Penantian yang Sia-sia

Sejak pagi hingga matahari telah bertakhta tinggi, Lintang masih saja betah duduk sendirian di beranda rumah kontrakan yang Mas Abi kesayangannya tinggali. Di atas meja bunda di sampingnya, terdapat paper bag berisi oleh-oleh yang dia bawa jauh-jauh dari Bandung, hasil dari perjalanan liburannya bersama Bapak dan Ibu selama enam hari.

Kemarin, segera setelah dia tiba di Jogja, Lintang pergi ke rumah kontrakan ini, berniat untuk menyerahkan oleh-oleh yang dia bawa untuk Mas Abi pujaan hati sekaligus melepaskan rindu karena sudah lama tidak bertemu dengan lelaki tampan itu.

Kata orang, cinta itu kadang memang membuat hal-hal sederhana menjadi berlebihan. Maka bagi Lintang, enam hari tak berjumpa rasanya sudah seperti seribu tahun lamanya. Namun, angannya pupus tatkala menemukan rumah kontrakan itu dalam keadaan kosong. Pagar yang tak terlalu tinggi tampak digembok dari luar, lampu teras tak dinyalakan yang berarti lelaki itu telah pergi untuk waktu yang cukup lama sebelum dia datang berkunjung.

Kemarin, Lintang pulang dengan perasaan hampa. Oleh-oleh yang dia bawa untuk sang pujaan hati terpaksa diangkut kembali ke rumah, dia letakkan di sisi ranjang sambil dia pandangi semalaman.

Lalu pagi tadi, dengan semangat yang menggebu-gebu, juga harapan bahwa Mas Abi kesayangannya sudah kembali, Lintang datang lagi. Hanya untuk dibuat menunggu sampai tengah hari bolong dan masih belum tahu juga kapan calon pacarnya itu akan kembali. Dia juga effort untuk bisa masuk sampai ke beranda rumah. Seperti maling, dia memanjat pagar dan nyaris terjungkal karena salah menapakkan kaki.

“WhatsApp aku bahkan ndak dibaca sama sekali sama Mas Abi.” Lintang menatap layar ponselnya dengan sorot nelangsa. Tak hanya satu, ia meninggalkan total 29 pesan untuk Mas Abi dan berakhir tak satu pun dari pesan-pesan itu yang dibaca. Entah apa yang terjadi, entah sesibuk apa Mas Abi sehingga tidak sempat membalas pesannya. Padahal biasanya, lelaki itu selalu fast response. Tak peduli meski pesannya datang pada larut malam, Mas Abi akan selalu cepat membalasnya. Atau sekalipun tidak bisa langsung membalas detik itu juga, Mas Abi akan membalas segera setelah lelaki itu memiliki waktu, sekaligus dengan permintaan maaf karena telah cukup lama abai.

Kembali Lintang pandangi paper bag di atas meja, lantas dengan begitu saja, dia semakin nelangsa. Padahal ia sudah effort sekali untuk membeli oleh-oleh itu. Alih-alih merepotkan ibunya seperti biasa, dia rela turun langsung untuk membeli semuanya sendiri. Rela panas-panasan naik motor berkeliling kota Bandung untuk menemukan toko oleh-oleh terbaik agar apa yang dia beli tidak mengecewakan. Bagi Lintang, apa pun itu, jika hendak diberikan kepada Mas Abi, maka kualitasnya jelas harus yang nomor satu.

“Apa aku balik lagi aja ya nanti malam?” monolognya. Dan ia berakhir merealisasikan ide itu karena setelah dia pikir-pikir, Mas Abi memang mungkin belum akan pulang dalam waktu dekat. Dia juga sudah seharian berada di sana, Bapak dan Ibu pasti akan mencak-mencak kalau mereka tiba di rumah lebih dulu, mengetahui dirinya belum ada di rumah padahal sudah pamit pergi sejak matahari masih menyembul malu-malu.

Lintang sudah menggenggam tali paper bag, siap untuk mengayunkan langkah meninggalkan rumah kontrakan Mas Abi yang kosong, ketika terdengar suara deru motor yang sangat dia hafal. Suaranya yang khas membuat Lintang yakin dia tidak salah mengenali.

Dan benar saja, tak lama setelah dia berlarian menuju gerbang, motor Mas Abi bersama dengan sang empunya muncul dari ujung jalan. Motor matic yang diberi nama Vero itu lantas melaju mendekat, berhenti di depan gerbang dan satu orang penumpang turun dari jok belakang.

Lintang sudah bisa melihat sorot tajam dari Anindia ketika perempuan itu mengeluarkan kunci gembok untuk membuka gerbang. Dan ketidaksukaan itu semakin kentara tatkala Anindia berjalan cepat ke arahnya, meninggalkan Mas Abi dan motor kesayangannya di luar pagar sana.

“Ngapain lo di sini? Dan gimana caranya lo masuk?” cecar perempuan itu dengan sorot mata galak.

“Mau ketemu Mas Abi.” Lintang menjawab jujur.

“Udah tahu pagarnya digembok, ya berarti orangnya nggak ada. Kenapa sih lo makin lama makin nekat jadi orang?” Sabiru mencak-mencak. Tanduk berwarna merah menyala telah perlahan muncul di kedua sisi kepalanya, siap untuk dipakai menusuk Lintang agar gadis centil itu berhenti bersikap kelewatan.

“Anin,” setibanya di teras dan selesai memarkirkan Vero, Baskara berniat melerai.

“Jangan belain dia terus!” Baskara pun tak luput dari kemarahan Sabiru karena berusaha menghentikan ocehannya. “Lo selalu belain dia, makanya dia jadi keterlaluan dan nggak tahu sopan santun!”

Begitu saja, Baskara bungkam. Membela Lintang terlalu banyak hanya akan membuat Sabiru semakin meledak-ledak. Dia juga tahu, Sabiru seperti ini bukan karena cemburu, tetapi karena menurut perempuan itu sikap Lintang memang sudah keterlaluan.

“Lintang cuma mau anterin oleh-oleh ini buat Mas Abi.” Biasanya, saat Sabiru mengamuk, Lintang akan menanggapinya dengan celotehan menyebalkan yang semakin membuat kemarahan perempuan itu menjadi-jadi. Namun siang ini, Lintang tak berani melakukannya. Ya karena dia sadar bahwa dia memang bersalah. Bagaimanapun, menerobos masuk ke dalam properti orang lain adalah suatu tindak kriminal yang tak pantas dilakukan.

“Nggak butuh. Bawa pulang lagi aja.” Tanpa basa-basi, Biru menarik lengan Baskara, menjauhkan kekasihnya dari jangkauan Lintang. “Dan satu lagi, jangan sekali-kali lo berani lancang kayak gini, atau gue mungkin bakal beneran nampar pipi lo yang mulus itu sampai ada bekas telapak tangan gue yang nggak akan hilang selama berhari-hari.” Itu menjadi peringatan terakhir, sebelum Biru membuka pintu rumah dengan gerakan kasar, mendorong tubuh Baskara untuk masuk lebih dulu sebelum dirinya pun turut masuk dan menutup pintu dengan membantingnya kuat-kuat.

Ketimbang mengejar dan berkeras kepala seperti yang sudah-sudah, Lintang siang itu hanya bisa pasrah. Mungkin juga karena dia sudah terlalu lelah menunggu, ditambah lagi tidak adanya pembelaan yang Mas Abi berikan seperti hari-hari sebelumnya.

Dengan gerakan lemah, Lintang berjalan balik ke teras rumah, hanya untuk meletakkan paper bag yang sudah dia bawa jauh-jauh ke atas meja. Meninggalkannya di sana meski dia tidak yakin apakah benda itu akan tetap diterima oleh sang pujaan hati.

Sambil berusaha menahan tangis karena perasaannya sekali lagi diempas dengan cara yang kejam, Linang berjalan gontai meninggalkan rumah kontrakan itu. Lalu beberapa detik sebelum air matanya luruh, gadis yang rambutnya sedang dikepang itu mengetikkan sebuah pesan yang dikirimkan kepada Mas Abi. Pesan yang menambah daftar rentetan pesan sebelumnya yang sampai detik itu pun, masih belum dibaca.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!