Suara ranjang pasien yang didorong dengan cepat serta langkah kaki para suster terdengar di seluruh koridor rumah sakit. Seorang gadis yang tak sadarkan diri dengan alat bantu pernapasan itu terbaring lemah di sana. Ditambah suara tangisan dan panggilan seorang wanita yang baru saja mendapatkan kabar dan langsung ke rumah sakit membuat suasana semakin tegang.
"Sea!" panggil seorang wanita dengan air mata yang menetes membasahi wajahnya.
"Tunggu disini, Bi. Biarkan Dokter merawat Sea dulu!" kata Abraham memeluk Bia yang ingin menyusul Sea ke dalam.
Bia, seorang ibu yang berjuang demi anaknya itu menangis di pelukan kakak pertamanya. Rasa takut itu menghantui pikirannya saat ini. Ketakutan ketakutan itu kembali muncul dan membuat Bia menggelengkan kepalanya.
"Tenanglah, Sea adalah anak yang kuat," ujar Abraham menenangkan sambil mengusap punggung adiknya.
Dia membawa adiknya itu ke kursi tunggu. Mendudukkan Bia di sana dan merapikan jilbab yang dipakai adiknya itu.
"Aku takut, Bang. Aku takut Sea akan meninggalkanku," lirih Bia dengan menunduk dan air mata yang terus mengalir dari ujung matanya.
Abraham memahami ketakutan itu. Dia paham dengan apa yang dipikirkan adiknya. Perlahan dirinya menarik tangan Bia lalu memegangnya dengan hangat.
"Sejak lahir, Sea selalu mampu melewati semuanya bukan?" kata Abraham dengan tersenyum. "Bahkan terlalu cepat ingin melihat dunia, dia lahir duluan sebelum waktunya."
"Tapi dia lahir karena aku terlalu stress dan itu yang membuat keadaan jantung Sea tak baik," lanjut Bia yang masih ingat betul apa yang terjadi di masa lalunya dan membuat hidup anaknya bergantung pada obat.
"Sea harus mengkonsumsi obat setiap hari agar jantungnya tak kambuh. Tapi… mungkin dia juga lelah dengan keadaan ini dan membuatnya tak mau meminumnya lagi," lirih Bia mengatakan apa yang memang terjadi di antara mereka.
"Ini bukan salahmu, Bi. Sea lahir lebih dulu memang sudah takdirnya. Tuhan mungkin ingin bilang, bahwa kamu tak sendiri dan masih punya Sea," kata Abraham dengan pelan lalu memeluk adiknya dari samping.
Abraham tahu yang dibutuhkan Bia saat ini hanya penguat. Saat ini yang dibutuhkan adiknya itu hanya support dirinya dan keluarganya.
"Keluarga pasien?" panggil seorang dokter dengan pakaian berwarna hijau yang baru saja keluar dari ruang UGD.
Bia dan Abraham tentu langsung terjaga. Mereka menghampiri dokter yang berdiri di dekat pintu tersebut.
"Bagaimana, Dokter?"
"Bagaimana dengan putriku, Dok?" Tanya Bia dengan wajah paniknya.
"Putri anda baik-baik saja, Dokter Bia. Hanya saja, dia benar-benar harus berhenti minum. Jantungnya tak kuat lagi jika dia terus minum seperti ini," ucap Dokter menjelaskan keadaan Sea dengan jujur. "Pasien juga harus tetap meminum obatnya untuk menjaga jantungnya."
Bia terlihat lemah tapi setidaknya dia lega. Lega jika putrinya baik-baik saja.
"Terus apa yang harus kami lakukan, Dok?" tanya Abraham dengan tanggap.
"Pasien harus kembali melakukan perawatan untuk jantungnya, istirahat yang cukup, minum obat dan jangan minum-minuman lagi," kata Dokter menjelaskan.
...****************...
Entah sudah berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Entah sudah berapa dirinya tidur, perlahan mata yang semula terpejam kini mulai terbuka. Meski remang-remang dia mampu melihat langit-langit kamar yang berwarna putih dan juga aroma obat dan infus yang membuatnya sadar jika dirinya berakhir di rumah sakit.
Namun, samar-samar telinganya mendengar pembicaraan dua orang yang sangat dia kenal. Suara yang sangat dia hafal karena memang selalu ada bersamanya.
"Apa kamu masih memikirkan dia, Bi?" tanya Abraham pada adiknya itu.
"Siapa yang bisa melupakannya, Bang?" tanya Bia balik dengan nada suara yang sumbang.
Sea tentu mampu mendengarnya. Sea tentu jelas sadar jika ibunya masih memikirkan seseorang. Seseorang yang tak ia tahu wajahnya, seseorang yang tak pernah dia tahu namanya juga.
"Karena dia, Sea hadir di antara kita," lanjut Bia yang membuat tangan Sea mengepal kuat di dalam selimut.
Perlahan tak mau mendengar ibunya sedih dan menangis. Sea akhirnya membuat gerakan. Dia mulai menarik nafasnya begitu dalam dan menggerakkan tangannya yang membuat Abraham dan Bia lekas mendekat.
