Sesuai dengan janji Iyan, dia mengajak Beeya ke salah satu mall besar. Dia terus menggandeng tangan sang istri.
"Kamu mau apa?"
Beeya menggeleng. Dia masih ingin berjalan-jalan dan melihat-lihat saja. lyan mengikutinya tanpa protes. Hingga langkah Beeya terhenti di sebuah toko perlengkapan bayi.
"Mau beli?"
"Boleh liat-liat dulu gak, Ay?" Iyan pun mengangguk.
Iyan berharap, istrinya akan lebih menerima kenyataan akan anugerah Tuhan yang besar. Beeya terlihat bahagia ketika melihat baju-baju mungil dan lucu. Matanya berbinar.
"Mau beli?"
"Emang boleh?"
"Tentu." Beeya tersenyum dan mencium pipi Iyan. Dia memasukkan baju yang sangat lucu yang didominasi baju laki-laki.
"Kok baju lelaki semua?" Iyan heran.
"Aku suka ini, Ay."
Iyan hanya mengangguk. Apapun yang istrinya mau akan dia belikan. Dia berharap perlahan-lahan hati istrinya akan luluh.
Total belanjaan yang tidak sedikit membuat Iyan hanya tertawa. Namun, Iyan merasa sangat bahagia. Beeya pun mulai lapar dan memilih restoran di mana dia ingin makan. Sayangnya, baru sesuap saja perutnya langsung menolak.
Iyan berpindah tempat dan kini berada di samping istrinya. Dia mengusap lembut perut sang istri dan sontak rasa mual itu mulai hilang.
"Makan lagi, ya. Kasihan anak kita." Ucapan lembut Iyan mampu membuat Beeya mengangguk setuju.
Iyan dengan telaten menyuapi istrinya. Walaupun hanya bisa makan sedikit, Iyan sangat bersyukur.
"Mau apa lagi?"
"Aku ingin es krim yang asem."
Iyan tersenyum ketika melihat istrinya memakan es krim dengan begitu lahap. Sudah dua hari ini tidak ada ucapan aneh yang keluar dari mulut Beeya. Selesai jajan, mereka menuju supermarket. Apa yang menurut Beeya enak dia masukkan ke dalam troli hingga membuat Iyan menggelengkan kepala. Total belanjaannya pun cukup menguras isi dompet.
Tibanya di rumah, Beeya segera masuk ke kamar dan duduk bersandar di sofa. Iyan menghampiri istrinya dengan membawa vitamin juga gelas yang berisi air. Seketika wajah Beeya berubah.
"Minumlah! Aku ingin ibu dan anak aku sehat."
Beeya belum mau mengambil obat dan air tersebut. Hingga terdengar helaan napas kasar dari mulut Iyan dan seketika kepala Beeya menunduk dalam.
"Kamu itu dipertemukan dengan orang-orang baik yang menasihati kamu akan anugerah Tuhan. Apa nasihat itu tidak mampu mengetuk hati kamu?"
Iyan berkata dengan begitu tegas. Beeya pun tak berani menegakkan kepala. Kalimat yang diucapkan oleh Iyan sangatlah pedas dan tajam.
"Sekarang terserah kamu deh," ujar Iyan.
"Kalau kamu ingin dia tumbuh sehat, silahkan minum vitamin itu."
Iyan meletakkan vitamin itu di atas meja. Iyan sudah tidak ingin membujuk lagi. Dia lelah menahan sabar sedari tadi. Sekaligus dia ingin tahu apa istrinya akan meminum vitamin tersebut atau tidak.
"Aku akan meminumnya, Ay. Jangan tinggalin aku."
Langkah Iyan pun terhenti ketika mendengar suara Beeya. Dia menoleh ke arah belakang di mana Beeya sudah menelan vitamin tersebut. Iyan menghampiri Beeya dan duduk di samping istrinya. Dia memeluk tubuh Beeya dengan begitu erat.
"Itu anak kita, kita berdua harus menjaganya. Penyesalan itu tidak datang di awal, Chagiya."
Iyan tahu istrinya sulit untuk menerima. Dia juga memiliki kesabaran yang ada batasnya. Namun, jika dia terus mengedepankan ego masalah ini tidak akan pernah selesai.
"Ay, apa aku boleh meminta sesuatu?" tanya Beeya kepada Iyan.
"Apa?"
"Jangan beri tahu kabar ini dulu kepada keluarga kita. Aku takut, jika aku--"
"Iya. Aku tidak akan memberitahu mereka."
Ketika Beeya terlelap, Iyan memilih untuk keluar kamar. Dia berdiam diri di halaman samping rumah di mana para sahabat tak kasat matanya berkumpul di sana.
"Begini ya jadi anak yatim piatu, gak ada tempat untuk mengadu."
Para sahabat Iyan yang tak terlihat hanya diam. Mereka tak banyak berkata. Hanya memandangi Iyan yang terlihat begitu menanggung beban berat. Pria itupun menundukkan kepala dengan begitu dalam dengan tangan yang memeluk kedua kakinya.
Jika, tengah seperti ini sosok seorang ibu lah yang dia butuhkan. Jangankan kepada manusia, kepada makhluk tak kasat mata pun Iyan tidak bisa terbuka. Dia seakan memendam semuanya seorang diri. Hingga ponselnya berdering, dan sang kakak menghubunginya.
"Iya, Kak Echa."
...
"Iyan sama istri Iyan baru nyampe Jakarta."
...
"Kakak jangan khawatir. Iyan baik-baik aja kok. Itu hanya perasaan kakak aja."
Iyan menghela napas kasar ketika sambungan telepon itu berakhir.
"Kenapa manusia senang sekali berpura-pura?"
Si kerdil sudah membuka suara. Iyan hanya tersenyum dan beranjak dari sana. Hanya kepada sang ayah dia bisa terbuka akan hal apapun. Tibanya di kamar, dia melihat sang istri tertidur dengan begitu lelap. Dia tersenyum dan mengecup kening Beeya. Juga mengusap lembut perut istrinya.
"Terus yakinkan Mama ya, Nak. Ayah yakin Mama itu sayang sama kamu."
.
Selama dua hari ini Beeya fokus pada layar segi empatnya. Dia banyak menonton tentang kehamilan. Perkembangan janin dan segala macamnya. Air matanya menetes ketika dia melihat janin yang setiap hari semakin bertumbuh.
"Apa kamu juga seperti itu?" tanya Beeya kepada perutnya.
Tengah asyik menonton tayangan tersebut, sang kakak ipar masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.
"Hayo! Lagi ngapain?"
Beeya terkejut mendengar suara Riana. Riana tersenyum ketika melihat tontonan Beeya.
"Masa kehamilan itu adalah masa yang paling membahagiakan." Riana malah bercerita. Beeya terlihat antusias mendengarkan.
"Rasanya Kak Ri ingin kembali mengandung, tapi tidak dibolehkan oleh Bang Aksa."
"Kak, bukannya mengandung itu hal yang berat? Selama sembilan bulan kita membawa anak yang ada di dalam perut kita." Beeya mencoba menanyakan hal tersebut.
Riana tersenyum. Dia mengusap pundak Beeya dengan begitu lembut. Dia pun menggelengkan kepalanya pelan.
"Memang berat, tapi ketika sudah terbiasa semuanya akan terlihat menyenangkan. Dari ngidam, mual, muntah, susah jalan, badan gendut dan banyak lagi. Namun, semuanya itu akan terbayarkan ketika melihat seorang bayi merah lahir dengan memperdengarkan tangisannya yang nyaring. Kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata."
Bukan hanya Riana yang mengatakan itu. Wanita di seluruh dunia mengatakan hal yang sama. Beeya kemarin menonton tayangan tersebut hingga membuat dia menangis sesenggukan.
"Pengalaman Kak Ri, ketika Kak Ri melahirkan Agha ... ada kesedihan juga kebahagiaan yang datang bersamaan. Kembaran Agha harus jadi korban karena tidak berkembang. Harusnya Kak Ri mendapatkan dua anak sekaligus, tapi Tuhan berkehendak lain." Mata Riana mulai berair.
Beeya memeluk tubuh Riana. Dia sangat tersentuh mendengar cerita Riana. Riana adalah wanita hebat sama seperti kakak iparnya yang lain, Echa.
"Kak Ri berpesan kepada kamu. Jika, suatu saat nanti kamu diberikan rejeki oleh Tuhan, jaga rejeki itu. Kehadiran seorang anak di dalam kehidupan kita akan membawa perubahan yang luar biasa pada diri kita."
Beeya tersenyum. Perkataan Riana sama seperti ibu muda lainnya. Dia melihat banyak wanita yang masih muda sudah memiliki anak. Mereka tidak terbebani, mereka malah happy.
"Bersyukurlah ketika kita diberi kepercayaan lebih cepat sama Tuhan. Lihatlah Kak Echa, Kak Echa dan Bang Radit harus menunggu. lebih dari dua tahun untuk memiliki momongan."
Nasihat dari orang-orang yang bertemu dengannya seperti sudah disetting alam. Menasihati dalam kondisi yang begitu tepat.
"Jangan sia-siakan ketika Tuhan memercayakan rejeki-Nya kepada kamu dan Iyan."
Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mereka yang secara tidak langsung menasihati Beeya, membuat Beeya berpikir lebih terbuka. Tanpa sepengetahuan Iyan, dia menemui psikiater untuk bercerita tentang permasalahannya.
Dia menceritakan keresahan, kegundahan, ketakutan yang dia alami. Perlahan, mindset Beeya pun lebih terbuka. Apalagi psikiater tersebut memberikan edukasi kepada Beeya perihal kehamilan.
Hari ini, waktunya Beeya memeriksakan kandungannya lagi. Iyan tak akan melewatkan itu. Dia akan mengantar Beeya. Hampir sebulan ini Beeya maupun Iyan tak banyak berbincang. Iyan yang memang selalu pulang malam karena pekerjaan yang menumpuk. Juga Beeya yang tengah fokus menyembuhkan traumanya tanpa sepengetahuan suaminya.
Ketika dokter memeriksa kandungan Beeya. Ada hal yang membuat tubuh mereka berdua menegang.
"Dengarkan detak jantungnya."
Beeya menangis tersedu. Begitu juga dengan Iyan yang menahan air mata dengan memeluk tubuh Beeya. Ini bukan hal yang aneh bagi seorang dokter. Apalagi pasangan suami istri yang tengah dia layani masih sangat muda. Juga anak pertama untuk mereka.
.
Beeya menunggu Iyan yang masih di ruang kerja. Dia sebenarnya sudah mengantuk, tapi dia mencoba untuk menahan karena sang suami belum juga masuk ke kamar. Ketika dia ingin memejamkan mata, suara pintu terbuka dan sang suami menghampirinya.
"Belum tidur?"
"Nunggu kamu." Iyan tertawa.
Namun, dia masuk ke kamar mandi dulu untuk membersihkan wajah dan tubuhnya. Lima belas berlalu, Iyan keluar dari kamar mandi dan melihat Beeya yang tengah menguap.
"Ada apa?"
Iyan sudah naik ke atas tempat tidur. Dia mengusap lembut ujung kepala sang istri. Menarik tangan Beeya ke dalam pelukannya.
"Sudah minum vitamin?" Beeya pun mengangguk.
"Ay," panggil Beeya.
"Hem."
"Aku ingin membicarakan kehamilan aku."
Deg.
Iyan kira semuanya sudah selesai, ternyata salah besar. Beeya sudah menatap serius wajah Iyan.
"Apa kamu ingin menggugurkannya?"
Iyan tak mau berlama-lama berbasa-basi. Beeya menggeleng dengan cepat. Dia menggenggam tangan sang suami dengan tatapan begitu dalam.
"Aku ingin mempertahankannya."
Iyan terdiam. Dia tidak bereaksi apapun. Dia seperti mimpi.
"Semakin ke sini aku merasa bahagia dia hidup di rahimku." Iyan belum bisa menimpali. Dia nampak tak percaya.
"Selama sebulan ini aku mempelajari semuanya. Aku juga pergi ke psikiater. Akhirnya, aku mengerti apa yang ibu-ibu lain rasakan ketika di perutnya hadir calon buah hati."
Iyan menitikan air mata. Dia tak bisa berkata. Tenyata banyak hal yang tidak dia ketahui selama sebulan ini perihal istrinya. Beeya tersenyum menatap sang suami. Tangannya mengusap lembut air mata yang sudah membasahi wajah Iyan.
"Maafkan aku, Ay. Aku udah egois dan selalu menuntut kamu untuk mengerti aku. Sekarang, aku juga ingin mengerti kamu. Mengerti keinginan kamu apa."
"Di lubuk hati kamu terdalam pasti kamu merasa bersalah kepada keluarga kita yang sangat menanti kehadiran anggota keluarga baru. Kamu juga pasti lelah karena terus berdusta kepada mereka. Maafkan aku, Ayang."
...***To Be Continue***...
Komen dong ..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Indrijati Saptarita
beeya... keren... semua org pasti bahagia menyambut kehamilan mu...
2023-05-28
1
Cristella Tella
akhirnya beeya mau nerima jga.... gk sbar nunggu iyan junior lhir
2023-05-26
0
Ltfh
alhamdulillahhh.... sadar juga silebah.. lanjutttt
2023-05-26
0