Tujuh bulan di Jogja, Baskara dan Biru tinggal di sebuah rumah kontrakan satu lantai dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. Tidak ada garasi, hanya ada halaman yang luas berhias rumput hijau yang tumbuh secara alami. Di halaman itulah biasanya Baskara memarkirkan motor matic yang dia beli secara cash menggunakan sisa tabungan yang dia miliki setelah dipakai untuk membeli identitas baru.
Motor matic berwarna putih dengan semburat warna biru itu yang menjadi moda transportasi untuk dirinya dan Sabiru. Meski harus kepanasan dan sesekali kehujanan ketika menggunakannya, Baskara bersyukur karena setidaknya dia masih memiliki kendaraan untuk berangkat dan pulang kerja. Karena kalau harus menggunakan transportasi umum, itu akan sangat merepotkan dan boros uang.
“Gue duluan.” Sabiru melompat turun dari motor yang mesinnya belum dimatikan. Jaket yang dia rampas dari bahu Lintang dan dia dekap selama perjalanan pulang dia kembalikan kepada si empunya dengan cara yang tidak sopan—dilemparkan.
Baskara tidak sempat menyahut karena Biru sudah langsung masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya yang mengentak-entak adalah pertanda bahwa perempuan itu masih marah atas interaksi yang terjadi antara dirinya dengan Lintang di Malioboro tadi.
Ini adalah sesuatu yang baru. Sebab ketika mereka terus berpindah dari satu kota ke kota lain, Biru hampir tidak pernah menunjukkan ketidaksukaan yang sampai seperti itu. Dan ketika Baskara bertanya mengapa Biru kentara sekali tidak menyukai Lintang, perempuan itu tidak akan pernah menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan.
“Perempuan itu memang makhluk Tuhan yang paling susah ditebak.” Ucap Baskara, kemudian dia menyusul Biru setelah memastikan motornya terkunci dengan baik. Tak lupa juga dia mengecek ulang apakah Biru sudah mengunci pagar kembali atau belum.
Sementara itu, di dalam rumah, Biru sudah sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan makan malam. Lengan kemeja yang dia kenakan digulung sampai ke batas siku. Dia baru saja pulang kerja ketika Baskara mengajaknya jalan-jalan ke Malioboro, jadi dia belum sempat berganti baju.
“Mau masak apa, Yang?” suara Baskara muncul dari arah belakang tubuhnya.
“Nasi goreng.” Biru menjawab singkat dan kembali sibuk mengiris cabai dan perbawangan serta beberapa macam sayuran, tak lupa juga dia tambahkan sosis dan bakso sebagai pelengkap.
“Mau gue bantuin nggak?” tawar Baskara. Helm dan jaket yang masih dia pegang kemudian diletakkan di atas meja makan. Sudah siap-siap juga dia berjalan menghampiri Biru sambil melepaskan kancing di bagian ujung lengan kemejanya, serius berniat membantu kekasihnya menyiapkan makan malam.
“Nggak usah, lo langsung mandi aja. Lo hilangin tuh bekas yang digrepe-***** sama Lintang.” Sabiru menjawab ketus, masih sambil sibuk dengan kegiatan memasaknya.
“Gue nggak ada digrepe-***** sama Lintang.” Baskara tetap nekat maju. Dia kemudian berdiri di samping Biru, mengambil alih pisau yang tengah perempuan itu gunakan untuk mengiris butir terakhir bakso.
Biru melirik tajam. Dari sana saja, sudah tersirat dengan jelas amarah yang siap diledakkan. “Lo pikir gue percaya?” ucapnya seraya melipat lengan di depan dada. “Si Lintang itu gatal, kayak ulat bulu. Mana mungkin dia bisa anteng nggak *****-***** badan lo selagi ada kesempatan?” ia menyambung.
Semua bahan untuk nasi goreng telah selesai diiris. Baskara menyimpan pisau jauh dari mereka, kemudian berbalik menatap Biru sambil mengubah posisi lengannya serupa dengan apa yang kekasihnya itu lakukan.
“Let me ask you a question, dan lo mesti jawab.” Katanya.
Biru menaikkan sebelah alisnya, “Apa?”
“Kenapa lo nggak suka banget sama Lintang? Gue tahu ini bukan sekadar rasa cemburu.”
Kalau biasanya Biru akan menghindar dan segera mencari topik pembahasan yang lain, kali ini perempuan itu telah memutuskan untuk memberikan jawaban. “Cuz she’s so annoying. Dia gatal, cerewet, dan yang lebih penting, dia terlalu mau tahu urusan kita. Lo tentu nggak lupa kalau sekarang ini kita hidup sebagai Abimanyu dan Anindia, bukan Baskara dan Sabiru seperti sebelumnya.”
“I know, tapi apa hubungannya sama Lintang?”
“Jelas ada!” Biru menyergah. “Lintang terlalu masuk ke hidup kita, Bas, dan itu bahaya. Makin dekat dia, makin besar kemungkinan kalau identitas kita bakal kebongkar. Dia itu kepo abis, dan gue yakin dia sekarang juga lagi gencar cari-cari info soal Abimanyu dan Anindia.”
“Lo benar, gue kayak gini bukan karena cemburu. Gue khawatir sama hidup kita ke depannya kalau Lintang terlalu banyak ikut campur.”
Baskara menghela napas rendah, “Gue tahu, tapi kita juga nggak mungkin jaga jarak sama Lintang. Kita tinggal di rumah orang tua dia, Bi.”
“Kita bisa pindah.”
Tak sampai sedetik, Baskara menggeleng. “Nggak segampang itu.” Ucapnya. “Nyari rumah kontrakan yang sesuai sama budget kita nggak gampang, lo sendiri tahu itu. Gaji gue juga nggak seberapa, belum bisa nyisihin banyak kalau tiba-tiba lo minta kita pindah buat cari kontrakan baru. Sadar, hidup kita nggak seenak dulu. Kita nggak punya cukup banyak tabungan buat request ini itu.”
Tertampar fakta, Biru semakin kesal. Lintang benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi apa yang Baskara bicarakan soal uang juga memang benar adanya. Tabungan mereka sudah tidak sebanyak dulu, tidak bisa gegabah untuk memutuskan ini itu.
“Untuk sementara, kita bertahan dulu di sini, oke? Gue usahakan supaya Lintang nggak melewati batas. Lo juga tahu kalau gue nggak akan biarin itu terjadi, kan?” Baskara berusaha menenangkan.
Tidak ada jawaban yang bisa Biru berikan. Perempuan itu hanya diam seribu bahasa, malah sibuk berkutat dengan isi pikirannya yang penuh dengan hal-hal acak.
“Biar gue aja yang masak, lo mandi duluan sana.” Kata Baskara lagi setelah hening sesaat.
Namun, Biru menggeleng. “Gue aja yang masak. Gue emang udah niat buat masakin lo pas kita balik kerja.”
Malas ribut, Baskara pun mengalah. “Ya udah kalau gitu. Hati-hati, jangan sampai terluka.” Ucapnya. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Sabiru setelah mendaratkan usapan pelan di puncak kepala kekasihnya.
Selepas kepergian Baskara, Biru kembali menghela napas panjang. Semoga saja dia bisa segera mengumpulkan lebih banyak uang agar bisa pindah dari sini. Dia benar-benar memiliki firasat buruk soal Lintang. Seperti pepatah, anak bau kencur itu diam-diam menghanyutkan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Raudatul zahra
sayang nya Babas sama Biru nggak milih nikah yaa..
nikah siri kek..
agak aneh siih aku bacanya kalau nggak nikah tapi serumah gini. walaupun ttp tidur beda kamar.
2023-11-25
1
Raudatul zahra
maasya Allaah 🥰🥰🥰 Sabiru udah bisa masak ????
2023-11-25
1
Zenun
iya bang iya
2023-08-29
1