Setidaknya, pergi meninggalkan rumah tak semenakutkan bertemu pria tua itu. Sekarang Lana hanya perlu bertahan dengan menuruti perkataan Raul yang nampaknya memang memandang Lana sebagai hewan peliharaan.
Tidak apa. Pokoknya apa saja selain bersama pria tua itu.
"Ohiya, Lana." Raul di kursi depan mobil menoleh padanya ke belakang. "Lana mabuk kendaraan? Soalnya perjalanannya makan waktu lima jam-an."
Lana menggeleng walau sebenarnya ia tak tahu. Mana ia bisa tahu kalau seumur hidup Lana cuma tinggal di kampung. Satu-satunya saat Lana naik mobil adalah waktu naik angkot, yang biasanya paling lama itu sepuluh lima belas menit.
Pikir Lana, ia akan baik-baik saja. Tapi satu jam kemudian, mobil terpaksa berhenti karena Lana muntah-muntah sampai perutnya sakit.
"Enggak pa-pa, enggak pa-pa." Raul pindah ke kursi belakang, menepuk-nepuk punggungnya yang sibuk muntah di kantong plastik. "Pak, beliin Lana obat dulu di apotek."
Supir keluar dari mobil, pergi membeli obat di apotek yang memang sengaja mereka singgahi. Badan Lana lemas bukan main. Ia tak tahu kalau mabuk kendaraan bisa seberat ini. Rasanya jauh lebih berat daripada muntah saat sakit.
Kepalanya berputar-putar.
"Nyender di sini."
Karena terlalu pusing, Lana bahkan sudah tak peduli saat Raul memeluknya. Yang ia pedulikan hanya perasaannya sedikit membaik saat berbaring di pelukan itu.
Tentu saja, saat Lana melakukannya, Raul tersenyum. Entah orang merasa aneh atau salah pada hal itu, tapi terus terang, Raul sangat suka—sangat-sangat suka pada gadis lemah.
Raul sangat suka peduli pada perempuan yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Yang kalau jalan dia gampang tersandung, yang kalau merasa sakit sedikit dia menangis.
Makanya, Raul tertarik pada gadis ini sejak dia pingsan cuma karena Raul berbisik usil.
"Halo, Ma." Dan Raul sukarela melakukan apa pun untuk dia, sekarang. "Kayaknya perjalanan lambat deh, Ma, soalnya Lana muntah-muntah. Mama enggak usah nungguin."
"Raul, kamu enggak mikir macem-macem kan?" balas Mama Dewi yang mengenal dalam putranya itu.
Raul cuma tersenyum, tidak membalas tapi mematikan panggilan. Setidaknya untuk sekarang, Raul tidak berencana melakukan banyak hal.
*
Setelah minum obat, ternyata Lana tetap mabuk berat. Posisi duduknya berganti jadi posisi berbaring di paha Raul, berulang kali meringis dan muntah.
Bahkan sesampainya di kota, arah yang dituju mobil berubah ke rumah sakit. Raul meminta Lana dirawat semalam di sana, sementara Raul pulang ke rumah untuk menunaikan janjinya pada Lana.
"Mas Raul." Pelayan Raul hanya bisa menatap tuannya saat pemuda itu menyuntikkan sesuatu dalam cairan infus ayah tirinya.
"Anggep aja hukuman karena ngebeli orang yang enggak mau dibeli." Raul tersenyum santai dan berbalik pergi begitu saja. "Tenang aja, Lili, Papa enggak bakal mati kok. Kecuali malaikat maut dateng."
Itu cuma sesuatu yang kecil tapi cukup membuatnya tidak bisa bangun dari tempat tidur, apalagi buat mengurusi istri barunya yang ketakutan.
"Lili." Raul berjongkok mengusap-usap anjingnya saat bicara pada pelayannya. "Yang namanya cowok itu enggak boleh nyiksa perempuan. Iya, kan? Perempuan itu kecil, manis, halus. Mesti disayang-sayang."
Lili cuma mengalihkan pandangan, memilih tidak berkomentar apa-apa.
Ucapan bosnya ini memang sangat lembut dan manis, tapi ekspdssi dia dan tangannya yang mengelus anjing itu entah kenapa terasa menakutkan.
"Nah, Bombom, kamu di rumah baik-baik yah. Ayah pergi dulu," ucap Raul pada anjing harder itu.
Tentu saja, dia akan kembali ke rumah sakit untuk menemui Lana.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments