikir untuk mulai menjadi pekerjaan tambahan agar dia tidak memiliki terlalu banyak waktu luang.
“Main bungee jumping seru kali, ya.” Gumamnya di tengah-tengah lamunan. Namun, dia tidak akan benar-benar melakukannya. Ia takut ketinggian, melakukan bungee jumping hanya akan mendekatkan dirinya dengan risiko kematian. Dulu, dia memang sering meminta untuk mati. Tapi sekarang, dia benar-benar ingin hidup. Sebaik-baiknya hidup yang bisa dia jalani.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Wangi cokelat memenuhi ruangan karena Baskara tidak sengaja memecahkan botol parfum milik Sabiru yang isinya masih penuh karena memang baru dibeli. Rasa bersalah tergambar jelas dari raut wajahnya ketika dia bergerak serabutan memunguti pecahan kaca yang berserak di lantai kamar.
“Sorry, Bi, gue nggak sengaja. Gue tadi lagi mau ambil sisir, terus nggak sengaja nyenggol botol parfum ini. Jangan marah, ya, please? Nanti gue ganti, gue beliin yang baru, ya, Sayang?” cerocosnya tanpa henti.
Untuk kesalahan kecil seperti itu, reaksi Baskara memang terlihat berlebihan. Orang-orang yang tidak tahu hanya akan mencemooh, mengatakan bahwa ia terlalu over dalam bersikap. Atau bisa juga, mereka akan mengira bahwa itu terjadi karena Biru yang terlalu galak sehingga membuat Baskara ketakutan bukan main hanya karena masalah sepele.
Akan tetapi, bagi Biru yang mengetahui pasti alasan di balik overnya reaksi Baskara itu, rasanya sangat menyakitkan. Setelah apa yang mereka lalui, Baskara memang tumbuh menjadi seperti itu. Cenderung takut melakukan kesalahan dan benar-benar bereaksi ekstra untuk kesalahan-kesalahan kecil yang dia lakukan—kepada siapa saja. Mereka sudah mencoba mengatasinya. Konsultasi ke psikiater dan menjalani serangkaian terapi, semuanya sudah mereka lakukan. Hanya saja, ada momen di mana ketakutan itu akan kambuh lagi. Seperti saat ini contohnya.
“Bas,”
“Nanti gue beliin yang baru, gue janji. Jangan marah, ya, jangan tinggalin gue.” Baskara memohon, matanya memerah dengan bulir-bulir bening yang menyelimuti.
“Baskara, listen to me.” Biru berjongkok, diraihnya tubuh Baskara, lalu dia singkirkan pecahan botol parfum yang ternyata sudah sempat melukai jemari panjang kekasihnya. “Ini cuma parfum, harganya bahkan nggak sampai seratus ribu. There's no reason for me to leave you just because of a bottle of perfume. Gue bisa beli lagi, kapan pun gue mau. But you, gue nggak akan bisa nemuin orang kayak lo lagi di dalam hidup gue.”
“Bi,”
“Lawan.” Tegas Biru. Ia tangkup wajah kekasihnya, sementara tubuhnya sendiri sudah gemetar menahan sesak yang merambat dengan brutal menguasai dada. “Lawan perasaan bersalah dan rasa nggak berharga itu. Buang dia jauh-jauh dari hati dan kepala lo, Bas. Mereka semua cuma ilusi, mereka nggak nyata.”
“Ingat apa kata Dokter Stephanie, lo bisa, kita bisa. Keadaan akan kembali baik asal lo mau berusaha. Kita berusaha sama-sama, oke?”
Baskara meraih ujung baju Biru, meremasnya kuat-kuat demi menyalurkan perasaan tidak nyaman yang menyerang benaknya.
“Lo bisa, Baskara.” Ucap Biru lagi. Lantas ucapan itu kemudian dia katakan berkali-kali. Tak peduli meski rahangnya pegal, meski mulutnya akan sampai berbusa. Dia masih terus mengatakannya sampai Baskara menunjukkan tanda-tanda bahwa keadaannya mulai membaik.
Yang seperti ini masih akan terus berulang, entah sampai kapan. Lantas, tegakah Biru membiarkan Baskara melewati semuanya sendiri? Jawabannya jelas tidak. Selelah apa pun, sefrustrasi apa pun, dia tidak akan pergi. Dia tidak akan menyerah, hingga Pramudya Baskara yang ceria kembali.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments