“Halo, Sayang. Gimana keadaan kamu? Udah mendingan belum?”
“Aku udah jauh lebih baik, Ma,”
“Baru juga di sana, eh udah sakit aja. Kamu kecapekan kali ya? Di Jakarta nggak ada yang mantau kamu soalnya. Kamu pasti terlalu capek deh,”
“Nggak kok, Ma. Aku kegiatannya di sini sekolah, abis itu di apartemen,”
“Udah jalan-jalan keliling Jakarta?”
“Baru ke mall, Ma. Pas aku sampai sini, aku pergi ke mall bentar. Terus aku udah ke kafe Ananta nggak jauh dari sekolah sama Vindra,”
“Oh ya? Nah ya udah, nanti kalau kamu udah sehat, ajakin Vindra aja jalan-jalan keliling Jakarta. Ke Monas gitu misalnya. Mungkin kamu udah kangen monas,”
“Okay-okay, aku bakal ajak Vindra dan semoga dia mau,”
“Mau lah pasti, masa sahabatnya mau mau senang-senang keliling Jakarta dan minta ditemani dianya nggak mau? Pasti mau,”
“Udahan dulu ngobrolnya ya, Ma. Aku lagi mau makan nih baru aja pesan nasi sama ayam,”
“Okay, Sayang. Selamat makan, jangan telat-telat makannya ya, dan makan juga jangan sembarangan. Kalau Mama chat balasnya yang cepat dong biar Mama nggak khawatir, kalau Mama telepon juga buru-buru angkat, okay?”
“Siap, Bu bos. Sebenarnya kalau aku pas lagi megang handphone pasti langsung aku jawab, Ma. Aku aja suka lupa naro handphone dimana,”
“Iya, Sayang. Makanya jangan mode silent ya!”
“Iya okay, tapi kalau sekolah aku selalu silent, Ma. Soalnya ganggu belajar kalau sampai bunyi,”
“Ya getar aja sih,”
Anin tertawa karena obrolannya bersama Ninda tidak berakhir juga hanya karena Ninda sering dikecewakan oleh anaknya. Ketika Ninda hubungi, terkadang anaknya tidak langsung menjawab dan itu membuatnya cemas.
“Iya, Mama sayang. Udah dulu ya? Kali ini beneran udahan ya, aku mau makan nih. Mama udah makan?”
“Udah, okay selamat makan,”
Obrolan mereka berakhir dan Anin langsung meletakkan ponselnya di atas meja makan, kemudian Ia membersihkan tangannya sebelum akhirnya mulai mengisi perut.
“Wah udah lapar banget nih perut. Kenyang tidur, perut yang lapar,”
Anin bersantap dalam diam. Karena perutnya sudah benar-benar lapar dan lauk yang Ia makan sesuai dengan seleranya, jadi Anin benar-benar berhasil menghabiskan makanannya tanpa sisa sedikitpun. Sambil menunggu perutnya sedikit lapang, kurang lebih setengah jam kemudian Ia minum obat supaya suhu tubuhnya yang sempat tinggi semalam tidak kembali. Untuk saat ini suhunya masih lumayan hangat.
Makan sudah, minum obat sudah, Anin bingung harus melakukan apalagi. Ia ke ruang tengah dan melihat ke arah televisi yang menganggur. Akhirnya Ia milih untuk duduk di depan televisi yang sudah Ia nyalakan.
Sekitar satu jam Anin menikmati siaran televisi yang menampilkan persaingan tim bulutangkis Indonesia dengan negara tetangga. Anin menyukainya, Ia ikut merasa gugup ketika skor terus kejar-kejaran sampai akhirnya Indonesia berhasil meraih kemenangan.
Ditengah fokusnya menonton, Anin dikejutkan dengan suara bel dan juga ponselnya yang berdering.
“Eh Vindra,” gumamnya setelah melihat ada panggilan masuk dari Vindra. Tanpa banyak bicara Ia langsung menerima panggilan dari Vindra sambil beranjak mendekati pintu unit apartemen.
“Aku ada di depan, tolong buka pintu ya,”
“Okay, Vin,”
Anin langsung membuka pintu unit apartemennya. Yang datang bukan hanya Vindra, tapi ada Zeline juga yang langsung tersenyum menyapanya dengan hangat.
“Hai, Anin. Gimana keadaan kamu?”
“Hai, masuk-masuk,”
Anin langsung mempersilahkan tamunya untuk duduk di ruang tamu sampai lupa menjawab pertanyaan dari Zeline.
“Nin, gimana? Udah mendingan belum? Ayo aku antar ke rumah sakit kalau belum ada perubahan,”
“Tenang-tenang, demam aku udah agak turun kok,”
“Beneran? Syukur deh, aku senang. Kamu udah makan belum? Biar aku beliin. Tadi mau langsung beli cuma aku nggak tau kamu sekarang mau makan apa?”
Vindra datang langsung menanyakan keadaan Anin, mengajak ke rumah sakit bila memang kondisi Anin belum membaik, dan tidak lupa perhatian soal makan Anin.
“Sebagai sahabat yang baik, aku nggak mau ya kamu sakit lama-lama, Nin,”
“Aku udah makan, udah minum obat juga,”
“Beneran ‘kan?”
“Ya iyalah, masa aku bohong sih, Vin?”
“Ya udah bagus kalau gitu. Kirain kamu belum makan dan minum obat. Tapi makan nasi ‘kan?”
“Iya, aku makan nasi. Kamu cerewet banget sih, kayak cewek aja,”
“Ya untuk mastiin aja. Oh iya, ini Zeline bawa donat buat kamu. Dimakan ya donatnya, kamu tuh jangan sampai kelaparan, Nin. Jangan telat makan, jangan makan sembarangan, istirahat yang cukup. Jadi kesehatan kamu terjaga,”
“Kamu juga jaga kesehatan lah, jangan cuma ngomongin aku aja. Tapi yang namanya makhluk hidup biarpun udah jaga kesehatan sepintar apapun tetap aja ada kalanya sakit,”
“Ya tapi jangan suka mancing,”
“Ikan kali ah dipancing,”
“Yee dibilangin malah bercanda kamu ya. Aku serius, Nin. Pola makan yang benar, istirahat juga jangan sampai kurang. Pikiran harus tenang, jadi hidup sehat deh,”
“Hahahaha, okay siap, Pak dokter,”
“Emang aku dokter? Aku tuh ingetin kamu sebagai sahabat aja,”
“Sahabat nih?”
Pertanyaan Anin ambigu membuat Vindra dan Zeline kompak mengernyitkan kening mereka bingung. Ada yang salahkah dengan ucapan Vindra tentang sahabat? Sepertinya tidak.
“Iya sahabat ‘kan. Kita bukan musuh,”
“Keluarga dong, kita ‘kan udah kayak keluarga, bukannya gitu?”
“Iya, aku sebagai sahabat yang bisa kamu anggap keluarga nggak mau kalau kamu sakit,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments
Inasitinurhasanah
klu di duniA nyatA aku ogah pnya sahabat kya anin,,bahaya
2023-08-28
2