From Me To The World

From Me To The World

Bab 1 - Awal

Luke Vardict, salah satu dari sepuluh dewa legendaris yang berasal dari Loresham, pernah membuat keputusan yang mengguncang dunia para dewa. Ia, yang dikenal sebagai dewa sederhana, memilih menikah dengan seorang manusia biasa.

Luke adalah sosok yang amat kuat, namun kekuatan itu tak membuatnya silau pada tahta. Ia menolak singgasana megah di antara para dewa, lebih memilih menjalani kehidupan sebagai manusia. Kisah langkanya ini membuat sebagian dewa kagum dan menghormatinya, namun tak sedikit pula yang memandangnya dengan sinis.

Hari ini, di Loresham, tepatnya di desa kecil bernama Zovalia, seorang anak tengah berusaha keras melatih kekuatan yang diwariskan ayahnya. Anak itu tampak bersusah payah, seolah udara disekeliling enggan tunduk pada kehendaknya.

Seorang kakek sederhana dengan wajah penuh keriput menghampiri dan menatapnya dengan iba.

“Hei, Nak. Kau kelihatan kesusahan. Apa ada yang bisa Kakek bantu?” tanyanya lembut.

“Kakek, tolong pegang papan kayu ini di depanmu. Aku akan mencoba sesuatu,” ujar anak itu dengan nada ragu tapi penuh tekad.

Sang kakek menurut. Ia memegang papan kayu itu dengan kedua tangannya, sementara bocah tersebut menarik napas panjang. Udara di sekelilingnya mulai bergetar, lalu perlahan membeku, membentuk bongkahan kristal bening dengan ujung tajam yang melayang di udara.

Kristal-kristal itu berkilau, memantulkan cahaya mentari sore seperti pecahan kaca yang baru saja disepuh. Bocah itu mengerahkan seluruh fokusnya untuk mengendalikannya, lalu—

BANG!

Kristal melesat, namun bukan menuju papan kayu. Arahnya justru melenceng, menghantam atap rumah seseorang hingga hancur berkeping-keping.

Wajah kakek seketika pucat pasi. Ia menelan ludah, menyadari betapa tipis jarak antara hidup dan mati barusan. Andai serangan itu tak meleset, mungkin tubuh tuanya sudah tertembus tajamnya kristal.

Anak itu menunduk, giginya bergemeletuk menahan emosi. Ia menghentakkan kaki ke tanah tiga kali, lalu berteriak kesal sebelum berlari pulang.

“Sialan! Kenapa selalu begini? Kenapa aku tak bisa seperti Ayah?” gumamnya getir.

Tak lama, seorang anak perempuan berlari kecil ke arahnya.

“Levis!!” panggilnya lantang.

Gadis itu, yang sedikit lebih tinggi darinya, merangkul Levis dengan senyum ceria.

“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”

Levis menepis pelan. “Jangan ganggu aku dulu. Aku ingin sendiri.”

“Oh, ayolah, Levis! Aku bisa mengajarimu mengendalikan kekuatanmu!” ucapnya penuh semangat.

Gadis itu bernama Chely, putri dari Regas Deevon—dewa yang kini memimpin kerajaan setelah ayah Levis melepaskan kedudukannya. Seharusnya Chely tidak boleh seenaknya keluar dari istana, apalagi hanya untuk menghampiri Levis.

“Kau selalu bilang begitu,” balas Levis datar, “tapi ujung-ujungnya kau hanya ingin bermain, bukan mengajariku sungguhan.”

Chely tertawa kecil, menggaruk kepala. “Ahaha, maaf! Tapi kali ini aku serius! Aku janji akan mengajarimu sungguh-sungguh!” katanya sambil berlari kecil mengelilingi Levis.

Levis mendesah. “Baiklah, tapi kita latihan nanti sore.”

“Kenapa tidak sekarang?” rengek Chely.

“Aku sibuk.”

“Masih kecil sudah sok sibuk!” canda Chely. “Baiklah, sampai nanti ya!” katanya sambil melambaikan tangan sebelum pergi.

Levis hanya mengangguk tipis. Meski rumahnya sederhana—hanya pintu kayu yang hampir copot dan dinding kusam—ia tetap menerimanya. Ia tahu kebahagiaan tidak selalu bergantung pada istana yang megah.

“Aku pulang!” serunya sambil masuk.

Ibunya, seorang wanita cantik berambut cokelat lembut, menyambut dari balik tirai. Ia membawa roti hangat dan segelas minuman.

“Selamat datang kembali, anakku. Bagaimana latihannya hari ini?”

Levis mengangkat bahu. “Masih sama, Bu. Seranganku meleset lagi.”

