Vindra berlari mendekati mobilnya. Ia menyadari kalau Ia sudah terlalu lama meninggalkan Zeline di dalam mobil. Ketika Ia buka kursi penumpang bagian depan tepatnya di sebelah pengemudi, ternyata kursi penumpang itu kosong. Padahal tadi jelas-jelas Ia meninggalkan Zeline duduk di situ.
Mata Vindra membelalak. Ia kaget sekaligus bingung mempertanyakan dimana kekasihnya? Kenapa tidak ada di dalam mobil?
Vindra langsung berseru meraih ponselnya di dalam saku dan menyadari kalau ada lima panggilan tidak terjawab dari Zeline. Ia langsung memaki dirinya sendiri.
“Bisa-bisanya handphone gue silence mode. Akhirnya Zeline nelpon, gue nggak tau,”
Vindra menyalahkan dirinya sendiri. Sekarang Ia coba untuk menghubungi Zeline namun sengaja ditolak.
“Lho, kok telepon gue direject sih?”
Sekali lagi Vindra menghubungi, dan kembali di reject oleh kekasihnya itu. Vindra menghembuskan napas kasar sambil menyimpan ponsel di dalam saku, kemudian Ia masuk ke dalam mobil.
“Kayaknya Zeline pulang sendiri. Gue ke rumahnya aja deh. Semoga dia nggak marah ke gue,”
******
“Rasain, aku matiin telepon kamu,”
Zeline puas setelah dua kali menolak panggilan Vindra yang akhirnya menyerah juga setelah mendapat penolakan dua kali darinya.
“Kalau nungguin Vindra, entah sampai kapan aku sampai rumah. Untung aja aku pulang sendiri, ini udah mau sampai. Jawaban untuk pertanyaan Mama atau Papa nanti soal Vindra bisa aku pikirin nanti deh,” batin Zeline yang akhirnya benar-benar pulang sendiri tanpa Vindra. Zeline pulang dengan menggunakan angkutan umum yang di dalamnya sudah ada tujuh orang sebelum Zeline naik. Tidak apa, Zeline nyaman-nyaman saja malah Ia senang bisa merasakan suasana yang sangat jarang bisa Ia rasakan. Kapan lagi bisa duduk di tengah beberapa orang dalam satu kendaraan umum yang ukurannya kecil.
“Dek, baru pulang sekolah ya? Masih pakai seragam. Kok baru pulang? Padat ya jadwalnya?”
Seorang wanita di sebelah Zeline melontarkan pertanyaan kepada Zeline yang menoleh dan mengangguk sopan.
“Iya, Bu,” Ia menjawab pertanyaan wanita itu.
“Cantik banget, Dek,”
“Heheh makasih, Bu,”
Penampilan Zeline berbeda, dan mencolok. Rapi, bersih dengan pakaian sekolahnya membuat wanita di sebelah Zeline itu salah fokus sejak pertama kali Zeline naik mobil angkutan umum itu. Setelah beberapa saat barulah wanita itu berani bertanya pada Zeline yang ternyata ramah menjawabnya.
Zeline turun dari angkutan umum itu setelah membayar, kemudian Ia harus berjalan masih lumayan jauh untuk mencapai komplek perumahannya.
“Ayo semangat jalan kaki. Yang penting bentar lagi sampai rumah. Coba kalau nunggu Vindra. Ih nggak tau aku kapan sampai rumah. Mama pasti bakal nelponin aku terus,”
Zeline menikmati lelahnya berjalan kaki di tengah rasa nyeri yang masih ada di sekitar perut dan pinggulnya.
Setelah melewati gerbang masuk komplek perumahannya, Zeline menghela napas lega. Sebentar lagi Ia akan sampai.
Di tengah langkah kakinya yang pasti, tiba-tiba ada yang membunyikan klakson mobil dan itu membuatnya tersentak kaget. Mobil itu menghalangi Zeline di depannya.
Zeline menyadari kalau mobil yang menghalangi itu adalah mobil Vindra. Kekasihnya itu buru-buru keluar dari mobil dan meraih tangan Zeline yang akan berlari menjauh darinya.
“Zel, kok mau pergi sih?”
“Aku mau pulang ke rumah,”
“Iya aku tau, tapi naik mobil aku yuk,”
“Ngapain sih kamu? Kenapa kamu datang?”
“Aku pengen ke rumah kamu karena aku yakin kamu udah pulang sendiri. Ternyata bener ‘kan. Tapi kamu naik apa tadi? Ojol ya?”
