When The Rain Falls

Baskara meninggalkan banyak hal di Jakarta, terutama hal-hal yang berkaitan erat dengan Jeffrey, ayahnya. Hampir tidak ada yang dia bawa tentang lelaki itu, bahkan untuk sekadar ingatan tentang bagaimana hubungan baik mereka jauh sebelum semua bencana ini terjadi. Bagaimana dulu dia mengagung-agungkan sosok Jeffrey dan berkoar-koar kepada dunia bahwa dia akan tumbuh menjadi seperti lelaki itu ketika dia beranjak dewasa nanti. Bagaimana dulu dia melihat Jeffrey sebagai sosok yang keren, sosok hebat yang mampu mencintai ibunya dalam segala situasi.

Saat pertama kali menemukan sikap ayahnya berubah menjadi sosok yang asing, Baskara hanya berpikir bahwa mungkin cinta hebat yang dimiliki oleh lelaki itu untuk ibunya telah habis, dan dia pikir hal-hal semacam itu memang biasa terjadi dalam sebuah hubungan yang dewasa. Dia berusaha memahami, berusaha mengerti bahwa perasaan adalah suatu hal yang paling tidak mungkin untuk dipaksakan. Sama seperti dirinya yang tidak bisa jatuh cinta pada orang lain selain Sabiru meskipun segala hal berjalan lebih rumit setelah perpisahan mereka selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ketika keadaan semakin memburuk dan dia akhirnya tahu bahwa alasan sebenarnya dari perubahan sikap lelaki itu adalah karena ia ternyata memiliki anak lain di luar nikah, pemakluman itu sudah sepenuhnya tidak ada lagi.

Baskara membenci Jeffrey, sebenci itu hingga tidak tersisa lagi memori baik yang telah diukir oleh ayahnya selama belasan tahun mereka hidup bersama. Yang selalu terbayang di kepala Baskara tiap kali mendengar nama ayahnya hanyalah pemikiran tunggal bahwa laki-laki itu tak lebih dari sekadar bajingan, pengecut, dan manusia paling egois semuka bumi.

Apa yang membuat Baskara lebih tidak terima lagi adalah fakta bahwa anak di luar nikah yang ayahnya miliki ternyata adalah temannya sendiri, sahabat baik yang telah dia anggap seperti saudara dan selalu menjadi orang pertama yang dia cari ketika dirinya mengalami kesulitan. Seorang anak yang hidupnya begitu malang, tak tahu siapa gerangan ayahnya, pun tak mendapatkan kasih sayang dari sang ibunda. Label ‘anak haram’ melekat erat pada sang teman, dan yang bisa Baskara lakukan untuk membantu hanyalah dengan tidak bertanya apa pun, tidak menyinggung soal ayah yang wujudnya ternyata justru sangat dekat dengan dirinya sendiri.

Hidup Baskara menyedihkan karena ayah yang dia bangga-banggakan ternyata tidak sebaik itu, tetapi dia sadar bahwa hidup Fabian, sang teman yang dia sayangi, bahkan jauh lebih hancur karena sampai akhir pun, dia masih tidak bisa mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Jeffrey mengacaukan segalanya, dan Baskara tidak punya kekuatan apa pun untuk mengembalikan segala hal pada tempatnya yang semula.

Bahkan, ketika dia berlari sampai sejauh ini, Baskara masih tidak bisa melepaskan diri dari rasa bersalah atas ketidakadilan yang Fabian terima sepanjang hidupnya. Meski dia tahu ini bukan salahnya, meski dia tahu semua tanggung jawab ini seharusnya diambil oleh Jeffrey sebagai biang kerok utama dari segala kekacauan yang ada, Baskara tetap tidak bisa lagi berdiri tegak apalagi sampai memunculkan wajah di depan Fabian.

Malam ini, ketika langit menumpahkan tangis pilu hingga membuat banyak orang urung menghabiskan malam Minggu di luar rumah, Baskara duduk sendiri di beranda rumah. Meresapi rasa bersalah yang lagi-lagi menghantamnya begitu keras. Dia sibuk berandai-andai. Jika saja Jeffrey punya sedikit keberanian untuk mengambil tanggung jawab atas Fabian, apakah semuanya akan menjadi lebih baik sekarang?