Ibunya terkekeh kecil, membuat pipi Levis menggembung.

“Kenapa Ibu tertawa?” tanyanya sebal.

“Ibu jadi teringat ayahmu dulu,” ucap ibunya sambil menyeka air mata kecil karena terlalu banyak tertawa. “Dulu, serangannya juga sering meleset. Ibu yang mengarahkannya sampai ia bisa.”

Levis terdiam, matanya berbinar. “Ayah juga begitu? Kupikir ayah sudah kuat sejak lahir.”

Ibunya tersenyum lembut. “Semua orang punya prosesnya, Nak. Bahkan para dewa sekalipun. Ada yang tumbuh lemah lalu menjadi kuat, ada pula yang langsung diberkahi kekuatan berlipat ganda. Tapi…”

“Tapi apa, Bu?” tanya Levis penasaran.

“Banyak dari mereka yang tak bisa mengendalikan kekuatannya. Akhirnya, kekuatan itulah yang membunuh mereka sendiri.”

Levis terdiam. Baru ia sadari, jalan menuju kekuatan ternyata penuh jurang yang mematikan.

“Maka dari itu,” ibunya menatapnya penuh kasih, “jadilah orang yang bisa menjaga diri sendiri, dan juga orang-orang terdekatmu.”

Levis mengepalkan tangan. “Pasti, Bu! Aku akan melampaui Ayah!”

Sore harinya, ia dan Chely berlatih di lapangan hutan yang luas, jauh dari desa agar tidak merusak rumah orang. Pohon-pohon rimbun melingkar seperti pagar alami, seolah melindungi mereka berdua.

Chely menunjukkan kemampuannya dengan memotong pohon besar hanya dengan hembusan angin dari tebasan tangannya. Levis terpana—kekuatan itu sungguh luar biasa untuk anak berusia sepuluh tahun.

“Fyuhh… Kau masih belum berkembang, Levis. Kita harus berlatih lebih keras,” kata Chely sambil menyibakkan rambut basah oleh keringat.

Levis menutup mata, menarik napas dalam. Udara berputar di sekelilingnya, bergetar mengikuti kehendaknya.

Ubah udara menjadi kristal.

Dalam sekejap, tiga kristal bening terbentuk, melayang di udara. Ia mengarahkan telunjuk ke sebuah pohon.

“Serang.”

BANG! BANG! BANG!

Satu kristal mengenai pohon, membuatnya tumbang. Dua lainnya jatuh tak berdaya ke tanah.

Chely berlari sambil tertawa kecil. “Haha, lumayan! Setidaknya ada perkembangan.”

Levis mendengus, tapi dalam hatinya ia merasa hangat. Kehadiran Chely membuat dunianya tak terasa hampa.

Malam itu, Chely kembali ke istana dan tak pernah muncul lagi. Ia mungkin dijaga ketat oleh para pengawal. Rasa rindu itu mulai tumbuh dalam diri Levis.

Hari-hari berikutnya, ia berlatih lebih keras. Pagi hingga sore ia mengendalikan kristal-kristalnya, malamnya ia melatih tubuh. Ayahnya kini mulai melatihnya sendiri, sebab usia Levis hampir menginjak remaja—usia di mana ia perlahan dipersiapkan menggantikan sang ayah sebagai dewa.

Namun ia tahu, jalannya tak akan mudah.

---

Beberapa bulan kemudian, Luke Vardict mengajak Levis berburu domba di padang rumput dekat desa. Mereka membuka portal berbentuk segitiga, menembus ruang, dan melangkah ke hamparan hijau luas.

“Levis, coba serang domba itu. Rasakan udara, bentuk, lalu lepaskan,” ujar Luke tenang.

Levis menarik napas. Kristal-kristal terbentuk, berkilau diterpa matahari. Dua serangannya meleset, tapi pada percobaan ketiga—

BANG! Kristal menusuk domba itu, membuatnya mati seketika.

Luke mengepalkan tangan. “Bagus! Itu anakku!”

Levis menunduk malu. “Ayah berlebihan. Dua seranganku terbuang sia-sia.”

Luke hanya tertawa, lalu menepuk pundak putranya. “Kita akan berlatih sampai sore.”

Hari itu, Levis berhasil menumbangkan dua puluh domba—sebuah perkembangan besar dari latihan sebelumnya. Meski tubuhnya letih, hatinya dipenuhi harapan.

Namun jauh di lubuk hatinya, rasa rindu pada Chely masih tersisa. Ia bertanya-tanya, kapan lagi mereka akan bertemu.

Terpopuler

Comments

Nora Neko

Nora Neko

Bangsawan ya

2023-08-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!