Dum Spiro, Spero

Dum Spiro, Spero

Hidup Baru

Tahun ke-empat pelarian, Jogjakarta.

Keramaian yang tersuguh di Malioboro dan sekitarnya sudah bukan menjadi sesuatu yang asing bagi Biru dan Baskara. Ini adalah tahun ke-empat pelarian mereka. Setelah melewati banyak drama dan terus menghindar dari kejaran Jeffrey selama melewati tahun pertama hingga ketiga, kota ini menjadi tujuan pemberhentian mereka selanjutnya.

Hampir setiap malam, mereka akan datang ke sini, mencari spot nyaman untuk menikmati alunan lagu yang dimainkan oleh para musisi jalanan. Di tempat ini mereka melepas penat yang mengungkung seharian, sejenak menanggalkan identitas palsu yang mereka bawa agar tetap bertahan hidup.

Tepatnya dua tahun lalu, ketika mereka masih hidup bersama di Bali, Baskara memutuskan untuk mengubah identitas mereka agar lebih sulit bagi Jeffrey untuk melacak keberadaan mereka. Bermodalkan koneksi dengan seorang kenalan yang ahli dalam persoalan menyediakan identitas palsu, Baskara menguras banyak tabungan demi mendapatkan kehidupan baru untuk dirinya dan Sabiru.

Abimanyu dan Anindia. Alih-alih sepasang kekasih, mereka menjelma menjadi saudara kandung yang merantau ke luar kota setelah kedua orang tua mereka tiada. Dua tahun menggunakan identitas itu, terbukti efektif karena Jeffrey sudah jarang menunjukkan tanda-tanda bahwa lelaki itu mulai berada di kota pemberhentian mereka.

Baskara menarik napas dalam-dalam, lalu kembali mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru Malioboro yang selalu megah tiap malam.

Jogjakarta cantik, ia memiliki pesona yang tidak bisa ditemukan di kota-kota lain. Namun bagi Baskara yang sedang berusaha merawat lukanya agar lekas sembuh, segala keindahan yang ada di sana tak ubahnya angin lalu. Ia tampak, tapi tak cukup mampu untuk membuat Baskara sembuh.

“Mas Abi!”

Baskara menoleh kala suara jernih seorang perempuan memanggil. Senyum palsu lantas dia sunggingkan kala matanya menemukan sosok gadis berambut ikal sepunggung tengah melambaikan tangan ke arahnya. Namanya Kumala Lintang, putri pemilik rumah kontrakan tempat ia dan Sabiru tinggal selama tujuh bulan. Lintang berlarian menghampirinya. Kerumunan diterobos, penuh dengan semangat yang menggebu-gebu.

“Mas Abi sama siapa?” tanya gadis itu lagi sesampainya ia di depan Baskara.

“Mbak Anin, tapi dia lagi ke toilet sekarang.” Jawab Baskara. Tangannya terulur, membenahi poni Lintang yang morat-marit menutupi mata.

Diperlakukan begitu, Lintang hanya senyum-senyum sendiri. Perasaannya pada laki-laki yang dia panggil Abi itu telah tumbuh semakin besar dari hari ke hari. Dia yakin, Abi pun sebenarnya tahu, hanya saja lelaki itu tetap bersikap cool agar tidak membuat pertemanan mereka menjadi canggung.

“Kamu sama siapa di sini? Cah ayu kok keluyuran di tempat ramai malam-malam begini.”

Cah ayu. Kata ajaib yang langsung membuat pipi Lintang merah merona. Senyumnya kini sudah tidak lagi malu-malu. Terang-terangan dia perlihatkan pada laki-laki berambut semi-gondrong di hadapannya itu.

“Sendiri. Habisnya bosan di rumah, Bapak sama Ibu juga lagi ndak ada di rumah.”

“Bapak sama Ibu ke mana?” tanya Baskara. Angin yang berembus cukup dingin, dan sebagaimana sikap seorang gentleman, Baskara tidak perlu berpikir lama untuk menanggalkan jaket kulitnya lalu menyampirkannya ke kedua bahu Lintang yang terbuka. Gadis itu mengenakan dress terusan motif floral dengan warna kuning mentereng, hanya ada seutas tali yang tersampir di bahunya, membuat bahu mulus itu terekspos dengan bebas.

Lintang menerima jaket itu dengan senang hati. Diam-diam mulai mengendus aroma parfum milik Mas Abi kebanggaannya itu dalam-dalam, menyimpannya dengan apik di dalam memori.

“Di rumah Bude Sartini, Mbak Dyah kan mau menikah besok lusa.” Jawaban itu terlambat Lintang berikan selama beberapa detik karena dia terlalu asyik membaui jaket Baskara.

“Oh ya?”

Lintang mengangguk, “Harusnya Lintang juga ada di sana, tapi malas, soalnya ada Mas Bagas. Mas Abi tahu, kan, kalau Lintang anti banget sama manusia satu itu?” ia mengadu, perihal Bagas Adiwijaya, laki-laki—yang katanya—keturunan ningrat yang tak gentar mengejar cintanya sejak ia masih SMA hingga kini sudah kuliah jurusan ekonomi semester 5.

“Kamu pernah dengar istilah, ‘benci jadi cinta’ nggak?”

“Terus maksud Mas Abi, Lintang ndak boleh terlalu anti sama Mas Bagas, karena nanti bisa jadi cinta, gitu?”

Baskara mengangguk seraya terkekeh pelan. “Exactly.”

“Ihhh... amit-amit!” Lintang kelihatan antipati. “Jangan sampai, deh. Mas Abi ndak tahu aja, Mas Bagus itu freak parah!”

