Fall For You

Deru napas mereka beradu dengan suara decapan yang menggema memenuhi seisi kamar. Tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat—basah dan lengket. Pertemuan antara bibir-bibir mereka telah berlangsung selama belasan menit dengan jeda yang tak lebih dari beberapa detik. Mereka masih terus mencecap, mengisap, menyapu setiap sisi di bibir masing-masing, mereguk manis yang telah lama mereka damba karena kekusutan di kepala yang tak kunjung reda.

Biru menurunkan kedua lengannya dari leher Baskara, beralih merambatkan telapak tangannya yang halus ke dada bidang kekasihnya. Oh, ke mana perginya kaus yang lelaki itu kenakan sebelumnya? Itu, di sana, teronggok tak berdaya di atas lantai kamar, bersama dengan outer milik Biru yang juga sudah tanggal sejak beberapa menit yang lalu—menyisakan baju dalaman dengan tali tipis tersampir di bahunya.

Baskara menggeram tertahan kala telapak tangan Biru semakin bergerak turun, menyentuh perut rata dengan enam biji kotak-kotak.

Semakin lihai tangan Biru membelai tiap kotak yang ada di sana, makin tak kuasa Baskara menahan diri untuk menjamah lebih banyak permukaan kulit kekasihnya. Bibir merah yang penuh dan telah bengkak itu dia tinggalkan, lalu dia bergerak turun, mengecupi leher jenjang Sabiru yang terbuka.

Kecupan demi kecupan yang berlabuh di sana membawa Baskara bergerak semakin jauh. Satu demi satu tanda kepemilikan dia tinggalkan di sana, kemudian setelah cukup banyak, dia berhenti dan sedikit menjauhkan wajahnya. Hanya untuk menatap tanda-tanda kemerahan yang memenuhi leher Sabiru dengan sorot penuh puja.

Seakan tak rela Baskara berhenti menyentuhnya, Biru menangkup wajah lelaki itu. Lantas dibawanya wajah mereka mendekat, lalu tautan mereka terjalin kembali. Ritmenya tidak pernah berubah menjadi lebih cepat. Selalu teratur dan penuh dengan penghayatan.

“Kepala gue udah berat banget.” Keluh Baskara kala mereka—untuk ke-sekian kalinya—menjeda tautan. “Kayak mau meledak.”

“Do it.” Biru memberikan izin. “You can touch me, tease me, feel me up. Do whatever you wanted to do with my body. I am all yours.”

Baskara menatap Biru lekat-lekat. Di tengah kondisi kepala yang berat dan dorongan kuat dari dalam dirinya untuk menyentuh Biru lebih jauh, dia berusaha keras untuk tetap waras. Sebab dia tahu, sedikit saja dia kelepasan, mereka tidak akan bisa berhenti dengan mudah.

**** sebelum ini bukan merupakan perkara yang terlalu rumit untuk dia pikirkan. Jika dia ingin, dia bisa melakukannya dengan siapa saja. Selama dia yakin partnernya sehat dan aman, dia tidak akan ragu untuk maju. Set pengaman juga selalu siap sedia di dalam tas, tidak pernah sekalipun dia berpikir untuk melakukannya tanpa proteksi karena dia paham betul apa yang akan terjadi jika dia salah perhitungan.

Akan tetapi, semuanya menjadi lain ketika seseorang yang bersamanya adalah Sabiru. Dia tidak ingin, sekali saja dia menyentuh perempuan itu, kebutuhannya akan hubungan **** menjadi menggebu seperti dulu, dan dia berakhir menggunakan Sabiru hanya untuk itu. Baskara ingin menjaga perasaannya tetap utuh, tanpa dibubuhi nafsu-nafsu lain yang bisa mengacaukan segalanya.

“I can handle myself.” Pada akhirnya, Baskara memutuskan untuk tidak melakukannya. “Nggak hari ini. Nggak ketika gue belum bisa menjanjikan apa pun buat kehidupan kita ke depannya.”

“Bas,”

“It’s okay, gue bisa ajak dia diskusi.” Lalu, Baskara menarik diri. Ia lepaskan kungkungannya dari tubuh Sabiru, bergerak cepat memunguti kausnya dan outer milik Sabiru yang tercecer di lantai.

“Gue mau mandi dulu, sekalian taking care of him. Lo mandinya nanti aja habis gue, ya.” Ucapnya seraya menyodorkan outer berwarna peach kepada Sabiru.

Biru menerima outer miliknya sambil mendengus pelan. Dia tidak ingin kelihatan seperti perempuan gatal, tetapi sungguh, dia masih ingin merasakan manis bibir Baskara lebih banyak.

“Nggak usah manyun gitu, nanti gue cium lagi kalau gue udah habis mandi.” Kemudian, sebagai bujuk rayu agar Sabiru tidak merengut seperti itu, Baskara menghadiahkan sebuah kecupan di kening kekasihnya yang basah oleh keringat.

Biru hanya bisa pasrah saja melepaskan kepergian Baskara yang ngeloyor keluar dari kamar, membawa serta handuk berwarna ungu dengan sablon gambar bunga-bunga milik Sabiru.

...🌻🌻🌻🌻🌻...

“Don’t you dare to falling in love with someone else.” Di tengah hening yang tercipta karena mereka sedang menikmati waktu cuddle berdua, Biru tahu-tahu melayangkan peringatan itu.

Baskara yang mulanya sudah memejamkan mata sontak kembali terjaga, lantas dengan gerakan pelan, dia mendorong tubuh kekasihnya hanya agar mereka bisa berbicara sambil saling tatap.

“Lo ngomong apa, deh?” tanyanya.

“Jangan jatuh cinta sama orang lain, Baskara. Entah itu Lintang, atau perempuan mana pun yang lo temui selama kita memainkan peran sebagai Anindia dan Abimanyu.”

“Dan kenapa lo tiba-tiba kepikiran soal itu?” tanya Baskara lagi. Memangnya, dia ini pernah menunjukkan tanda-tanda sedang tertarik dengan perempuan lain? Bukankah sudah sangat jelas bahwa yang tampak di matanya hanya Sabiru seorang, sedangkan perempuan lain hanya akan terlihat kabur?

“Pokoknya jangan.” Biru memberikan keputusan akhir, alih-alih memberikan alasan mengapa ultimatum itu bisa tiba-tiba keluar dari bibirnya. Dan seakan ingin menghindari pertanyaan lebih lanjut, dia kembali menenggelamkan diri di pelukan Baskara. “Cuz I’m totally fall for you. Udah nggak ada lagi yang akan tersisa dari gue kalau sampai lo pergi lagi kayak dulu.” Sambungnya dengan suara mencicit.

Diingatkan soal tindakan pengecutnya yang memilih pergi hingga melukai hati satu-satunya gadis yang dia cintai, Baskara hanya bisa mengembuskan napas berat. “The fact is, I feel harder for you, day by day. Nggak ada alasan gue bakal berhenti jatuh cinta sama lo, Bi. Karena dari dulu sampai sekarang, satu-satunya yang bisa mengerti diri gue yang rumpang ini ya cuma lo. Sinting kalau gue berani ninggalin lo, apalagi setelah lo kasih gue kesempatan kedua.”

Dan seharusnya, Biru yang paling tahu soal itu. Harusnya Biru yang paling mengerti bahwa di dunia ini, satu-satunya hal yang tidak bisa hilang dari hidup Baskara adalah Sabiru.

“Kalau ada yang harus mengemis supaya nggak ditinggalkan, orangnya adalah gue, Bi. Manusia dengan mental health amburadul dan isi kepala yang makin ruwet ini yang seharusnya mengemis buat ditemani sampai akhir.”

“I will.” Biru memotong. Ia lantas mendongak, menatap lekat netra kekasihnya. “Gue nggak akan ke mana-mana.”

Kemudian, janji itu menjadi awal bertemunya kembali bibir-bibir mereka. Sisa kerinduan mereka tumpahkan secara perlahan, dengan tenang, dengan sabar.

Malam yang bergerak lebih lambat ketimbang waktu-waktu sebelumnya seakan menjadi saksi, bahwa mereka telah jatuh cinta sekali lagi. Kepada orang yang sama, yang ingin mereka bersamai sampai akhir.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!