“Yang,” Baskara bergerak mendekat, tanpa izin melingkarkan kedua lengannya di pinggang Sabiru, memeluk kekasihnya yang tengah berkutat dengan piring-piring kotor bekas makan malam itu dari belakang. Ia menyandarkan bahu di pundak kekasihnya, menghirup aroma sampo yang menguar dari helaian rambut Sabiru yang lolos dari jepitan.
“Gue lagi nyuci piring, Baskara.” Biru berontak. Tangannya yang penuh busa sabun dia gunakan untuk menepis lengan Baskara yang melingkar posesif di lengannya. Perempuan itu juga mendelik, pertanda bahwa dia sedang tidak ingin diganggu dengan kegiatan mencuci piring yang—menyebalkan. Dari sekian banyak pekerjaan rumah tangga, dia paling tidak suka yang itu.
“Nggak peduli.” Keras kepala, Baskara tetap melingkarkan kembali lengannya. Dagunya kembali bersandar di bahu Sabiru, mengundang decak kesal lolos dari bibir perempuan itu.
Biru yang tidak punya lagi tenaga untuk mengempaskan Baskara akhirnya membiarkan saja lelaki itu melakukan apa pun yang dia mau. Walaupun itu berarti gerakannya dalam mencuci piring akan sangat terbatas.
“Yang,” panggil Baskara lagi. Saat itu, Biru sedang membilas piring terakhir sehingga yang bisa perempuan di lakukan sebagai respons adalah berdeham pelan.
“Malam ini gue tidur sama lo, ya?” pinta Baskara.
Biru terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, meletakkan piring yang sudah bersih ke dalam rak, barulah dia membalikkan badan sehingga mereka bisa saling tatap.
“Kenapa?” tanya Biru.
Baskara menggeleng pelan seraya tersenyum tipis, “Cuma pengin aja tidur sama lo. Udah lama kita nggak tidur bareng.” Tuturnya.
“Ya udah, tapi jangan ngorok.” Kata Sabiru, lalu perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Baskara kemudian berjalan meninggalkan lelaki itu, masuk ke dalam kamarnya.
Baskara langsung mengekor, namun dia berhenti di ambang pintu sambil melipat kedua lengan di depan dada. “Emangnya sejak kapan gue ngorok?” tanya lelaki itu dengan raut wajah yang dibuat sedemikian rupa agar terlihat seperti sedang merajuk.
Biru yang dasarnya sudah kelelahan setelah aktivitas seharian pun enggan menanggapi. Sebagai gantinya, ia menepuk-nepuk ruang kosong di sebelah ranjang, bentuk undangan agar Baskara segera bergabung dengannya.
Awalnya, Baskara masih kekeuh meminta jawaban, namun pada akhirnya lelaki itu mengalah lalu berjalan sambil bersungut-sungut menghampiri ranjang.
“Tutup pintunya!” teriak Sabiru.
Baskara terpaksa balik badan, mendorong pintu kayu di depannya kemudian memutar kunci sebanyak dua kali. “Tuh, udah.” Gerutunya, lalu dia kembali berjalan menghampiri Biru.
“Gue cuma minta ditutup, ngapain pakai segala dikunci?” Biru memprotes.
“Biar lo nggak kabur.” Jawab Baskara sekenanya. Lelaki berkaus hitam polos itu kemudian naik ke atas ranjang, segera menyelundupkan diri ke dalam selimut, lalu menarik tubuh Sabiru untuk dia peluk erat-erat.
Seperti bayi, Baskara meringkuk di dekapan Sabiru. Menyandarkan kepalanya di dada sang kekasih selagi matanya mulai terpejam.
Bak gayung bersambut, Biru pun balik mendekap Baskara. Dia usap-usap kepala lelaki itu lembut, menyalurkan kasih sayang yang tidak ada habis-habisnya.
Tak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Setelah semua badai yang mereka lewati dengan susah payah, mereka memang cenderung lebih sedikit bertukar suara. Mereka lebih senang seperti ini. Membagikan energi melalui sentuhan-sentuhan lembut, yang sekaligus untuk meyakinkan diri mereka masing-masing bahwa mereka masih saling memiliki.
