Perhatian Al tidak pada tempatnya hingga ia tak menyadari Bunga yang sudah berdiri di depan mata seraya memegang nampan berisi secangkir gelas kopi panas. Alih-alih mencoba untuk menegur lamunan sang suami, gadis itu mengambil selembar kertas yang berada di genggaman tangan suaminya.
"Surat laporan medis RS Cahaya Bunda atas nama Sifani Yuan Moe. Sifani?" tanyanya dengan mengulang satu nama tak asing dalam hidupnya.
Bunga meneruskan membaca setiap kata demi kata hingga sisa kesadarannya ikut terenggut masuk kedalam kebenaran yang ingin sekali ia memutar waktu dan tidak kepo dengan alasan sang suami melamun. Akan tetapi semua sudah terjadi, apa yang bisa dilakukan?
Beberapa saat hanya ada keheningan, lalu tiba-tiba terdengar suara ngilu diantara kebisuan pasutri itu bersambut tubuh gemetar tak kuasa menahan diri. Al yang tersentak kembali merengkuh kesadarannya. Pria itu terbelalak karena hasil medis sudah beralih di genggaman tangan Bunga.
Sontak saja ia beranjak menyambar tubuh istrinya tetapi justru mendapatkan penolakan. Tatapan mata sendu terpatri menatap dirinya, "Bunga, dengarkan aku dulu!"
"Om, apa kalian punya anak?" Ditatapnya sang suami semakin intens berharap akan mendapatkan jawaban. Meski ia sadar semua yang terjadi ada dimasa lalu, tetap saja harus ada penjelasan pasti.
Bagaimana mengatakan setengah kebenaran lagi? Jika emosi bercampur luka telah menyatu berakhir sorot mata sendu nan kecewa yang terpancar dari manik hazelnut sang istri. Rasa bersalah di hatinya bukan karena kebenaran itu terungkap.
Melainkan ia sadar akan tanggung jawab yang terabaikan walau tidak sengaja. Ingin langsung mengatakan hanya saja suasana tidak memungkinkan. Disini yang merasa terluka bukan hanya Bunga, tapi ia dan juga seseorang. Andai semua terungkap maka pasti akan terjadi keretakan hubungan.
"ALKAN PUTRA!" seru Bunga tak kuasa menahan diri atas sikap diam Al yang menganggap pertanyaannya hanya angin lalu saja.
Al menghela napas kasar seraya mengambil alih lembar laporan yang tergantung di tangan istrinya. Lalu, mulai menjelaskan secara perlahan atas apa yang terjadi di masa lalu. Pengakuan pagi ini menjadi hari kedua pengakuan setelah tujuh tahun sudah berlalu.
Ingatan yang ingin ia singkirkan justru kembali datang menyapa oleh paksaan diri hingga menghempaskan kehangatan merampas kedamaian hati dan pikiran. Kata demi kata meluncur tanpa beban menjadi pengakuan yang tidak bisa dikekang. Suara tegas nan dingin tak lagi ada karena semua berakhir dalam kebenaran kehidupan.
Rasa takut berganti luka kecewa didalam duka. Faktanya kehidupan menghadirkan masa lalu sekedar peningkat keimanan. Pernyataan sang suami sangat mengejutkan bahkan tak sekalipun terpikirkan akan kenyataan pahit kerumitan hubungan mereka.
"Aku tidak tahu harus ngomong gimana lagi, tapi semua bukti hanya mengarah pada ... "
Bibir mendadak kelu tak mampu melanjutkan pengungkapan kebenaran. Satu nama yang menjadi jawaban atas semua masa lalu benar-benar ia tak bisa menyebutkan nama tersebut. Apalagi bayang-bayang kenangan kebersamaan menari menghiasi pelupuk mata.
Digenggamnya tangan dingin yang sepenuh hati berkata jujur meski tengah terluka. Ia menyesal karena beberapa waktu lalu berteriak keras tanpa memikirkan keadaan sang suami, "Sorry, Om. Aku sudah kelewatan. Kita lupakan ini saja, ya."
"Bunga, masa lalu tidak akan berubah dan itu sudah pasti. Aku telah mengabaikan Sifani bahkan tidak tahu tentang kehamilannya. Jujur saja, disini!" Al menepuk dada yang kian tak sanggup menahan rasa sesak, "Sakit ketika aku tahu ada anak di luar sana yang menjadi bagian dari hidupku."
"Kamu tau, kenapa aku melajang bahkan tidak sekalipun melirik wanita hingga akhirnya setuju menikah denganmu. Semua itu karena aku menunggu Sifani kembali, tapi takdir berkata lain. Maaf, kebenaran ini tidak bisa dihentikan.
"Ada kenyataan pahit yang tidak bisa aku anggap sebagai angin lalu . Bagaimanapun dia juga anakku. Kuharap kamu mau mengerti atas keadaan yang tidak bisa kita ubah. Maukah kau menerima kekuranganku, sekali lagi?"
Al melepaskan tangannya dari genggaman tangan Bunga. Lalu merentangkan kedua tangan mengharapkan penerimaan dari wanitanya. Tatapan mata terpaut tak sanggup mengasingkan diri. Di hadapannya adalah rumah tempat ia berpulang.
"Always, Om. I always accept you unconditionally. This love is only for togetherness, then how do I turn away from you?" Tak kuasa menahan hati tuk kembali merengkuh kepercayaan dalam hubungan mereka. Satu langkah maju menghamburkan diri tenggelam dalam pelukan sang suami. "I love you very much, Om Al."
Pelukan kian terasa erat bersambut kecupan hangat terbenam menghujani kepala Bunga dengan emosi hati tanpa kata. Pasutri itu saling menguatkan atas rasa yang tidak bisa mereka singkirkan. Masa lalu kembali membawa bukti tanpa diminta. Siapa yang akan menyangka ketika berpikir semua sudah berakhir, lalu tiba-tiba pintu tabir terbuka.
Rasa bersalah kian menggerogoti ketegangan jiwa menyisakan penyesalan tetapi ada hati yang harus dijaga. Sehingga tetap berusaha untuk bersabar serta ikhlas menerima kenyataan yang ada. Bukankah sebagai seorang hamba maka memiliki kewajiban berserah diri pada Yang Maha Esa.
"Om, boleh aku tahu, siapa dia?" tanya Bunga tanpa melepaskan diri dari pelukan sang suami hanya saja suara deru napas Al terdengar begitu berat.
Jujur saja, setelah mendengar semua cerita dari Al. Ia mulai terbayang akan beberapa kejadian yang selama ini dirinya anggap hanya sekedar kebetulan. Kebiasaan sang suami dan seseorang yang juga menjadi salah satu anggota keluarga putra bisa dianggap serupa. Cara makan, ketika bersikap dewasa, di saat manja, dan kepribadian.
Keduanya tidak ada perbedaan kecuali gender yang memang terlahir sebagai pria dan wanita beda usia. Disisi lain, entah kenapa ia merasa kecocokan itu seperti terjalin mengalir begitu saja. Apalagi mengingat sejarah pertemuan semua orang di keluarga Putra. Apa mungkin kebenaran itu sama seperti yang mengetuk relung hatinya?
Pertanyaan Bunga sangatlah jelas hanya saja, apa harus menyebutkan nama yang begitu sulit untuk ia sebut? Ragu di hatinya bukan karena tidak ingin jujur tetapi ia merasa kebenaran yang ada masih belum lengkap. Sebelum semua deal, maka ada kemungkinan lain.
"Apa yang Om pikirkan?" Bunga mendongak menatap manik mata suaminya bersambut seulas senyum hangat nan menawan meski begitu datar.
Bungkamnya Al pasti ada alasan yang tidak untuk dipaksakan. Pria dingin pemilik hati nan sensitive memang selalu menjeda pengungkapan ketika merasa masih ada yang tidak sesuai sehingga sebagai istri harus mengalah. Semua akan jelas kala hati yakin tanpa memeluk sisa keraguan hati.
Kebersamaan pasutri itu masih berlanjut, sedangkan di sisi lain hanya ada kehangatan air mata yang mengalir membasahi kedua pipi chubby si pemilik wajah manis nan anggun. Rasa sesak di dada tak mau beranjak sejak dua puluh menit yang lalu. Dimana semua itu bermula karena drama di dalam layar pipih yang terpajang di dinding kamar.
Suara derit pintu yang terdorong perlahan bahkan tak mengusik si pipi chubby. Derap langkah kaki berjalan masuk menghampiri ranjang mewah yang tampak berantakan, "Pagi, Istriku. Waktunya sarapan," Diletakkannya nampan ke atas nakas, lalu beranjak mendekati sang istri yang duduk di sofa depan tempat tidur, "Sayang, ayo!"
Tangan terulur menanti sambutan hingga beberapa saat masih tidak menyadari. Suara sesenggukan kian terdengar menarik fokus menatap wanitanya lebih intens. Betapa terkejutnya ia karena derai air mata yang mengalir dengan tatapan mata sayu berselimut duka, "Sayang, kenapa nangis? Siapa yang buat kamu sedih?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 394 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf Zhang zhing li♚⃝҉𓆊
wah, bahaya bunga sudah menemukan surat yang berisikan rumah sakit atas nama org lain
2023-06-08
1
⍣⃝ꉣꉣ ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔 hiat
kasian aku kalo jadi bunga hrus mendengarkan suaminya Bru jjur tentang masalalu nya
2023-06-08
0
⍣⃝ꉣꉣ ⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔 hiat
nyesek kecewa menjadi satu itulah yang dirasakan bunga sebagai seorang istri 😌 aturan kan sebuah hubungan dari ada saling percaya dan saling jujur satu sama lain
2023-06-08
0