Melihat ekspresi Lintang yang seperti habis melihat penampakan, Baskara pun tergelak. Baginya, kehadiran Lintang ini cukup menghibur. Segala tingkah polahnya yang masih seperti bocah tak jarang membuat Baskara mampu tertawa lepas, sejenak melupakan masalah yang sedang dia pukul sendirian.

“Mas Abi,”

“Hmm?”

“Gimana kalau Mas Abi bantuin Lintang biar Mas Bagas ndak gangguin Lintang lagi?”

Raut wajah Baskara menjadi serius seketika, dahinya mengkerut memikirkan hendak berlanjut ke mana permintaan Lintang itu.

“Bantuin gimana?” tanyanya.

“Jadi pacar Lintang. Kalau Mas Bagas tahu Lintang udah punya pacar, kayaknya dia ndak akan berani dekat-dekat lagi, deh.” Pinta Lintang.

Baskara tahu permintaan itu datang dari hati, namun dia memutuskan untuk mengambilnya sebagai sebuah candaan dan kembali tergelak.

“Kok Mas Abi malah ketawa, sih?! Lintang serius, tahu!” Rajuk si gadis.

Tawa Baskara mereda, tergantikan dengan sebuah senyum manis yang mampu membuat jantung Lintang dag-dig-dug tak keruan di dalam dada sana.

“Mas Abi nggak mungkin macarin kamu, Sayang.” Ucapnya lembut.

“Ya kenapa? Kenapa ndak mungkin?” Lintang menuntut penjelasan.

“Karena kamu udah Mas Abi anggap seperti adik sendiri. Adik bontotnya Mas Abi sama Mbak Anin.” Tangan besarnya kemudian terangkat, mendarat di kepala Lintang yang tengah merengut. “Pasti ada cara lain buat bikin Mas Bagas itu nggak gangguin kamu lagi, kok. Nggak harus dengan cara pura-pura pacaran sama Mas Abi.” Sambungnya.

Lintang menghela napas pasrah. Ini bukan kali pertama percobaan mengajak berkencan yang dia tawarkan kepada Abi ditolak. Total sudah enam kali, tetapi dia masih tidak berniat untuk berhenti. Besok, dia akan mencobanya lagi. Terus mencoba sampai Abi mau menerima gundukan cintanya yang sebesar gunung Fuji.

“Udah malam, kita harus pulang.” Tahu-tahu, Sabiru muncul—entah dari mana. Wajahnya yang judes membuat Lintang menghela napas dengan cara yang berbeda. Tidak seperti kakaknya, Abimanyu yang ramah, si Anindia itu memang selalu terlihat judes dan tidak bersahabat. Tentu, Lintang yang dasarnya dibesarkan dalam lingkungan penuh keramahtamahan tidak bisa terbiasa dengan sikap judesnya Anindia itu.

“Bentar, gue masih ngobrol sama Lintang.” Baskara menarik tangannya dari kepala Lintang. Sorot mata Biru yang menunjukkan ketidaksukaan itu adalah indikator penting bahwa dia harus segera menarik diri.

“Lo besok harus kerja.” Biru tidak mau tahu. Ditariknya lengan Baskara menjauh, lalu tak lupa juga dia ambil jaket Baskara yang tersampir di bahu Lintang. “Jaket ini juga udah waktunya dicuci.”

Lintang kian merengut saat aroma parfum yang menempel di jaket lelaki itu tak lagi bisa dia endus sesuka hati. Memang, ya, Anindia itu jahat sekali!

“Kalau gitu, kita pulang bareng Lintang. Kasihan dia sendirian.” Ucap Baskara.

Akan tetapi, Biru langsung memberikan penolakan. “Dia bisa datang ke sini sendiri, jadi pulangnya pun bisa sendiri.” Ketusnya.

“Anin,”

“Pulang, Abimanyu. Jangan bikin gue ngamuk di sini.” Biru berkata dengan penuh penekanan.

Karena tidak ingin menimbulkan keributan, Baskara pun akhirnya mengalah. Dengan berat hati, dia harus meninggalkan Lintang sendirian.

“Mas Abi sama Mbak Anin pulang duluan, ya, cah ayu. Kamu juga jangan keluyuran lama-lama, kalau bisa langsung pulang aja.” Ucap Baskara seraya menyunggingkan senyum penuh permintaan maaf.

“Iya, Lintang juga mau pulang kok.” Lintang bersungut-sungut. Padahal sedang asyik, kenapa Anindia harus datang mengganggu?

“Ya udah, hati-hati pulangnya ya. Sampai rumah kabarin Mas Abi.”

Lintang manggut-manggut saja. Lalu dia hanya bisa pasrah melihat Abi diseret paksa oleh Anindia meninggalkan posisi terakhir mereka berada.

“Adik yang ndak ada sopan santunnya sama sekali sama kakak. Kalau muka mereka ndak mirip, aku ndak akan percaya kalau mereka itu kakak adik.” Gerutu Lintang, lalu dia berjalan meninggalkan keramaian dengan langkah yang mengentak-entak.

Bersambung

Absen duluuuuu yang kangen sama Baskara!!!

Nih, udah nongol nih anaknya!

Terpopuler

Comments

Raudatul zahra

Raudatul zahra

habis Juan, ke Baskara dulu dehh.. habis itu baru Fabian ..

2023-11-25

1

Zenun

Zenun

gak, cinta ya cinta aja gak ada benci-bencinya

2023-08-27

1

Zenun

Zenun

kirain yang manggil sabiru

2023-08-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!