“Coba deh donatnya. Aku suka banget sama donat itu semoga kamu juga suka ya,”
“Makasih ya, nanti pasti aku makan. Aku pasti suka kok, aku suka yang manis-manis,”
“Ya udah, kamu ‘kan udah mendingan, aku sama Zeline pamit pulang ya. Biar kamu banyak istirahat jadi makin pulih. Yang penting buat aku, aku udah liat langsung gimana keadaan kamu. Jadi kalau Mama aku tanya, aku bisa jawab,”
Anin tertawa membayangkan ketika Vindra dicecar oleh mamanya. Kalau Vindra tidak tahu kondisinya, sang mama mungkin akan menegur sebab kesannya Vindra jadi tak acuh pada sahabatnya yang sedang tidak baik-baik saja.
“Aku sama Zeline pamit pulang ya, kamu banyak istirahat, Nin,”
“Eh bentar-bentar, kalian masa langsung pulang sih?”
Zeline dan Vindra sempat saling tatap beberapa detik. Adalah yang salah dengan keputusan mereka yang ingin langsung pulang setelah memastikan kondisi Anin lebih baik daripada sebelumnya dan juga memberikan donat sebagai santapan Anin nanti kalau lapar.
“Maksudnya tuh biar kamu banyak istirahat, Nin, makanya aku sama Vindra mau langsung pulang. ‘Kan yang penting kami udah ketemu kamu jadi tau keadaan kamu sekarang gimana,”
“Jalan-jalan yuk, Vin,”
“Hah?”
Orang yang sedang sakit, mendadak mau jalan-jalan jadi wajar rasanya kalau Vindra terkejut mendengar itu.
“Iya, jalan-jalan keliling Jakarta yuk, aku bosan di apartemen. Kalian ‘kan enak udah pulang pergi sekolah jadi udah liat suasana di luar, lah aku bosan hari ini di apartemen karena nggak sekolah,”
“Nin, kamu serius ngajakin jalan-jalan?” Tanya Zeline dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Anin. Jangan sampai Anin mengira kalau Ia tidak senang Anin mengajak Vindra berkeliling Jakarta. Bukan itu poinnya. Tapi rasanya tidak wajar Anin yang sedang sakit malah ingin jalan-jalan.
“Iya serius, aku pengen keliling Jakarta. Aku pengen Vindra temenin aku. ‘Kan dia anak Jakarta banget nih,”
“Tapi kamu ‘kan lagi sakit, Nin. Kamu yang bener aja. Masa lagi sakit malah mau jalan-jalan sih?”
“Nggak boleh emangnya? Aku pengen, soalnya bosan. Lagian ‘kan kita jalan-jalannya naik mobil, bukan jalan kaki. Kamu nggak mau temenin aku, Vin?”
“Hmm bukan nggak mau, Nin, tapi ‘kan—-“
“Aku siap-siap ya, tunggu bentar,”
Vindra langsung memegang lengan Anin yang akan bergegas ke kamarnya untuk mengganti baju. Vindra menatap Anin dengan kening mengernyit, sementara Anin mengangkat satu alisnya. Itu hanya terjadi beberapa detik, tapi langsung membuat Zeline mengalihkan pandangannya ke arah lain,
“Kamu serius?” Tanya Vindra sambil melepaskan lengan Anin dengan cepat. Barusan Ia spontan meraih lengan Anin yang akan pergi ke kamarnya senentara obrolan mereka belum selesai.
“Iyalah, Vin. Masa iya aku nggak serius?”
“Tapi kamu nggak apa-apa kalau pergi?”
“Santai, aku nggak bakal kenapa-napa kok. Emang kenapa sih? Aku ‘kan cuma demam sama pusing, dan aku juga udah mendingan, plus aku udah makan sama minum obat. Jadi ya nggak apa-apa dong kalau aku pengen jalan-jalan sebentar naik mobil,”
Vindra akhirnya menganggukkan kepalanya. Ia menatap Zeline yang hanya menjadi pendengar dan pengamat yang baik.
“Zeline kalau mau ikut ya ikut aja, Zel,” kata Anin.
“Aku pasti mau ikut, soalnya aku juga udah jarang ‘kan keliling Jakarta. Tapi emangnya kamu mau kemana, Nin?”
“Ya kemana aja, terserah Vindra deh. Ke Monas boleh, ke— pokoknya suka-suka Vindra,” ujar Anin menyerahkan keputusan pada Vindra dalam hal memilih tempat.
“Gimana? Mau ‘kan temenin aku jalan-jalan, Vin? Cuma bentar doang kok. Zeline gimana? Mau juga ‘kan? Biar seru bertiga gitu,”
Zeline seperti biasa akan mengangguk. Zeline lebih sering menjadi penyetuju saja karena selama ada Anin, maka Anin lah yang mengambil peran besar untuk menciptakan gagasan. Seperti kemarin ke kafe. Karena Anin, akhirnya mereka semua ke kafe sepulang sekolah dan baru pulang ketika hari sudah sore.
“Ya udah sana siap-siap. Aku tunggu di sini sama Zeline ya,”
“Okay tunggu sebentar ya,”
Anin langsung bergegas ke kamarnya untuk mengganti baju, sementara Zeline dan kekasihnya menunggu di ruang tamu.
“Zel,”
“Iya?”
“Kamu nggak apa-apa ‘kan?”
“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Kok kamu tanya begitu?”
“Ya takutnya kamu nggak beneran mau ikut tapi karena diajakin jadi terpaksa gitu,”
“Nggak kok, aku emang beneran mau ikut. Aku pengen jalan-jalan juga,”
“Tapi nggak capek ‘kan?”
“Nggak, cuma di dalam mobil aja jalan-jalannya, iya ‘kan?”
“Iya, aku nggak mau kemana-mana, cuma keliling doang ‘kan kata Anin. Lagian dia masih sakit. Jalannya ya pakai mobil aja. Kalau kecapekan yang ada bukannya sembuh malah parah. Sebenarnya aku agak kaget sih Anin mau jalan-jalan. Soalnya aku pikir dia tuh lebih milih di apartemen karena kondisi dia sekarang, tapi ternyata dia bosan dan ngajakin keluar. Ya udah, aku nggak bisa nolak. Emang perlu juga penyegaran, barangkali dia makin pulih,”
“Kamu baik banget. Salut deh aku,”
“Aku baik ke siapa aja, Zel,”
“Iya tapi kali ini kamu benar-benar definisi cowok yang super duper baik juga pengertian. Aku salut banget sama kamu pokoknya.
“Cowok baik jodohnya cewek baik. Jadi kalau aku baik, berarti jodoh aku juga baik, dan itu kamu. Makanya kita jadi deh,”
Zeline terkekeh salah tingkah. Vindra memang paling bisa membuat kekasihnya tersipu malu hanya dengan perkataan manisnya.
“Kamu udah lewat fase sakitnya datang bulan?”
“Udah, Alhamdulillah. Biasanya emang di hari pertama aja sih,”
“Kamu juga harus jaga kesehatan ya, Zel. Jangan sakit-sakit dong. Kalau kamus akit, aku nggak bisa tenang, kepikiran mulu, beneran deh,”
“Ah masa iya? Kepikiran terus? Emang kamu mikirin?”
“Yeee pake tanya lagi. Ya pasti mikirin lah, malah aku mikirin mulu,”
“Hai, ayo kita berangkat,”
Interaksi antara Zeline dan Vindra berakhir karena kedatangan Anin yang sudah berganti pakaian. Sebelumnya mengenakan satu set baju tidur, saat ini yang dikenakan oleh Anin adalah rok bermotif bunga-bunga kecil berwarna pink dan kaos berwarna putih polos.
“Nin, kita jalannya lakai mobil aja ya, jadi maksud aku tuh keliling pakai mobil, nggak usah keluar dari mobil,”
“Okay siap,”
“Aku punya alasan,”
“Iya aku tau kok,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments