“Beneran?”
“Iya, aku nggak apa-apa,”
“Ngobrol dong, Zel. Jangan diam aja. Atau kamu lagi nggak enak badan?”
“Aku baik-baik aja kok, bingung juga aku mau ngobrol apa sama kalian,”
“Nimbrung aja ntar juga kebawa deh pasti. Kadang aku sama Vindra emang suka keasikan ngobrol dan obrolannya juga suka nggak jelas ya, Vin?”
“Iya, namanya juga kita sama-sama manusia nggak jelas jadi obrolannya juga nggak jelas,”
“Dih, kamu yang nggak jelas, kalau aku sih jelas orangnya,”
“Kayaknya bakal berakhir debat nih, awas ada tukang bakso yang kelewatan lho kalau kalian malah debat, Vin, Nin,”
“Iya-iya jangan dilanjut ntar kita debat kayak kucing sama tikus,”
“Hahahah aku kucing, kamu tikus. Aku soalnya suka kucing,”
“Iya, yang jelek kasih aja ke aku, Nin,”
“Hahahahaha pasrah banget kamu,”
“Ya daripada berantem ‘kan,”
“Coba aku liat di internet deh yang jual bakso dekat sini dimana,”
Daripada jalan-jalan tidak jelas tujuannya kemana, belum tentu bertemu dengan penjual bakso, Zeline berinisiatif untuk melihat alamat penjual bakso terdekat dari mereka saat ini.
“Kamu jalannya pelan banget, Vin,”
“Ya ngapain buru-buru, biar lambat asal selamat, lagian ‘kan sambil liat bakso, kali aja ketemu supaya nggak pesan online suka udah dingin baksonya,”
“Ya makanya aku cari yang terdekat. Ada nih bakso Mang Paras. Cuma lima ratus meter dari sini, gimana menurut kalian? Mau nggak?”
Karena saat ini Zeline tidak hanya pergi sendiri, melainkan bersama dua orang lain, maka Zeline harus meminta persetujuan mereka lebih dulu. Kalau hanya Ia sendiri, sudah pasti Ia akan memilih makan di sana karena supaya cepat tidak perlu lagi bingung makan dimana.
“Okay itu aja deh. Gimana, Nin?”
“Iya-iya boleh,”
Zeline yang mengarahkan jalannya. Tidak lama kemudian mobil Vindra tiba di depan sebuah kios penjual bakso.
Melihat tempatnya yang lega, dan tidak begitu banyak pembeli, Zeline tersenyum senang. “Gini ‘kan enak,”
“Yok turun,”
Mereka bertiga keluar dari mobil dan setelah itu berjalan memasuki tempat yang bersih dan nyaman dengan aroma bakso langsung menyambut ketika mereka bertiga mendekat.
Setelah mereka bertiga duduk, langsung dihampiri oleh salah satu lelaki yang akan menanyakan pesanan mereka.
“Baksonya tiga mangkuk ya,”
“Lengkap pakai semuanya?”
“Aku nggak pakai toge ya, Pak, tapi yang lain-lainnya pake aja,” ujar Zeline yang punya pesanan khusus. Seperti biasa Zeline menghindari yang namanya toge.
“Minumnya apa?”
“Es campur ada ‘kan?”
“Nggak ada, Mba,”
“Yah,”
Vindra terkekeh melihat wajah kecewa Zeline. Vindra menghibur dengan mengusap puncak kepala Zeline sambil menyuruh Zeline untuk pesan yang lain.
“Kalau jus ada? Jus alpukat,” tanya Vindra.
“Oh kalau itu ada,”
“Yess, okay saya itu aja, Pak,” Mood Zeline seketika berubah. Yang tadinya sempat merengut, sekarang langsung sumringah lagi.
“Aku air putih, kamu apa, Vin?”
“Sama deh, aku air putih juga. Jadi bakso tiga, lengkap semuanya tapi yang satu nggak pakai toge, dan minumannya jus alpukat satu, air putih dua,”
“Baik, ditunggu sebentar ya,”
“Makasih, Pak,”
Zeline bertepuk tangan pelan. “Ternyata ada jus, aku pikir nggak ada juga. Kalau jus nggak ada, aku mau es teh, kalau es teh nggak ada ya terpaksa deh air putih kayak kalian,”
“Kalau nggak ada semua, pasti aku beliin es teh di luar buat kamu. Sekarang tetap mau es teh nggak? Itu ada minimarket,”
“Buat di rumah aku mau, nanti ke sana dulu ya,” ujar Zeline seraya menunjuk ke seberang dimana minimarket berada.
“Okay, nanti kita ke sana ya. Ingetin aja takutnya aku lupa,”
“Eh aku mau nanya deh, penasaran aja sebenarnya. Boleh ‘kan aku nanya?”
“Boleh, tanya aja, nggak ada larangan kok, Nin,”
“Hmm….jadi kalian tuh udah saling kenal sama keluarga masing-masing belum?”
“Udah, aku lumayan sering ke rumah Zeline,”
“Kalau Zeline gimana? Sering kamu bawa ke rumah? Berarti Mama Papa kamu udah kenal sama Zeline ya, Vin?”