“Bas,” Baskara hanya menyahuti panggilan itu dengan dehaman pelan. Tatapannya pun masih enggan beralih dari titik-titik hujan yang sesekali mengenai kakinya ketika angin berembus terlalu kencang. “Dingin, ayo kita masuk.”

Baskara menghela napas begitu panjang dan dalam gerakan yang lambat. Lalu sambil tersenyum nanar menatapi ujung-ujung jari kakinya yang telanjang, ia berkata lirih, “Di dalam pun tetap akan terasa dingin, Bi. Nggak ada yang bisa bikin gue merasa hangat selama rasa bersalah ini masih terus menghantui.”

Di tempatnya berdiri, Biru menggigit bibir bawahnya cukup kuat. Bau anyir merebak karena dia sampai membuat bibirnya robek sedikit. Lalu setelah menekan dadanya sendiri kuat-kuat, ia berjalan mendekat.

“Rasa bersalah itu terus ada karena lo pelihara.” Kata Biru, hanya untuk membuat Baskara menoleh lalu tertawa sumbang.

“Mereka nggak mau pergi meskipun gue udah berusaha keras buat mengusir mereka dari sini.” Ujar Baskara seraya menunjuk dadanya sendiri. Tempat di mana dia meletakkan rasa bersalah itu hingga terus tumbuh semakin besar dari hari ke hari.

“Harus tetap lo lawan. Usir terus sampai dia pergi dan nggak punya keberanian buat balik lagi.” Ini sudah Biru katakan berkali-kali, namun mereka tetap saja sampai di titik di mana rasa bersalah itu justru datang dengan skala yang lebih besar, menimbulkan sesak yang rasanya berkali-kali lipat lebih parah. “Kalau nggak bisa melakukan ini buat hidup lo supaya lebih baik, at least lakuin ini buat Fabian. Gue yakin dia nggak mau ngeliat lo kayak gini, Bas. He loves you, cuz you’re his dearest friend. Lo yang selalu ada di sisi dia, begitu juga sebaliknya. Dia pasti nggak mau lihat lo menanggung rasa bersalah yang bukan milik lo.”

“But he left me.” Baskara menyela. “Dia ninggalin gue tanpa sepatah pun kata pamit, Bi.”

“Dia cuma lagi berusaha menyembuhkan dirinya, Bas, just like what we did. Duka atas kehilangan ibunya terlalu dalam, dan dia cuma butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.”

“Dan satu-satunya cara untuk dia bisa berdamai mungkin dengan nggak ngeliat gue lagi selama sisa hidupnya.” Baskara mengumpulkan sendiri. Karena kalau dia ada di posisi Fabian, dia mungkin akan mengambil keputusan untuk tidak lagi berhubungan dengan orang-orang dari masa lalu yang menyumbang terlalu banyak duka di dalam hatinya.

“Dan gimana kalau ternyata dia justru butuh lo, karena sekarang udah nggak ada lagi yang bisa dia jadiin tempat pulang setelah satu-satunya keluarga yang dia punya udah balik duluan ke pangkuan Tuhan?”

“Dia akan selalu bisa menemukan orang lain, Bi. Gue nggak sespesial itu buat Fabian. Ngeliat gue pasti bakal bikin dia keinget sama ibunya terus-menerus, dan itu adalah sesuatu yang buruk.”

“Bas,”

“Sebentar lagi.” Baskara menyela lagi. “Gue mau di sini sebentar lagi, ya. Lo masuk aja duluan, nanti gue susul.” Dan kalimat itu serupa usiran halus agar Biru segera pergi, tak mengganggu agenda perayaan kesedihan yang sedang Baskara jalani.

Akhirnya, dengan sesak yang merambati dada dan keputusasaan yang nyaris merenggut kewarasannya, Biru mengalah. Dia menarik langkah mundur, masuk ke dalam rumah dan membiarkan kekasihnya merenung lagi, sendirian ketika hujan justru turun semakin deras.

Bersambung

Terpopuler

Comments

jully

jully

ayo kakak author semangat buat up bab nya,,ah nungguin ayang baskara kaya minum obat kolesterol sehari sekali😂

2023-06-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!