“Gue mau resign.” Tutur Baskara, sontak membuat Sabiru membulatkan matanya.
“Kenapa? Ada masalah di kantor? Ada yang jahatin lo? Mereka nggak mau ngajak lo ngobrol? Apa, hmm?” Biru mencecar dengan heboh.
Baskara kembali menarik napas dalam-dalam, “Calm down, Baby. Ini bukan soal mereka, ini soal gue.” Ujarnya berusaha menenangkan. Ia tidak akan menyalahkan Sabiru atas respons heboh itu. Karena di masa lalu, ketika dia berkata hendak berhenti dari pekerjaan yang kala itu sedang dia geluti, penyebabnya pasti karena ada masalah internal dengan rekan kerjanya. Entah tidak cocok dengan cara kerja masing-masing, atau adanya perasaan iri dengki sikut kanan kiri hanya untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi.
Akan tetapi, yang kali ini berbeda. Baskara tidak berniat resign karena sedang ada masalah. Memang, di kantor dia cenderung tidak memiliki teman mengobrol. Tetapi itu juga bukan karena orang-orang yang bekerja dengannya tidak baik, hanya saja dia yang sengaja membatasi diri untuk tidak terlibat terlalu banyak demi meminimalkan kemungkinan identitas aslinya terkuak.
Alasan mengapa ia ingin resign kali ini lebih kepada karena dia mulai tertarik untuk mengerjakan sesuatu di rumah, pekerjaan remote yang membuatnya bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sabiru karena dia sendiri yang memiliki kendali untuk mengambil sebuah project atau tidak. Berkali-kali lembur membuat Baskara merasa nelangsa. Sebab kerap kali pula ia harus pulang dan menemukan Biru tertidur di ruang tamu karena menunggu kepulangannya.
“Kalau bukan itu, terus apa?” Biru bertanya, suaranya pelan sekali.
“Gue udah apply pekerjaan remote dari sebulan yang lalu, dan kalau gue hitung-hitung, gajinya lumayan jauh lebih gede ketimbang gue kerja di tempat yang sekarang. Nilai plusnya, gue bisa lebih banyak waktu di rumah. Dan kalaupun harus lembur, gue lemburnya juga di rumah, nggak di kantor kayak yang udah-udah.”
Biru mendengarkan dengan saksama, sambil matanya mengamati bagaimana Baskara mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusan yang hendak diambil ini sudah dipikirkan dengan baik.
Sejujurnya, Biru tidak keberatan sama sekali. Dia bahkan tidak masalah kalau Baskara hanya sekadar ingin berhenti karena sudah jenuh dan butuh waktu untuk break, untuk mulai menjalin hubungan baik dengan dirinya sendiri. Apa yang lelaki itu sudah lewati membuat kepribadiannya banyak berubah, dan bersosialisasi termasuk ke dalam salah satu hal yang kini terasa cukup sulit untuk dilakukan. Tidak seperti dulu ketika Baskara bahkan bisa memiliki setidaknya satu teman dari setiap jurusan di kampus mereka.
“As long as you’re happy.” Kata Biru pada akhirnya. Tidak ada yang bisa dia berikan selain dukungan yang tidak ada habisnya. Maka selagi ia tahu bahwa apa yang Baskara lakukan adalah sesuatu yang baik untuk menunjang kesembuhannya, Biru hanya akan menyetujui tanpa banyak bertanya.
“Nanti, kalau income dari kerjaan remote itu udah lumayan, udah bisa dipakai buat memenuhi semua kebutuhan primer dan sekunder, Lo berhenti kerja aja, ya. Biar gue yang fokus nyari nafkah buat kita berdua, sedangkan lo fokus aja ngurusin gue di rumah.”
“Being a baby sitter, huh?” Biru menggoda.
“Being my lover.” Lalu, Baskara menarik tubuh Biru mendekat, untuk kemudian dia peluk, membiarkan kepala kekasihnya bersandar di dadanya yang berdebar-debar. “Or maybe my wife?” sambungnya, disusul suara kekehan yang terdengar renyah.
Sabiru ikut-ikutan tersenyum. Suara detak jantung Baskara yang terdengar jelas di telinganya juga turut memicu detak jantungnya sendiri untuk bergerak seirama. Lalu terciptalah simfoni indah dari dua alunan detak jantung yang saling melengkapi bagian-bagian yang rumpang.
Ketika di luar sana lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan karena matahari sudah sepenuhnya menghilang, Sabiru semakin menenggelamkan diri ke dalam dunianya sendiri. Dunia di mana hanya ada dia dan Baskara, dan yang mereka temui di sepanjang jalan hanyalah sukacita.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Gerimis turun pada hampir tengah malam, ketika Sabiru masih belum bisa memejamkan mata dan lebih memilih untuk kembali menggulir layar ponselnya untuk membaca kembali thread yang sore tadi menyita cukup banyak perhatiannya.
Di samping Sabiru, Baskara sudah terlelap sejak setengah jam yang lalu. Sebelumnya, mereka sempat berbincang tentang beberapa hal. Soal kapan Baskara hendak menyerahkan surat pengunduran dirinya, apa-apa saja yang harus Biru siapkan di rumah untuk menunjang pekerjaan baru Baskara, hingga perkiraan kapan Biru bisa menyusul Baskara untuk menyerahkan surat pengunduran diri miliknya.
“Inilah gunanya staycation, Bas.” Ucap Biru, padahal matanya masih terfokus pada layar ponsel. “Supaya kita bisa ngobrolin hal-hal penting tanpa takut si ulat bulu kesayangan lo itu tiba-tiba datang mengganggu.”
Omong-omong soal Lintang, Biru baru ingat kalau sejak terakhir kali berkunjung membawa rantang makanan, bocah tengil itu belum lagi menampakkan batang hidungnya. Hari ini sudah terhitung seminggu, dan dia menjadi agak heran karena biasanya gadis itu sama sekali tidak mau melewatkan kesempatan untuk menempel pada Baskara.
“I wish your kepala ketiban kelapa muda nanti pas lo lagi jalan pulang, biar lo lupa ingatan dan nggak bisa lagi gangguin cowok orang!”
Datangnya ingatan soal doa yang dia panjatkan hari itu praktis membuat kegiatan Biru terjeda. Ia menurunkan ponselnya, meletakkannya di atas dada sedangkan pikirannya mulai melanglang buana. Bagaimana jika apa yang dia ucapkan hari itu telah menjadi kenyataan? Bagaimana jika Lintang benar-benar ketiban kelapa dan kepalanya luka berat hingga tak lagi mampu mengingat banyak hal, terutama Baskara? Bagaimana jika...
“Ah, nggak mungkin.” Ia menggeleng rusuh. Dia ini bukan anak Tuhan, mana mungkin doanya bisa langsung dikabulkan begitu saja? Kalaupun Tuhan menyayangi dirinya, setidaknya ada doa yang lebih pantas untuk dikabulkan. Mengembalikan jasad kedua orang tuanya, misal.
“Palingan lagi stres doang dia gara-gara tugas kuliah.” Dengan begitu saja, dia sudah berniat untuk meraih ponselnya lagi, melanjutkan kegiatan scroll sampai nanti baterai ponselnya habis dan barulah dia pergi tidur. Namun, niat itu urung saat lengan Baskara tiba-tiba saja menarik pinggangnya, membawa tubuhnya mendekat.
“Lo berisik banget sih dari tadi?” ucap lelaki itu, padahal jelas-jelas matanya terpejam dan Biru pikir ia sudah lama terlelap.
“Lo belum tidur?” Biru berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena Baskara malah menggunakan kedua tangannya, menenggelamkan tubuh Biru ke dalam sebuah pelukan hangat.
“Gimana mau tidur kalau lo dari tadi ngoceh mulu?” Baskara bicara begitu masih dengan mata yang tertutup.
Di dalam pelukan Baskara, Biru merengut. “Berarti lo dari tadi dengerin gue ngoceh?”
Terdengar suara kekehan, lalu pelukan Baskara malah semakin erat Biru rasakan. “Tidur, udah malam. Unless lo mau kita bergadang sampai pagi buat olahraga malam.”
“We can do that if you really want to.”
“Bercanda.” Baskara menelan kembali suara tawanya. “Don’t bring the making love things again, I don’t like that.”
“Lo yang selalu mulai.”
“Jangan ditanggepin, lo tahu gue cuma bercanda.”
Di momen itu, Biru berusaha keras melepaskan diri dari pelukan. Dan karena usaha kerasnya itu juga lah Baskara kembali membuka mata. Tatapan mereka pun bertemu.
Biru ingin mendebat, ingin memulai argumen tengah malam yang mungkin bisa berlangsung hingga pagi menjelang. Akan tetapi, dia urungkan niat tersebut. Alih-alih bicara, dia malah kembali membenamkan diri ke dalam pelukan Baskara.
“Good night, Bas.” Ucapnya, kemudian memejamkan matanya erat-erat.
Malam itu, lebih daripada hari-hari sebelumnya, Biru berdoa lebih keras agar keadaan segera membaik. Sebab ia sudah lelah melihat Baskara yang terlampau berhati-hati, terlampau takut mengambil langkah maju hanya karena dia tidak ingin menghadirkan sosok Fabian lain di dalam hidupnya—anak yang lahir di luar nikah, dan tumbuh dengan predikat ‘anak haram’ yang melekat seumur hidupnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments