Merayakan Cinta dengan Sederhana

“Euaaaghhhh....” Baskara meregangkan otot-ototnya yang kaku. Tiga cover yang dikejar deadline akhirnya selesai juga dikerjakan ketika waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Sabiru yang katanya mau menemaninya lembur nyatanya malah terlelap di meja salah satu karyawan, nyenyak sekali sambil memeluk leather jacket miliknya yang tempo hari dia rebut dari tangan Lintang.

“Gemes banget sih bini gue.” Gumam Baskara dari tempatnya duduk. Wajah polos Biru yang terpampang beberapa meter di depannya serupa dopamin yang serta-merta mengembalikan energinya yang terkuras habis. Memang beruntung dia memiliki gadis itu di sisinya.

Jarum jam yang terus bergerak menimbulkan suara detak yang terdengar silih berganti dengan detak jantung Baskara sendiri. Selama beberapa saat, yang lelaki lakukan itu hanya terdiam di kursinya, bertopang dagu menikmati wajah cantik kekasihnya yang dia gadang-gadang akan menjadi teman hidupnya sampai tua nanti.

“Sayangku, cintaku, kasihku. Makasih, ya, udah jalan sejauh ini. Makasih udah rela ngelepasin banyak hal buat membersamai manusia dengan mental health yang hancur lebur ini. Gue janji, gue bakal sembuh lebih cepat, supaya gue bisa bawa lo ke kehidupan yang lebih baik.” Ia mengatakan itu dengan suara rendah. Dan perlu kalian tahu, dia tidak akan pernah mengatakannya secara langsung kepada Biru ketika gadis itu sedang sadar.

Bukan karena gengsi. Bukan juga karena dia terlalu malu untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dia hanya tidak pernah bisa mengatakan kalimat-kalimat yang padahal sudah sampai di ujung lidahnya itu, karena baru saja dia akan membuka mulutnya, mata jernih Biru yang menyorotnya teduh akan seketika membuat dadanya bergemuruh. Kalau sudah begitu, dia tidak akan berkutik. Dan meneruskan niat mengucapkan kalimat seperti tadi hanya akan membuatnya tenggelam dalam tangis.

Ketika jarum panjang di jam dinding menunjuk angka lima, Baskara bangkit dari duduknya. Segera dia bereskan barang-barang, memasukkannya ke dalam tas gendong berwarna hitam yang dibelikan oleh Biru sebagai hadiah kepindahan mereka tujuh bulan yang lalu. Sudah beres, tas itu kemudian dia cangklong di satu sisi bahu, lalu dia berjalan mendekati meja di mana Sabiru masih terlelap.

Perlahan, Baskara membungkukkan badan, mendekatkan bibirnya ke telinga Biru kemudian berbisik pelan, “Yang, ayo pulang.”

Membangunkan Sabiru tidak pernah sulit. Hanya dengan bisikan itu saja, sang gadis perlahan-lahan membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum saat wajah tampan kekasihnya terlihat sempurna dalam pandangannya.

“Uda selesai?” tanyanya seraya menarik kepala dari atas meja.

Baskara menegakkan kembali tubuhnya, lantas mengangguk. “Ayo, nanti kita mampir dulu ke angkringan buat makan malam.” Ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Uluran itu disambut oleh Biru. Gadis itu segera bangkit dan menggenggam erat tangan kekasihnya. “Gue mau nasi kucing 5 porsi.” Pintanya.

“Gue beliin sekalian sama gerobaknya.” Sombong Baskara, lalu dia terkekeh setelah menyadari bahwa uangnya sudah tidak sebanyak dulu. Well, dari dulu memang uangnya tidak pernah banyak, sih. Yang selalu dia hambur-hamburkan sedari dulu kan memang uang kedua orang tuanya.

Biru ikutan tersenyum, “Nggak usah sama gerobaknya, kasihan abangnya nanti nggak bisa jualan lagi.”