“Bukan! Aku naik angkot. Lebih cepat menurut aku. Kalau ojol takutnya aku harus nunggu lama. Aku nggak mau pulang lebih lama lagi, karena aku udah terlalu lama nungguin kamu,”
“Aku benar-benar minta maaf ya sama kamu. Sumpah aku nggak ada maksud untuk bohong. Aku emang niatnya cuma antar Anin sampai di depan pintu apart nya aja, tapi ternyata kartu akses dia hilang jadi aku harus temenin dia ngurus dulu. Aku minta maaf ya, Zel,”
“Yang paling aku masalahin di sini adalah. Handphone kamu kemana? Hah? Aku hubungin kamu tapi kamu nggak jawab. Akhirnya aku bingung mau gimana tadi,”
“Iya aku minta maaf untuk kesalahan aku yang satu itu juga. Handphone aku mode diam tadi, Zel,”
“Aku males sama kamu. Aku mau pulang, minggir!”
“Ya udah aku antar ya, plis jangan nolak,”
“Nggak—“
“Pliss, jangan nolak. Aku benar-benar minta maaf ya. Aku nggak bermaksud bohong sama kamu. Aku nggak sengaja juga pasang mode silent di handphone aku,”
“Nggak, aku jalan sendiri aja. Toh dari apartemen Anin aku juga sendiri kok,”
“Zel, plis dong jangan kayak gini. Aku ‘kan udah minta maaf. Masa iya sih kamu nggak pengertian? Aku ‘kan nolongin sahabat aku sendiri. Emang salah ya kalau aku bantu Anin untuk ngurus kartu akses apartemen nya? Kalau itu nggak diurus, dia nggak bisa masuk. Kasian dia, Zel. Makanya aku bantuin. Kamu harusnya bisa pengertian, Zel,”
“Kurang pengertian apalagi sih aku? Hah? Aku udah nurutin maunya Anin sama kamu lho. Tadinya aku mau langsung pulang abis sekolah tapi kalian mau ke kafe jadi ya udah aku ikut, terus aku nggak mau lama-lama di sana tapi apa? Tetap lama ‘kan? Karena lagi-lagi aku ikut kalian, aku pengertian ke kalian. Sekarang kamu masih bisa bilang aku nggak bisa ngertiin Anin? Iya?”
Zeline tidak sadar menaikkan nada bicaranya dan itu membuat Vindra terkejut. Zeline mengeluarkan tanduknya setelah beberapa jam menahan lelah.
“Aku ini lagi datang bulan, perut aku sakit, pinggul aku juga gitu, aku pengen rebahan cepat, tapi karena aku ngertiin Anin, aku nggak maksa untuk kulang. Aku berusaha untuk tetap betah di kafe. Bisa-bisanya kamu ngomong kayak tadi,” ujar Zeline dengan ketus. Setelah puas meluapkan rasa kesal, Zeline bergegas pergi meninggalkan Vindra.
“Zeline—“
“Diam! Kamu mendingan pulang deh, aku mau istirahat setelah sampai rumah, kamu nggak usah ganggu aku,”
“Iya aku antar,”
Vindra mengejar Zeline dan masih punya niat untuk mengantarkan kekasihnya sampai di rumah akan tetapi Zeline menatapnya tajam.
“Kamu paham kata-kata aku nggak?! Hah? Jangan ganggu aku. Aku capek, pengen istirahat jadi kamu nggak usah ke rumah aku,”
“Kamu semarah ini sama aku, Zel?”
“Kamu yang mancing duluan. Setidaknya kabarin dong kalau nggak bisa balik cepat ke mobil, jadi aku nggak nunggu-nunggu. Ini mah nggak, boro-boro ngabarin, aku telepon aja nggak ada jawaban,”
“Iya aku udah minta maaf ‘kan, Zel,”
“Aku maafin,”
“Tapi aku antar ke rumah ya? Kamu ‘kan lagi sakit perutnya,”
“Nggak usah, aku bisa sendiri. Lagian udah dekat kok,”
Vindra berdecak pelan karena Zeline yang keras kepala tidak mau Ia antar. Padahal Ia ingin mengantarkan Zeline sampai ke rumah. Ia harus bertanggung jawab. Biasanya kalau habis pergi bersama Zeline, setelahnya Ia akan mengantarkan Zeline pulang ke rumah.
Zeline akhirnya melangkah sendirian menuju rumahnya. Sementara Vindra berdiri mengamati sampai Zeline tidak terlihat lagi.
“Benar-benar ngambek banget sama gue, padahal gue udah minta maaf,”
Vindra mendengus kemudian bergegas masuk ke dalam mobil. Ia punya niat untuk memastikan Zeline telah sampai di rumah dengan keadaan selamat. Ia ikuti Zeline yang sudah jauh di depan sana menggunakan mobilnya. Ia ikuti Zeline terus sampai akhirnya Zeline masuk ke dalam rumah, barulah Ia putar arah untuk pulang ke rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments
Suherni 123
bener zel,, kurang pengertian apa coba
keluarin semua unek-unek mu
2023-10-10
0