"Bia, sudah kamu pikirkan ini secara baik-baik, Nak?" tanya Almeera dengan suara lirihnya.
Bia membalikkan tubuhnya. Dia menatap sosok wanita yang sampai detik ini selalu menemaninya. Sosok wanita yang melahirkannya di dunia itu masih terlihat segar bugar meski kini usianya memang sudah tak lagi muda.
Wanita yang cantik, kuat dan tangguh itu kini hanya bisa duduk di kursi roda. Kakinya sudah tak sekuat dulu, Almeera sudah tak bisa berjalan dengan lancar dan membuat ke empat anaknya meminta dirinya duduk di kursi roda.
"Sudah, Bu," sahut Bia dengan pelan.
Wanita cantik dengan mata yang membengkak karena terlalu memikirkan putrinya itu mendudukkan dirinya. Dia memegang kedua tangan Almeera dan menciumnya.
"Aku tak mau kehilangan Sea, Bu. Jika dia terus berada disini. Maka, Sea tak akan bisa jauh dari teman-temannya," kata Bia dengan pasti dan membuat siapapun mengerti jika keputusannya tak bisa diganggu gugat.
Akhirnya semua keluarga Bia setuju dengan keinginannya. Semua keluarga mendukung, baik yang ada disini dan yang ada di Indonesia. Bia sendiri juga yang menyiapkan semuanya.
Tempat anaknya akan menjadi relawan, desa yang dia pilih dan semuanya sudah diatur sebaik mungkin. Dirinya benar-benar ingin yang terbaik untuk Sea.
Mungkin selama ini Sea terlalu dimanja oleh semua orang dan membuatnya menjadi keras kepala. Apalagi besar tanpa seorang ayah, membuat Sea sering marah dan menangis menanyakan keberadaan ayahnya.
Apalagi kelahiran Sea yang prematur, membuat Bia tak pernah marah dengan apa yang Sea lakukan. Apalagi wajah Sea yang benar-benar duplikat ayahnya, membuat Bia semakin tak bisa menolak keinginan anaknya.
Apa yang Sea lakukan. Apa yang Sea inginkan, akan Bia lakukan. Hingga dirinya bekerja keras menjadi dokter, mencoba membuka praktek sendiri untuknya dirumah juga. Semua yang dia lakukan hanya demi putrinya.
"Bunda, plis! Sea sudah sehat!" Seru Sea dengan mata memutar malas saat ibunya meletakkan obat di atas meja.
Saat ini mereka sudah pulang tapi kondisi Sea masih harus dipantau untuk satu bulan ke depan.
"Kamu harus minum obatmu secara rutin, Sea. Setelah itu Bunda akan menyiapkan keberangkatan kamu ke Indonesia," ucapnya yang membuat Sea menghela nafas pelan.
Dia tak mampu mengatakan apapun lagi. Sea hanya bungkam lalu mulai meraih obat itu dan meminumnya. Bagaimanapun dirinya menolak, bagaimanapun dirinya membujuk. Sea sangat tahu jika keputusan bundanya kali ini tak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
"Apa Bunda serius mengirimku ke Indonesia?" tanya Sea pada akhirnya.
Bia yang saat itu hendak merapikan piring kotor bekas sarapan mereka tentu menghentikan gerakannya.
"Bunda serius," jawab Bia dengan tegas.
Sea mendongak. Dia membalas tatapan ibunya dengan pandangan yang benar-benar berbeda.
"Bunda hanya ingin kamu mengerti bagaimana arti hidup yang sebenarnya, Sea. Hidup tak selamanya tentang uang untuk bahagia. Bukan hanya tentang minuman untuk menenangkan pikiran. Kamu harus belajar jika banyak hal lain yang mampu membuatmu bahagia dan tenang di luar sana."
Sea tak mendebat. Dia hanya kembali menatap piringnya dan melanjutkan sarapan. Hal itu tentu membuat Bia kasihan. Namun, dia tak akan mundur. Dirinya harus mulai merubah putrinya meski mungkin dibilang terlambat.
"Bunda mengirimmu kesana bukan karena Bunda membencimu, Sea," lanjut Bia dengan mengusap rambut putrinya yang berwarna pirang. "Bunda hanya ingin kamu belajar di sana selama kamu cuti kuliah. Oke?"
"Iya, Bunda."
...****************...
Akhirnya setelah satu bulan penuh dia berada dirumah. Kini kedua kaki itu menginjakkan kakinya di negara yang baru pertama kali dia datangi. Sebuah negara yang dikenal sebagai negara yang memiliki dua musim.
Negara yang dikenal dengan nasi sebagai makanan utamanya. Negara yang adat istiadat dan semua keberagamannya berbeda dengan negara yang dia tinggali sebelumnya.
Kakinya melangkah dengan tenang. Matanya menatap ke kanan dan kiri sambil mencari seseorang yang dikatakan oleh bundanya untuk menjemputnya.
Dirinya juga sesekali menatap ke arah ponsel yang dia pegang. Dia menunggu panggilan seseorang tapi tak kunjung datang.
"Dimana dia?" gumamnya dengan pelan sambil mencari tempat untuk menunggu.
Dia menatap ke pergelangan tangannya sebentar. Matanya melihat jarum jam yang menunjukkan pukul delapan pagi.
"Dokter Sea?" panggil seseorang yang membuat Sea mendongak.
Dia menatap seorang pria yang berdiri disamping sebuah mobil dan membuatnya menarik kopernya untuk mendekati pria tersebut.
"Apa benar anda Dokter Sea?" tanya pria itu lagi ketika Sea sudah mendekat.
"Iya benar," sahut Sea dengan mengangguk.
"Baiklah. Ayo masuk, Dokter!"
Sea tak banyak bicara. Dia perlahan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya. Sebuah mobil Jeep yang sangat amat besar itu terlihat begitu nyaman. Dia duduk dengan tenang dikursi depan tepat di samping kursi kemudi.
Perlahan mobil itu mulai melaju meninggalkan Bandara Surabaya. Bandara yang baru kali ini dia datangi dan akan menjadi kenangan pertama untuknya.
"Kenalkan, nama saya Star, Budok," ucap pria yang duduk sambil mengemudi dengan tenang. "Saya adalah seorang tentara dan keamanan disini."
Sea hanya diam. Dia menatap Star yang bicara padanya dengan begitu santainya.
"Saya juga diperintah oleh Ketua Palm untuk menjemput Anda," lanjutnya yang membuat Sea bingung.
"Ketua Palm?" tanya Sea dengan kening berkerut.
Star menganggukkan kepalanya.
"Siapa dia?"
"Ketua Palm adalah rukun warga di Desa Guci. Beliau adalah orang yang disegani disana," cerita Star dengan panjang lebar.
Sea akhirnya mengangguk. Dia yang memang tak banyak bicara pada orang yang tak dikenalnya tentu merasa canggung.
Sea akhirnya mengalihkan tatapannya. Dia menatap jalanan yang terlihat padat. Hal itu entah kenapa suasananya mulai terasa berbeda dari negara tempat lahirnya.
"Oh iya, Budok."
"Panggil saja Sea," ujar Sea yang merasa tak enak dengan panggilan Star padanya. "Dan jangan terlalu formal, sepertinya usia kita tak jauh berbeda."
Star mengangguk. "Sea, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
Sea mengangguk. Dia menatap Star yang sepertinya tengah memendam sesuatu yang ingin dia bicarakan padanya.
"Kenapa Dokter Sea memilih menjadi relawan di Desa Guci?" tanya Star dengan pelan.
Sea terlihat susah menjawabnya. Dia menarik nafasnya dengan pelan karena bingung harus menjawab apa.
"Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu tapi Desa Guci adalah desa yang terpencil," cerita Star dengan pelan. "Disana tak ada listrik. Kita masih menggunakan lampu minyak tanah. Lalu mandinya pun masih di sungai. Hanya beberapa tempat saja yang ada kamar mandinya."
Sea menelan ludahnya paksa. Dia menatap ke depan dengan pandangan dan bayangan seperti apa Desa Guci itu. Dirinya benar-benar harus siap dengan situasi yang baru untuknya.
Situasi yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya.
"Sebenarnya aku datang kemari karena aku dihukum," kata Sea dengan jujur.
Dia mengalihkan tatapannya. Menatap Star yang ternyata juga sedang menatapnya.
"Dihukum?" ylang Star dengan bingung.
Sea mengangguk. Dia kembali menatap ke depan dengan pandangan yang benar-benar pasrah.
"Ya karena kesalahanku, aku harus mau menjadi relawan di desa ini untuk enam bulan ke depan!"
~Bersambung
Udah siap belum buat ketemu sama guru relawan super ganteng yuhuuuu.
Hihi jangan lupa like dulu terus komen. Biar author semangat updatenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 19 Episodes
Comments
Lanjar Lestari
benar deh ini g ada mas Shaka atau mas Semi yg kejar mb Bia sampai New York Sea sdmoga ketemu papamu
2024-01-01
0
Kiki Sulandari
Sea....selamat memulai petualanganmu di Indonesia🥰🥰🥰
2023-08-03
0
Nur Janah
selamat datang di kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sea
2023-06-14
0