“Gue sama Mas Abi cuma saling memiliki, itulah kenapa gue terkesan posesif abis sama dia.” Usai jeda yang cukup lama, Biru kembali bersuara. Lintang yang duduk di sebelahnya masih tak memberikan komentar apa pun. Dari ekor mata, ia bisa melihat gadis itu telah memaku tatap cukup lama padanya, dengan ekspresi wajah penuh penyesalan yang kentara.
“Kalau lo hancur, lo masih punya Bapak sama Ibu. Masih ada Mbak Asih, masih ada orang-orang di sekiling lo, yang sayang sama lo, yang bisa bantuin lo buat pulih lagi. Tapi gue, bener-bener nggak punya siapa pun selain Mas Abi sekarang.” Cukup lelah mendongak, Biru akhirnya menurunkan kembali pandangan. Ia menoleh ke arah Lintang yang kedua matanya ternyata telah diselimuti embun. Biru meringis, sebab itu adalah kali pertama dia melihat Lintang yang cerewet mampus tampak bersedih.
“Bukannya mau pamer kesedihan, tapi hidup yang kami jalani memang berat. Kalau kami terpisah, kalau ada momen di mana kami nggak bisa sama-sama lagi buat saling menguatkan, kami bakal kalang kabut menjalani kehidupan yang rumit ini. Lalu kami akan hancur, tinggal menunggu waktu sampai semuanya berantakan.” Tak kuasa melihat Lintang yang semakin murung, Biru membuang pandangannya ke depan.
You’re Gonna Live Forever in Me milik John Mayer sedang dinyanyikan oleh musisi jalanan di depan sana, dengan sedikit perubahan pada aransemen yang tak sedikit pun mengurangi kesakralan lagunya. Semakin malam, orang-orang semakin mendekat. Bersama pasangan, bersama teman, bersama sanak saudara. Mereka merapat ke area live music yang sedang berlangsung. Tangan mereka saling menggenggam, senyum mereka bertukar dengan penuh ketulusan.
Pada interaksi yang terjadi di antara jeda kalimatnya, Biru menyelipkan kerinduan yang telah mendera dirinya selama beberapa bulan belakangan. Sejak hidup sebagai Anindia dan Abimanyu, Biru kehilangan beberapa momen yang tak lagi bisa dia lakukan sebebas itu dengan Baskara.
Bergandengan tangan, berpelukan, memberikan kecupan-kecupan mesra yang membuat mereka seketika lupa pada seisi dunia. Hal-hal romantis seperti itu sudah tidak lagi dapat mereka lakukan sebebas dulu, sebab yang orang-orang tahu, ia dan Baskara adalah sepasang kakak adik. Interaksi yang berlebihan hanya akan membuat mereka dipandang aneh, lalu orang-orang akan mulai curiga dan bergerak mencari tahu kebenarannya. Jelas, Biru tidak ingin itu terjadi. Meskipun berat, dia masih ingin hidup sebagai Anindia. Karena setidaknya, dengan begitu, dia masih bisa membersamai Baskara dalam pelariannya.
“Gue sayang banget sama Mas Abi, Lintang. Rasa sayang yang mungkin nggak akan pernah lo mengerti karena lo nggak pernah ada di posisi gue yang sekarang.” Biru bicara lagi setelah sesak di dadanya sedikit mereda. “Gue minta maaf karena sikap gue udah keterlaluan, tapi boleh, nggak, gue minta tolong sama lo buat juga jangan kebablasan sama Mas Abi? Gue ... masih belum bisa ngeliat Mas Abi lebih pro ke orang lain. Gue masih belum bisa terbiasa ngeliat Mas Abi care sebanyak itu ke orang lain karena selama ini, gue selalu ada di prioritasnya Mas Abi. Gue selalu yang nomor satu, jadi tolong kasih gue waktu buat setidaknya nerima kehadiran lo di tengah-tengah kami.”
Namun, hanya beberapa detik setelah ia selesai bicara, Biru malah dibuat terkejut saat suara isakan Lintang datang sebagai responsnya. Ketika ia menoleh untuk memeriksa, gadis itu sudah menunduk, menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan sementara bahunya berguncang hebat.
Setelah berdebat cukup lama dengan dirinya sendiri, Biru akhirnya beringsut. Tubuh kurus Lintang dia tarik, dia peluk dengan membiarkan gadis itu menumpahkan tangis di pundaknya. Punggung sempit yang terbalut jaket berwarna merah muda itu dia tepuk berkali-kali, seakan hendak meyakinkan kepada Lintang bahwa dia tidak sendiri.
“Lintang ... m—minta maaf, Mbak....” di sela isakannya yang menyedihkan, permintaan maaf itu lolos dari bibir Lintang. Biru tak menggubrisnya, hanya semakin mengeratkan pelukan dan mempercepat tempo tepukan di punggungnya.
Baskara benar, ternyata. Lintang memang hanya anak kecil yang belum mengerti betapa kerasnya dunia. Anak kecil haus perhatian yang berpikir bahwa dunia ini akan berbaik hati memberikan apa yang dia inginkan selama dia mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Anak kecil yang tidak mengerti, bahwa terkadang, orang-orang dewasa harus hidup menjadi orang lain agar bisa bertahan di dunia yang kejam ini.
Lintang hanya anak kecil yang keberadaannya ingin diakui, dan Biru adalah orang dewasa yang tidak mau tahu, tidak mau mencoba mengerti sehingga yang terjadi di antara mereka hanya selalu pertengkaran konyol yang melelahkan.