“Bener juga.” Lalu, mereka tertawa bersama. Di tahun ke-empat ini, tabungan mereka memang semakin menipis. Akan tetapi, mereka tidak terlalu nelangsa karena setidaknya mereka masih saling memiliki satu sama lain. Selagi kebutuhan pokok masih bisa terpenuhi, rasanya masih akan baik-baik saja.

Mereka tidak butuh liburan ke luar kota, merayakan anniversary dengan mewah seperti apa yang kerap mereka lakukan di masa lalu. Kini, bahkan hanya duduk berdua di angkringan, memesan beberapa porsi nasi kucing dan berbagai macam sate-satean ditemani segelas kopi sachet pun sudah mampu membuat hati mereka senang.

“Gue serius, ya, nasi kucing 5 bungkus.” Tagih Biru lagi ketika mereka berjalan menuju parkiran.

“Iya, aman.” Baskara mengiyakan.

“Duit lo masih cukup, kan, buat sampai ke akhir bulan? Duit gue udah gue masukin semua ke tabungan sama dana darurat, sisa 200 ribu doang.”

“Cukup.”

“Bagus. Let’s go.” Biru menggamit lengan Baskara, menariknya berjalan lebih cepat menuju motor matic kesayangan mereka.

“Lah, lo nggak bawa helm, Yang?” tanya Baskara saat menyadari tidak ada helm berwarna biru muda milik Sabiru di setang motornya.

Sabiru turut menengok ke arah motor, lalu menepuk jidatnya keras-keras. “Lupa! Ketinggalan di motornya Denis.”

“Kenapa bisa ada di motornya Denis?” tanya Baskara menyelidik.

“Tadi siang gue pergi beli makan sama dia.” Biru menjawab jujur. “Tenang aja! Gue nggak pegangan sama sekali kok! Suwer!” sambung Biru panik. Banyak yang sudah berubah dari Baskara, tapi untuk masalah cemburu, lelaki itu masih sama saja.

“Iyo, iyo, gue percaya. Ya udah, lo pakai helm gue aja nih. Ayo buruan pulang, keburu makin malam.” Baskara mengulurkan helm miliknya kepada Sabiru. Tetapi karena perempuan itu masih tidak kunjung meraihnya, dia pun berinisiatif memakaikannya saja. “Kelamaan mikir, keburu tua.” Ocehnya setelah selesai.

“Kita emang udah tua, by the way.” Biru balik mengomel, sedangkan yang dia omeli hanya terkekeh pelan lalu melompat naik ke atas Vero—motor matic kesayangan mereka.

Biru pun menyusul. Dia segera naik mengisi jok belakang setelah Baskara menurunkan footstep untuknya.

“Pegangan, peluk erat-erat, kalau perlu lo ikat tangan lo di perut gue biar nggak lepas.” Suruhnya, setelah memindahkan tas gendongnya ke depan.

“Bawel.” Omel Biru lagi. Kendati demikian, ia tetap melaksanakan perintah. Kedua lengannya melingkar di perut Baskara, jemari lentiknya saling bertaut—erat sekali. “Ayo.”

“Siap, Sayang.” Dengan begitu saja, tuas gas dia tarik, motor pun melaju melewati jalanan yang dipenuhi tiang-tiang lampu di pinggir jalan.

Jogjakarta memang tidak semegah Jakarta. Keramaian yang ia suguhkan pun berbeda. Namun, justru di sanalah Baskara mengerti bahwa cinta mereka bisa dirayakan dengan cara yang sederhana.

“Nanti kita tidur bareng lagi, ya.”

“Bayar, ya, 500 ribu.”

“Mau cosplay jadi l*nte lo, hah?”

“Gue emang l*nte, kan lo yang melihara.”

“Sialan. L*nte apaan yang nggak mau diajak bercocok tanam, cuma mau duitnya aja?"

“Si goblok.”

Obrolan random itu berlanjut di sepanjang perjalanan pulang. Pukulan, cubitan, gelitikan. Semuanya bergantian mendarat di tubuh Baskara, dan dia dengan senang hati menerimanya.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!