“Iya udah kok,”
“Oh, iya sih dua tahun pacaran masa belum kenal ya,”
“Nah itu dia. Kalau pacaran ngumpet-ngumpet juga nggak bisa aku,”
“Aku pikir belum saling kenal gitu, tapi kalau dipikir-pikir ya pasti udah kenal ya, soalnya udah lumayan lama. Terus orangtua kalian setuju?”
“Sumpah, aku ada usaha dulu lho untuk bisa sama Zeline,”
Vindra melirik Zeline yang langsung terkekeh mendengar ucapannya. Zeline juga setuju dengan perkataan Vindra.
“Emang kenapa? Orangtua Zeline sudah didapetin ya hatinya?”
“Mereka baik banget dari awal aku deketin Zeline, tapi mereka tuh maunya aku sama Zeline temenan aja dulu. Tapi aku nggak mau soalnya kalau cuma teman, takut aku ditikung sama orang. Makanya aku usaha aja terus eh lama-lama ya dibolehin aja gitu pacaran dengan syarat pacar tapi layaknya teman aja, harus ingat batas, nggak boleh hilang fokus soal belajar, nggak boleh berlebihan, pokoknya ada aturan kayak gitu deh,”
“Bagus dong orangtuanya Zeline jadi bisa liat usaha kamu, Vin,”
“Ya tapi aku sempat takut nggak bisa pacarin Zeline. Mungkin karena mereka aksian kali ya, jadi ya udah deh bolehin aja, Hahaha,”
“Nggak lah, mereka percaya sama kamu makanya dibolehin,”
“Nggak dipercaya juga sih, tetap kok orangtuanya Zeline tuh protective banget, nggak percayain anaknya seratus persen ke aku lah, wajar sih namanya juga anak cewek satu-satunya, udah gitu masa depan masih panjang. Ya benar kata mereka pacaran kayak temenan aja,”
“Lulus SMA kalian mau nikah?”
“Hah? Nikah? Nggak lah, Anin. Ya ampun, aku nggak siap,”
Zeline langsung menggelengkan kepalanya. Ia tidak siap kalau harus menikah begitu lulus sekolah dan apa kata orang tuanya nanti. Mereka begitu menginginkan Zeline mengejar pendidikan setinggi mungkin. Baru selesai sekolah menengah atas sudah mau nikah, orang tua Zeline pasti berpikir Zeline sudah puas hanya dengan pendidikan SMA nya saja.
“Orangtua aku bersedia biayain pendidikan aku jadi ngapain aku mikirin nikah dulu? Ya sayanglah, mending aku gunain kesempatan yang dikasih ke aku itu untuk ngejar pendidikan dulu. Nikah mah gampang,”
“Aku juga sama, nggak dulu deh kalau nikah lulus SMA orang aku aja masih dikasih uang jajan sama orangtua, gimana ceritanya mau nikahin anak orang? Mau dikasih makan apa istri aku nanti? Cuma cinta? Mana bisa, hidup ‘kan harus realistis. Lagian mana mau Zeline nikah sama cowok pengangguran,”
Zeline dan Anin terkekeh. Mereka sama-sama perempuan dan membenarkan apa yang dikatakan Vindra. Mau setampan dewa Yunani, mau cintanya seluas dan sebesar samudera, kalau tidak punya penghasilan dan masih bergantung pada orangtua, mereka tidak akan bersedia.
“Baksonya udah datang,”
Obrolan mereka berakhir ketika bakso dan minuman disajikan di hadapan mereka. “Jangan lupa baca doa dulu, Nin,” ucap Zeline mengingatkan Anin yang sudah mau mencoba kuah.
“Ah iya aku hampir lupa,”
Mereka bertiga berdoa, setelah itu mulai bersantap. Setelah mencoba rasanya, benar-benar diluar dugaan.
Kompak saling menatap satu sama lain dan mata mereka berbinar “Enak ya,” kompak juga berkata seperti itu.
“Enak ya, bisa balik lagi nih ke sini,”
“Tempatnya juga nyaman,”
“Kamu nyindir aku ya karena tadi aku pengen di tempat makan bakso yang tadi itu?”
“Aduh, Nin, aku nggak ada maksud nyindir kamu. Ngapain aku nyindir-nyindir? Ini ‘kan menurut penilaian aku aja. Selain baksonya enak, tempatnya juga nyaman,”
“Udah-udah! Zel, fokus makan aja,”
Zeline menatap Vindra dengan kening mengernyit kesal, tapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Entah dimana letak kesalahannya. Ia hanya menikah kalau selain baksonya enak, tempatnya juga nyaman, luas, sehingga tidak salah mereka makan di sana dan lain kali bisa kembali makan di tempat yang sama. Tapi Anin malah salah pengertian. Anin mengira Ia menyindir Anin yang tadi sempat mau makan di tempat lain. Setelah Ia jelaskan bahwa Ia tidak menyindir Anin, Ia malah mendapat peringatan dari Vindra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 229 Episodes
Comments
Suherni 123
dasar Anin
2023-10-10
0