“Lebih enak keliling naik mobil aja, kita nya nggak capek. Kamu ‘kan nggak boleh capek, orang lagi sakit kok,”
“Uya siap, Vinwet ”
“Apaan tuh Vinwet?”
“Singkatan dari Vindra cerewet, Hahaha. Itu panggilan khusus dari aku, boleh ya?”
“Enak aja main ganti-ganti nama aku. Ya janganlah, nama aku ‘kan—“
“Nggak apa-apa, khusus buat aku aja. Masa nggak boleh sih? Itu istilahnya panggilan kesayangan dari sahabat kamu ini. Gimana kalau menurut kamu, Zel? Cocok nggak kalau Vindra dipanggil Vinwet?”
“Nggak,” lugas Zeline seraya tersenyum. Jawabannya itu mengundang rasa bingung Anin.
“Kenapa?”
“Ya karena Vindra lebih bagus. Itu nama yang keren menurut aku, jangan diganti-ganti, Mama Papanya ‘kan udah kasih nama yang keren untuk anak mereka,”
“Itu ‘kan untuk lucu-lucuan aja, Zel. Aku juga tau namanya Vindra tuh bagus banget. Maksudnya ini tuh panggilan kesayangan dari—“
“Vindra aja,” ujar Zeline seraya tersenyum hangat dan mengangkat salah satu alisnya meminta persetujuan dari Anin supaya Anin tidak lagi memiliki ‘panggilan kesayangan’ atau ‘panggilan khusus’ entah untuk lucu-lucuan atau apapun itu.
“Yok kita pergi sekarang,”
“Makaish ya kalian udah mau temenin aku pergi. Senang banget deh punya sahabat sebaik kalian,”
“Sama-sama, Nin,”
Zeline tersenyum sambil merangkul bahu Anin dan berjalan bersama Anin keluar dari unit apartemen Anin. Vindra sudah berjalan lebih dulu di depan mereka.
“Jangan sampai hilang lagi kartu akses kamu, simpan yang benar. Ngurusnya ‘kan susah dan lama,”
“Nggak lama kok,”
Zeline mendengus pelan. Bagaimana ceritanya mengurus kehilangan kartu akses unit apartemen tidaklah lama? Buktinya Ia memutuskan untuk pulang sendiri karena Vindra terlalu lama kembali karena Vindra harus mendampingi Anin mengurus kartu akses yang hilang supaya diganti dengan yang baru.
“Aku sampai pulang duluan kemarin, gara-gara lama. Kenapa Anin bilang cepat coba?”
Zeline tentu hanya mencibir di dalam hati. Jujur kalau masalah waktu, Zeline memang cerewet. Ia paling tidak suka dibuat menunggu, dan Ia juga sebisa mungkin tidak mau membuat orang lain menunggunya. Hampir dua jam itu Ia anggap lama sekali.
“Zel, pegangin Anin ya, takutnya dia jatuh ‘kan,”
“Jatuh kenapa? Anin ‘kan bukan anak kecil,” ujar Zeline seraya terkekeh. Merasa lucu saja ketika Vindra menyuruhnya untuk memegang yang artinya menjaga Anin supaya Anin tidak terjatuh.
“Iya ngapain dipegang? Aku ‘kan bukan bocah cilik, Vin,” ujar Anin yang juga terkekeh
Vindra menatap Zeline dengan tatapan datar, dan Zeline paham kalau Vindra mungkin kesal padanya sebab Ia tidak mau melakukan apa yang dikatakan.
“Ya udah, ini aku pegangin Anin nya,”
Zeline langsung merangkul lengan Anin sambil tersenyum ceria menatap Anin yang bingung. Padahal Ia tidak dirangkul pun tak menjadi masalah.
“Aku rangkul pundak kamu aja ya,”
Zeline melepaskan tangannya dari lengan Anin kemudian diganti dengan merangkul. Tapi Anin menggeleng dan akan melepaskan tangan Zeline dari bahunya namun Zeline bersikeras mempertahankan tangannya di bahu Anin.
“Aku pegangin ya, kamu ‘kan lagi sakit, takutnya kamu masih pusing. Benar kata Vindra, kamu harus aku pegangin, takut kenapa-napa, Nin,”
Zeline tahu Vindra sangat menyayangi sahabatnya dan Vindra ingin Ia juga begitu terhadap Anin. Berhubung Anin lagi sakit, jadi harus dipastikan baik-baik saja ketika sedang berjalan seperti saat ini. Tidak masalah, Zeline akan melakukannya dengan senang hati.
“Maksud aku tuh, kamu ‘kan lagi pusing ya, takutnya oleng, jatuh, terus gimana bawanya?”
“Aku nyusahin ya?”
“Astaga, nggak gitu, Anin. Aku nggak mau aja kamu jatuh. Soalnya kalau kamu jatuh aku bakal panik, bingung harus gimana,”
“Ya tinggal dibawa balik ke apartemen, tapi tenang aku nggak bakal nyusahin. Kamu jangan ngomong gitu dong! Omongan itu doa,”
“Nggak doain, tapi jaga-jaga, makanya aku minta tolong Zeline supaya pegangin kamu. Soalnya kalau aku yang pegangin ‘kan takut salah paham, aku punya pacar,” ujar Vindra seraya menatap ke arah Zeline singkat sambil tersenyum.
“Dih, aku juga nggak mau dipegangin sama kamu,”
“Kenapa emang?”
“Ya…geli aja gitu. Nggak cocok kita kalau manis-manis,”
“Hahahah cocoknya pahit-pahit,”
Zeline lagi-lagi hanya diam menjadi pendengar yang baik. Zeline fokus berjalan saja sambil tangannya saling menggenggam dengan Anin.
Begitu tiba di parkiran apartemen, Vindra langsung membuka pintu mobil untuk Zeline dan Anin mempersilahkan keduanya masuk barulah Ia menyusul.
“Kita ke Monas nih berarti?”
“Iya aku udah lama banget nggak ke sana. Eh kalau ketemu penjual bakso bilang ya,”
“Mau ngapain?”
Anin menghembuskan napas kasar. Walaupun sudah dewasa, Vindra tetaplah Vindra yang terkadang suka memancing rasa kesalnya untuk datang.
“Ya mau makan bakso lah, Vindra. Nggak mungkin dong aku minta uang sama penjual baksonya. Kamu kenapa sih? Nggak jelas banget ih,”
“Oh kamu mau makan bakso?”
“Iya tapi nanti-nanti aja, sekarang masih kenyang soalnya ‘kan abis makan juga tadi. Takut lapar, nah aku mau makan bakso aja. Tapi kalau nggak ketemu ya nggak apa-apa. Nanti sampai di apartemen aku tinggal pesan pas lapar,”
“Okay nanti aku liat-liat ya,”
“Zeline gimana? Mau makan bakso juga ‘kan? Kamu suka bakso nggak?”
“Suka banget Zeline. Malah lebih suka bakso daripada mie ayam, iya ‘kan, Zel?”
“Hmm?”
Zeline menoleh ke arah Vindra yang baru saja mengungkapkan pengetahuannya soal salah satu makanan yang disukai oleh Zeline, yaitu bakso. Bila dibandingkan dengan mie ayam, Zeline akan kebih memilih bakso.
“Kamu lebih suka bakso ‘kan daripada mie ayam?”
“Iya bener, Vin,”
“Kenapa, Zel?”
“Ya nggak apa-apa, Nin. Lebih pilih bakso kalau aku. Tapi mie ayam juga suka banget kok. Cuma lebih suka lagi sama bakso,”
“Kalau aku suka dua-duanya. Kalau lagi sakit kadang nafsu makan bagus, tapi kadang malas banget mau makan apapun. Duh aku nggak jelas banget. Kayak sekarang nih, aku tadi udah makan nasi plus ayam, tapi udah mikirin bakso padahal belum lapar,”
“Kamu kalau mau makan pas sakit gini nggak usah cari sendiri, pesan aja lewat online. Kamu bokeh banget minta bantuan aku, tinggal ngomong, jangan sungkan ya, Nin,”
“Nggak mungkin aku mau ngerepotin kamu, Vin,”
“Nggak ngerepotin lah, santai aja. Kamu tinggal bilang mau makan apa, nanti aku pesenin,”
Anin tersenyum tipis. Vindra masih tidak berubah. Bersahabat dengan laki-laki banyak hal yang patut disyukuri juga ternyata. Vindra malah mau diandalkan dan itu membuat Anin senang tapi sekaligus tidak enak karena merasa akan selalu menyulitkan Vindra.
“Zeline, kamu diam aja. Ngantuk ya?”
“Aku bingung mau ngomong apa, lagian kamu sama Vindra lagi asyik ngobrol, nggak apa-apa, aku lagi liat-liat pemandangan aja nih,”
Kalau sedang berdua dengan Vindra saja, biasanya banyak topik obrolan yang akan Ia hadirkan, tapi kalau ada orang lain, tapi disaat ada Anin, Ia jadi jarang bersuara. Sebab obrolan juga sudah dikuasai oleh Anin maupun Vindra.
“Tuh bakso, mau sekarang?”
Sebelum sampai di monas, Vindra menunjuk keluar, dimana mereka melintasi sebuah kios penjual bakso.
“Nggak deh, jangan sekarang. Nanti aja pas pulang,”
“Abis ke Monas kemana lagi?” Zeline kali ini bertanya. Ia penasaran tujuan mereka selanjutnya setelah mengunjungi identitas ibukota Jakarta itu.
“Nggak tau, aku bingung,”
“Pulang lah, kamu ‘kan nggak bisa lama-lama pergi, biar istirahat,”
“Iya langsung pulang kok, tapi makan bakso dulu ya kalau ketemu sama penjual bakso,”
“Okay boleh,”
“Makasih ya,”
“Makasih apa sih? Kamu nggak bosan bilang makasih? Akaku yang dengar bosan deh,”
“Ya ‘kan aku harus bilang makasih atas kebaikan kamu yang sabar, pengertian, pokoknya baik banget deh,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments