Ke Mana Kau Pergi, Aku Ikut

Demi memenuhi kebutuhan hidup, Baskara bekerja menjadi seorang desainer grafis di sebuah perusahaan percetakan yang cukup besar di Jogjakarta. Jaraknya hanya 20 menit naik sepeda motor dari rumah kontrakannya. Sementara Biru, perempuan itu bekerja di sebuah toko buku yang letaknya beberapa blok dari kantor tempat Baskara bekerja.

Tempat mereka bekerja sama-sama beroperasi dari Senin sampai Jumat, tetapi untuk Baskara, dia sering mendapatkan waktu lembur, apalagi jika sedang dikejar deadline untuk penerbit judul buku baru. Tak jarang ia harus pulang sampai larut malam di hari Jumat, lalu kembali ke kantor pada hari Sabtu untuk meneruskan pekerjaannya.

Seperti hari ini, misalnya. Ketika jam dinding di ruangan sudah menunjukkan pukul 5 lewat 20 menit dan karyawan lain sudah bersiap-siap untuk pulang, Baskara masih berkutat dengan set komputer kerjanya. Ada total 3 desain cover untuk judul buku yang harus dia selesaikan sebelum minggu depan, jadi mau tidak mau, dia harus kembali lembur.

“Mas Abi mau lembur lagi?” tanya Seno, salah seorang karyawan dari divisi pemasaran. Lelaki bertubuh jangkung dengan kulit eksotis khas Indonesia itu berjalan menghampiri kursi Baskara, turut mencuri pandang pada layar komputer milik laki-laki itu.

“Iya, masih ada 3 judul lagi.” Jawab Baskara seraya menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri, berusaha menghilangkan kaku yang menyerang karena terlalu lama menatap layar komputer.

“Waduh, banyak juga.” Kata Seno, seakan prihatin.

Mendengar itu, Baskara hanya terkekeh pelan. “Udah kerjaannya, mau banyak atau sedikit tetap harus dikerjain dengan senang hati.” Ucapnya.

Seno nyengir sambil garuk-garuk kepala, merasa tersindir. Pasalnya, tidak seperti rekan kerjanya yang terlihat selalu sabar dan legowo menghadapai sebanyak apa pun pekerjaan itu, ia lebih sering mengeluh dan ngomel-ngomel. Satu kantor seperti juga sudah tahu kalau dia tukang mengeluh.

Baskara mengukir senyum tipis melihat tingkah Seno, lalu dia menepuk-nepuk lengan lelaki yang lebih muda 4 tahun darinya itu pelan. “Udah, sana pulang. Rumahmu kan jauh, nanti keburu Maghrib.” Suruhnya.

Seno yang masih merasa salah tingkah kemudian manggut-manggut. “Ya udah, saya duluan ya Mas Abi. Mas Abi juga kalau bisa jangan sampai terlalu malam lemburnya, kasihan badan.” Ujar lelaki itu.

Baskara kembali tersenyum seraya mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Pesannya, dan Seno hanya mengeluarkan jari jempol sebagai isyarat sembari bergerak menjauh.

Sepi langsung datang menyergap setelah Seno pergi. Lelaki itu menjadi yang terakhir keluar setelah yang lain lebih dulu keluar tanpa basa-basi. Di kantor ini, Baskara memang tidak termasuk ke dalam jajaran karyawan yang punya banyak rekan untuk diajak berbincang. Tidak seperti dirinya yang dulu, yang heboh dan ceria, Baskara sudah banyak berubah. Berbasa-basi dan mencari teman bukan lagi menjadi keahliannya, sehingga berakhirlah ia menjadi seseorang yang lebih banyak diam jika tidak ada yang terlalu penting untuk dibicarakan.

Seno menjadi salah satu yang sering mendekatinya lebih dulu. Namun Baskara tahu, pemuda itu hanya melakukannya karena ia adalah yang termuda. Hanya sebagai bentuk sopan santun meskipun pada kenyataannya, Baskara adalah anggota paling baru yang bergabung di perusahaan ini.

Dia tidak layak ditemani. Pernah satu kali pemikiran itu muncul di kepalanya. Lagi-lagi, semua merujuk pada apa yang telah terjadi di masa lalu. Meskipun berkali-kali mengatakan kepada diri sendiri bahwa apa yang terjadi bukan merupakan kesalahannya, Baskara tetap berakhir nelangsa.

Baskara menarik napas susah payah, lalu mengembuskannya dengan berat. Waktu yang berlalu tidak memperbaiki banyak hal. Sejauh mana pun berlari, dia tetap kembali pada fase di mana dia terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Ini melelahkan, jujur saja.

“Knock, knock.”

Baskara menoleh cepat ke arah pintu. Di sana, kekasihnya berdiri dengan tatapan khawatir yang kentara.

“Sejak kapan lo di situ?” tanya Baskara. Dia memutar kursi, membuat tubuhnya menghadap ke arah pintu.

Sabiru berjalan mendekat, tak lupa menutup kembali pintu yang sebelumnya ditinggalkan oleh Seno dalam keadaan terbuka. “Sejak Seno pergi dan lo ngelamun lagi.” Jawab Biru setelah dia sampai di hadapan Baskara.

“Mikirin apa?” tanya Biru. Dadanya kembali terasa sesak saat dia mengingat betapa menyedihkannya tangis pilu Baskara semalam, juga betapa kerasnya usaha laki-laki itu untuk terlihat baik-baik saja keesokan paginya.

“Bukan apa-apa. Cuma sedikit capek aja karena kerjaan gue banyak yang dikejar deadline.” Bohong Baskara. Dia tidak ingin membagi lebih banyak luka kepada kekasih yang merelakan masa mudanya terbuang sia-sia karena harus menemani pelariannya.

Empat tahun lalu, ketika memutuskan untuk pergi ke Surabaya bersama Sabiru untuk pertama kalinya, Baskara tidak pernah berpikir bahwa pelarian mereka harus sampai sejauh ini. Dan ketika dia harus pergi dari Surabaya karena Jeffrey datang mengejar, Baskara juga sudah meminta Biru untuk tetap tinggal di Surabaya bersama keluarga tantenya. Namun perempuan itu menolak dan memilih untuk ikut ke mana pun dia pergi, sekalipun itu artinya ia harus melepaskan segala akses kontak dengan satu-satunya keluarga yang masih dia miliki.

Pengorbanan yang Biru berikan untuknya sudah terlalu besar, dia tidak bisa membuat perempuan itu juga turut memikul bebannya lebih banyak lagi.

“Serius cuma karena itu?” Biru menarik salah satu kursi milik karyawan lain, lalu duduk berhadapan dengan Baskara. “Nggak ada hal lain yang lagi mengganggu pikiran lo?”

“Nggak ada, Sayang.” Baskara mengulas senyum. “Oh, ya, gue malam ini lembur sampai malam. Lo pulang duluan aja, gue pesenin ojek online, ya?”

“Nggak perlu.” Biru menolak. “Ongkosnya lumayan. Lagian, gue mau di sini temenin lo biar kerjaan lo cepat selesai.”

“Lo tahu kerjaan gue malah nggak akan pernah selesai kalau ada lo di sini.” Ucap Baskara.

Alis Biru saling bertaut, bingung. “Maksudnya?”

Bukannya menjawab, Baskara malah menerbitkan senyum miring, kemudian menarik kursi yang diduduki Sabiru hingga mereka betulan berhadap-hadapan dalam jarak yang tipis.

“Cuz I’m gonna kiss you ‘till we’re out of breathe.” Bisik Baskara seraya mengusap bibir bawah Biru yang sedikit kering karena sapuan lipstik.

“Jangan sinting, di sini ada kamera CCTV.” Biru mendesis. Ingin menggeplak tangan Baskara, tapi tidak tega.

Mendengar itu, Baskara malah tergelak sejadi-jadinya. “Justru bagus, biar kita viral. Nanti judul artikelnya, ‘sepasang kakak adik berbuat mesum di ruang kantor’ beuh, viewsnya bisa jutaan tuh kalau berita kayak gitu.” Ucapnya asal.

“Mau viral pakai cara kayak gitu? Murahan bener.”

Lagi-lagi, Baskara tergelak. Kalau ruangan ini masih penuh dengan rekan kerjanya, mereka pasti akan menatap Baskara dengan sorot mata tidak percaya. Sosok Abimanyu yang mereka kenal pendiam dan jarang tersenyum bisa tertawa terbahak-bahak seperti itu hanya karena seorang gadis, sungguh pemandangan yang mungkin bisa menimbulkan spekulasi baru: Abimanyu menderita gangguan kepribadian ganda.

“Di mana letak lucunya omongan gue, B—“ Biru menghentikan ucapannya, sedikit mendongak melirik ke arah pojok ruangan di mana CCTV berada. “Kiandra Abimanyu?” sambungnya setelah dia kembali menatap Baskara.

“CCTV itu nggak akan nangkap suara, nggak usah gugup gitu.” Ledek Baskara, mengulum senyum melihat kekasihnya terlihat panik.

Biru mendelik, “Jaga-jaga.” Semprotnya.

“Ya udah, iya, Kimara Anindia, maafin abangmu ini ya.” Sambil berkata demikian, Baskara mengusap-usap kepala Biru. Berlagak seperti abang baik hati yang sedang berusaha membujuk adik kecilnya yang tengah merajuk.

“Najis.” Biru menyingkirkan tangan Baskara dari kepalanya. “Udah sana kerja, biar kita nggak makin malam pulangnya.”

“Iya, iya, galak bener sih sama abang sendiri.”

“Stop ngaku-ngaku jadi abang gue.”

“Gue nggak ngaku-ngaku, emang kan kita kakak adik.”

“Wong edan!”

Dan Baskara tergelak lagi. Lebih heboh, lebih lepas. Selagi masih bisa. Selagi di depan Sabiru dia masih bisa melepaskan tawa, ia tidak akan menahannya.

Sedangkan untuk Sabiru, dia semakin meyakini bahwa ikut ke manapun Baskara pergi adalah keputusan paling tepat untuk mereka berdua.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!