"Kamu sudah sadar, Nak? Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Bia dengan wajah yang benar-benar masih dihantui rasa takut.
"Mana yang sakit? Bilang sama Bunda. Bunda akan panggilkan dokter!"
"Bia Bia tenanglah. Lihat putrimu juga khawatir padamu," kata Abraham menenangkan adiknya yang benar-benar panik tersebut.
Bia meneteskan air mata. Dia mengusap kedua sisi wajah putrinya dengan pelan.
"Maafkan Bunda ya, Nak. Bunda benar-benar tak bisa menjagamu dengan baik," ujar Bia dengan lirih.
Sea mengangkat tangannya. Dia menghapus air mata ibunya dengan pelan.
"Kenapa Bunda cengeng sekali? Sea masih disini, Bunda," ucap Sea dengan nada suara yang kesal.
"Bunda hanya takut. Bunda khawatir kamu… "
"Pergi ninggalin, Bunda?" lanjut Sea yang membuat Bia terdiam cukup lama.
"Sea ini punya Bunda dokter. Sea juga mahasiswa kedokteran. Sea tahu apa yang harus Sea lakukan, Bu!"
"Tapi kamu sering tak mendengarkan Bunda. Kamu selalu keluar malam dan bermain dengan teman-temanmu. Kamu tak menjaga kesehatan kamu dan mendengar nasehat Bunda agar tetap minum obat!"
"Sea bosan!" jawabnya dengan jujur. "Sea capek minum obat terus, Bunda."
"Tapi itu satu-satunya jalan agar jantungmu tetap sehat, Nak!"
Sea hanya mampu mendengus. Dia benar-benar selalu kalah jika berdebat dengan bundanya itu. Sampai akhirnya perdebatan itu berakhir dengan seorang suster yang baru saja masuk ke dalam ruangan Sea.
"Permisi!"
"Ya, Suster?" sahut Abraham menjawab.
"Dokter memanggil keluarga pasien sekarang!" kata Suster menyampaikan maksud kedatangannya.
Akhirnya Bia dan Abraham mengangguk. Dia mendekat ke arah putrinya dan mengusap kepalanya.
"Tunggu disini sebentar ya. Bunda akan ke dokter sebentar," pamit Bia lalu keduanya mulai pergi meninggalkan ruangan Sea dan menuju ke ruangan dokter.
"Sebelumnya saya harus mengatakan dengan jujur kondisi jantung putri anda, Dokter Sea," ucap dokter yang menangani Sea sejak lahir.
"Terlalu banyak mabuk, tak meminum obat membuat jantung Sea tentu tak baik. Ini hasil rontgen jantung Sea sekarang," Ujar dokter sambil menyerahkan lembaran hitam yang berisi gambar foto keadaan jantung Sea.
"Jika Sea terus minum-minuman. Jantungnya akan rusak dan dia membutuhkan jantung baru," kata dokter yang membuat tangan Bia gemeteran.
"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanya Bia dengan wajah yang benar-benar khawatir.
"Sebagai teman kerjamu, Bi," ucap Dokter dengan bahasa yang tak formal lalu menatap ke arah teman kerjanya itu dengan pandangan prihatin. "Jauhkan putrimu dari pergaulan bebasnya. Kirim dia ke tempat dimana dia tak bisa minum-minuman lagi untuk sementara waktu!"
Kata kata itu terus terngiang di kepala Bia sampai perempuan dengan wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah berkepala hampir empat itu sampai di ruangan putrinya. Dia menatap ke arah sosok Sea yang terbaring lemah dan sedang menatapnya dengan pikiran mulai memutuskan.
"Jangan gegabah dengan keputusan kamu, Bi. Ingat! Ini demi masa depan Sea!" kata Abraham pada adiknya yang mulai berjalan ke arah putrinya itu.
"Sea," panggil Bia pelan yang membuat Sea menatap bundanya.
"Ya, Bunda?"
"Setelah keluar dari rumah sakit. Kamu akan Bunda kirim ke Indonesia dan menjadi dokter relawan selama enam bulan di tempat yang sudah Bunda tentukan, Sea!"
~Bersambung
Ning nung, yuhuuu.
Mulai mulai dateng nih, pulang negara Mbak Sea yakan.
Jangan lupa like, komen dan masukkan favorit yah. Biar kalian gak ketinggalan jadwal updatenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 19 Episodes
Comments
Lanjar Lestari
penasaran kemana mas Shaka g cari mb Bia,wah jangan jangan tar ketemu papa nya Sea dan guru lrelawan itu anak Dhira dan Arthir jd gmn ya apa jd cerai mas Shaka dan Dhira itu yg buat aku penasaran krn mas Shaka g hemput mb Bia
2024-01-01
0
Kiki Sulandari
Kasihan Sea,harus lahir dengan penyakit jantung bawaan
Tapi mungkin dengan memberi Sea fokus pekerjaan,Sea akan terbebas dari kebiasaan buruknya
2023-08-03
0
Diana Susanti
mantab 👍👍
2023-06-16
1