Detik demi detik berlalu, napas Baskara mulai kelihatan teratur. Pelukannya pun terasa mengendur sehingga Biru meyakini bahwa kekasihnya itu sudah jatuh tertidur. Itu adalah sebuah anugerah, Biru akan merayakannya semegah apa pun yang dia bisa. Karena sampai beberapa bulan yang lalu, kekasihnya itu tidak akan bisa tidur dengan nyenyak kecuali dengan bantuan obat yang diresepkan oleh psikiater yang rutin dia temui setiap satu bulan sekali.
“Semuanya akan berjalan ke arah yang lebih baik,” bisik Sabiru, lalu dia mendaratkan kecupan di puncak kepala Baskara. Sebagai bekal agar tidur kekasihnya itu bisa lelap hingga lagi datang menyapa.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Entah pukul berapa, Sabiru terbangun dari tidurnya karena dia mendengar suara tangis yang begitu menyayat hati. Ketika membuka mata, dia menemukan kekasihnya masih terlelap, namun wajahnya sudah basah oleh air mata. Tubuhnya yang sesekali bergerak gelisah dan kerutan yang berkali-kali muncul di keningnya membuat Biru mengerti bahwa Baskara sedang mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk yang entah apa isinya, yang tidak pernah sekalipun lelaki itu bersedia membagi kepada dirinya.
Kalau sedang dalam kondisi itu, yang bisa Biru lakukan hanyalah mendekap tubuh Baskara, memberikan usapan-usapan di lengan dan kepala lelaki itu secara terus-menerus untuk membantu menenangkannya. Jika sentuhan-sentuhan fisik tak cukup ampuh, dia akan mulai membisikkan kalimat yang sama secara berulang-ulang.
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
“Nggak apa-apa, itu cuma mimpi.”
Begitu terus sampai dia merasakan Baskara tidak lagi bergerak dengan gelisah dan isakannya pun mereda.
Malam ini pun, dia melakukan hal serupa. Sambil mengusap air mata yang membanjiri wajah Baskara, dia berkata, “Nggak apa-apa, Bas, itu cuma mimpi. Semuanya akan baik-baik aja, ada gue di sini.” Meskipun tak lama setelahnya, justru air matanya sendiri yang mulai deras membasahi pipi.
Sudah empat tahun. Kota demi kota mereka tuju. Segala cara telah mereka coba untuk mengobati luka Baskara yang tersembunyi jauh di dasar hatinya. Akan tetapi, masih tidak ada kemajuan yang cukup signifikan. Bahkan ketika kini mereka sudah hidup dengan identitas baru sebagai Abimanyu dan Anindia sekalipun, kenangan buruk dari masa lalu masih terus menghampiri, seakan tidak rela jika mereka memiliki kehidupan baru yang lebih baik.
Biru sudah hampir frustrasi. Lelah sudah dia meyakinkan kekasihnya bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu bukanlah kesalahannya. Tapi tak peduli seberapa banyak dia meyakinkan lelaki itu, rasa bersalah yang Baskara bawa masih saja terus tumbuh dari hari ke hari.
“Nggak apa-apa, Sayang, itu cuma mimpi.” Dengan suara yang bergetar, Biru mengulangi ucapannya. Berbanding terbalik dengan isakan Baskara yang mulai berhenti, milik Biru malah semakin menjadi. Dia dekap erat-erat tubuh Baskara, dia ciumi seluruh sisi wajah lelaki itu sebagai satu-satunya cara untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Nggak apa-apa. Nggak apa-apa, Sayang, itu cuma mimpi.” Dan jika Biru boleh berharap, dia juga ingin bahwa apa yang telah terjadi kepada mereka selama ini juga hanya sebuah mimpi. Dia harap, ketika membuka mata esok pagi, dia akan berada di dunia yang lebih baik. Dunia di mana mereka tidak perlu lari dari apa pun, dari siapa pun. Dunia di mana mereka hanya akan saling jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya jatuh cinta tanpa harus memikirkan yang lain.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Zenun
Kok Bas bisa tidur sih😁
2023-08-29
1
Zenun
heh lah
2023-08-29
1