Lagu yang dinyanyikan kembali berganti, kali ini Biru tidak tahu apa judulnya karena ia baru pertama kali mendengarnya. Namun alih-alih menikmati lirik-lirik asing itu, ia malah membiarkan dirinya ikut tenggelam dalam perasaan bersalah yang Lintang bawa. Tak sampai menangis memang, tetapi dia juga turut merasakan dadanya ditimpa sesak ketika tangis Lintang tak habis-habis, malah semakin menjadi dan sulit untuk dihentikan.
Sementara di seberang jalan yang mulai lengang karena orang-orang berbondong-bondong menyerbu pusat keramaian, Baskara berdiri dengan perasaan yang mengambang. Tidak tahu haruskah senang, atau justru sedih melihat dua perempuan di seberang sana yang sedang berpelukan begitu eratnya, melupakan eksistensi manusia lain di sekitar.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Vero melaju menembus jalanan Jogja yang sepi. Jok depan ditempati oleh one and only Paramudya Baskara, sedangkan jok belakang dihuni oleh gadis kecintaannya, Eleena Sabiru.
Sebelum membawa Biru pulang, dia sudah lebih dulu memulangkan Lintang—juga dengan bantuan Vero. Di sepanjang perjalanan itu, ia memanfaatkan waktu untuk mengorek keterangan dari Lintang, soal apakah perdamaian dengan Sabiru sudah tercapai dengan baik atau belum.
Kepadanya, Lintang menerangkan bahwa mereka telah berbaikan. Gadis itu sudah meminta maaf, begitu juga dengan Biru. Mereka sudah sama-sama sepakat untuk bersikap baik kepada satu sama lain, agar bisa sama-sama mendapatkan cinta yang utuh dari Baskara dan perlu berebut seperti bocah.
Cinta yang utuh. Baskara terkekeh mengingat betapa polosnya Lintang saat berkata demikian. Anak itu pikir, apa yang Baskara lakukan kepada Sabiru benar-benar adalah sikap seorang abang kepada adik perempuan satu-satunya. Keluguan Lintang membuatnya tak menaruh curiga barang sedikit, meski dalam beberapa kesempatan, gadis itu seharusnya melihat bahwa interaksi antara dirinya dengan Sabiru terbilang cukup berlebihan untuk ukuran kakak dan adik.
“Lo lagi ngetawain gue?” dari jok belakang, Biru melayangkan protes. Lengannya yang melingkar tak seberapa erat di pinggang Baskara perlahan menjauh, hingga kini hanya telapak tangannya saja yang bersemayam di pinggang lelaki itu.
Baskara menggeleng, tepat sebelum dia membelokkan setang memasuki kawasan rumah kontrakannya. “Gue lagi menertawakan hidup yang konyol ini.” Jawabnya kemudian, lalu menghentikan laju Vero di depan gerbang.
Biru melompat turun, bergerak cepat membukakan gerbang agar Vero bisa masuk dan segera beristirahat. Ia juga merelakan ucapan Baskara tak disambung hingga lelaki itu selesai meletakkan Vero pada tempatnya.
“Daripada konyol, gue malah ngerasa kalau hidup kita akhir-akhir ini terlalu horor.” Kata Biru saat mereka berjalan beriringan memasuki rumah.
Baskara terkekeh dibuatnya, “Horor kenapa?”
“Horor, karena gue nyaris kehilangan diri gue sendiri.” Biru berhenti sebentar untuk memasukkan kunci ke dalam slot di pintu, kemudian setelah pintu terbuka, dia melanjutkan. “Saking seriusnya mendalami peran sebagai Anindia, gue kadang-kadang sampai lupa kalau nama gue itu Sabiru. Bahkan waktu gue lagi dalam proses perdamaian sama Lintang tadi, gue bener-bener menempatkan diri sebagai Anindia, lo tahu?” Biru terkekeh kemudian.
Sekarang, setelah dipikir-pikir, apa yang dia katakan kepada Lintang kedengaran agak menggelikan. Memang bukan sebuah kebohongan, karena pada kenyataannya dia memang hanya memiliki Baskara untuk sekarang. Tetapi melihat respons Lintang yang penuh dengan rasa bersalah membuat Biru tidak enak. Dia hanya tidak bisa menebak, seperti apa hebohnya anak itu ketika suatu hari nanti semua kebenarannya terungkap.
“Bas,” Biru menghentikan langkahnya usai memastikan pintu depan terkunci. Ia lalu menatap Baskara lekat-lekat, memancing lelaki itu untuk membalas tatapannya sama dalam, sama menghanyutkan.
“Kenapa?”
“Gue jadi kepikiran sama Lintang. Gimana ya reaksi dia kalau tahu yang sebenarnya soal kita?”
Alih-alih menjawab, Baskara malah membalikkan badan usai menggenggam erat jemari tangan Sabiru. “Nggak usah mikir yang terlalu jauh. Kita fokus aja jalanin yang sekarang, sebaik mungkin sebagai Abimanyu dan Anindia. Sampai nanti waktunya kita pamit dan balik ke jati diri kita sendiri.”
Lantas dengan begitu saja, obrolan mereka usai. Dan mereka sepakat untuk tidak lagi membahasnya di kemudian hari. Hidup mereka sudah cukup berat, memikirkan terlalu banyak hal hanya akan membuat keadaan mereka semakin sulit.
Maka untuk saat ini, mereka hanya akan hidup semampunya, sebagai Kiandra Abimanyu dan Kimara Anindia—seperti yang Baskara bilang.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments