“BURUANNNNN!!!!” Biru menggedor pintu kamar mandi berkali-kali. Jam dinding yang terus berdetak juga semakin membuat kepanikannya bertambah.
Bagaimana tidak? Ini hari Senin, hari paling sakral di mana dia seharusnya tiba di tempat kerja lebih awal untuk mempersiapkan banyak hal, tetapi dia dan Baskara malah bangun kesiangan karena terlalu asyik cuddle, berujung nyaman dalam dekapan masing-masing. Sudah begitu, Baskara pakai acara lama pula di dalam kamar mandi. Katanya perutnya melilit, padahal semalam mereka tidak habis makan yang aneh-aneh.
“BASKARA!!! BURUAN!!! GUE UDAH TELAT!!!” Teriaknya lagi. Tenggorokannya sampai sakit karena sedari tadi berteriak terus. Buku-buku tangannya juga terasa perih karena dia menggedor pintu kamar mandi dengan bar-bar tanpa henti.
“BAS—“
“Iya, iya, sabar!” pintu akhirnya terbuka. Tetapi masalah lain timbul saat Baskara muncul hanya mengenakan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Lilitannya pun terlihat rapuh, sehingga Biru khawatir handuk itu akan terjun bebas—mengakibatkan tereksposnya aset berharga milik Baskara yang dia jaga-jaga sepenuh jiwa.
“Lah, dia malah bengong!” Baskara mengibaskan tangan di depan wajah Sabiru yang malah menurunkan pandangan ke arah... lupakan, ini masih pagi, jangan berpikir yang macam-macam. “Buruan masuk, katanya udah telat.” Sambung Baskara, lantas ia membantu Biru masuk ke dalam kamar mandi sebelum dia bergegas menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
“Jangan lama-lama ganti bajunya!” teriak Biru untuk terakhir kali, sebelum Baskara menutup paksa pintu kamar mandi sehingga suara cempreng perempuan itu teredam sempurna.
“Telat sekali doang hebohnya udah kayak bakal kena SP dan langsung dipecat.” Gumam Baskara sambil mengayunkan langkah menuju kamarnya.
Tidak seperti Sabiru yang strict sekali soal jam masuk kerja, Baskara terbilang lebih chill dan tidak terlalu mau ambil pusing. Baginya, selama dia bisa mengerjakan project tepat waktu dengan hasil yang memuaskan, tidak masalah bahkan jika dia telat sebanyak lima kali dalam seminggu.
Untuk hari ini, Baskara hanya ingin berpakaian santai. Selain karena kemeja favoritnya masih berada di keranjang pakaian kotor, ia juga enggan memakai pakaian yang terlalu rapi ketika hari Senin. Alasannya hanya satu, yaitu karena hari Senin selalu identik dengan segala sesuatu yang hectic. Berpakaian terlalu rapi hanya akan membuat pergerakannya terbatas, sebab dia akan banyak berpikir sebelum bergerak agar tidak membuat pakaiannya kusut.
Pilihan outfit untuk hari Senin yang sudah riweuh sejak pagi ini jatuh pada selembar kaus polos, celana jeans dan leather jacket yang semuanya warna hitam. Sebelum mengenakan outfit pilihannya, Baskara lebih dulu menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Beberapa titik seperti pergelangan tangan di belakang telinga dia berikan perhatian ekstra, sebab katanya dua titik itu adalah spot paling baik untuk membuat wangi parfum tahan lama.
Menghirup aroma parfumnya yang lembut (tidak seperti aroma parfum laki-laki kebanyakan) selama beberapa detik, Baskara pun bergegas mengenakan pakaiannya. Selesai dengan itu, dia menyugar rambutnya yang sudah semakin panjang, menyisir helaiannya hanya menggunakan jemari.
“Perfect.” Ucapnya.
Tak butuh waktu lama, dia sudah siap untuk berangkat kerja. Malah si Sabiru yang heboh sejak tadi tuh yang belum juga kedengaran keluar dari kamar mandi.
Baskara meraih tas punggung berisi alat tempur, tak lupa memasukkan dompet dan ponsel ke dalamnya kemudian keluar dari kamar.
Selagi menunggu Sabiru selesai bersiap, Baskara nongkrong di teras depan. Tidak melakukan apa-apa, hanya bengong saja menatapi jalanan yang lengang. Teriknya matahari yang membuatnya harus sesekali memejamkan mata karena silau pun seperti buka gangguan yang berarti. Dia tetap bertahan duduk di sana sampai sepuluh—atau mungkin sebelas—menit kemudian.
“Kok malah duduk nyantai di sini, sih?! Itu Vero udah dipanasin belum?!” datang-datang, Biru sewot. Baju seragamnya bahkan belum dikancingkan dengan benar, rambutnya juga masih dicepol asal-asalan.
“Nggak usah heboh, Yang. Calm down.” Baskara berusaha menenangkan. Tak hanya menggunakan kata-kata, ia juga menggunakan kedua tangannya untuk memeragakan gerakan inhale exhale yang sempat diikuti oleh Sabiru, sebelum gadis itu tersadar dan malah menggebuk lengahnya dengan keras.
“Nggak ada waktu buat bercanda! Gue udah telat, Baskara! Buruan!” kasar, Biru menarik lengan Baskara, menyeret kekasihnya menghampiri Vero yang sudah melambai-lambai minta ditunggangi.
Baskara mendesah pelan, lantas mengikuti mau kekasihnya dengan langsung naik ke atas Vero. Mesin dinyalakan, lalu dia segera tancap gas melewati gerbang yang telah dibukakan lebar-lebar oleh Sabiru.
“Lah, Yang, helm gue ketinggalan!" pekik Baskara sambil menggerayangi kepalanya sendiri.
Biru semakin berdecak kesal, namun tetap berlarian masuk ke dalam rumah dan kembali dalam waktu kurang dari satu menit sambil membawa helm milik Baskara.
“Bola mata lo kalau nggak diiket sama otot juga pasti ketinggalan, Bas.” Omel Biru seraya mengenakan helm miliknya sendiri.
“Hush! Ngomongnya serem amat, sih.”
“Nggak usah bacot, ayo buruan.” Biru secepat kilat naik ke jok belakang. Tangannya menepuk-nepuk pundak Baskara dengan heboh, memintanya segera tancap gas.
“Pegangan, mau ngebut nih gue.” Titah Baskara sambil bersiap-siap menarik tuas gas dalam-dalam.
Biru segera melingkarkan lengannya, nemplok dengan sempurna di punggung Baskara, dan wussshhh motor melaju gila-gilaan di jalanan yang sepi seperti tak berpenghuni.
Mereka terlalu heboh, terlalu panik takut telat datang ke tempat kerja sampai tidak sadar bahwa ada seseorang yang menyaksikan betapa kalang kabutnya mereka pagi ini. Seseorang yang mencuri dengar bagaimana Biru memanggil Baskara dengan nama aslinya, pun menyaksikan betapa erat lengan Biru melingkar di pinggang kekasihnya.
“Yang? Baskara? What is that mean? Bukannya mereka saudara? And his name is Abi, right?” tanya seseorang itu, berakhir tak mendapatkan jawaban apa pun.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments