Bab 5 - Thunderbird

Orang itu tersenyum tipis. “Nah, itu saja. Sepertinya aku harus pergi.”

Ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju pintu kayu sederhana tempat makan itu. Levis yang masih duduk buru-buru menahan lengannya.

“Paman, sebelumnya… terima kasih. Tapi, sebenarnya siapa kau?”

Orang itu berhenti sejenak. Pandangannya redup, seakan menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia katakan. “Kau akan tahu siapa aku… saat kau sudah dewasa.”

Habis berkata demikian, ia melompat tinggi—dan lenyap begitu saja, seakan udara menelan seluruh wujudnya.

Levis membeku di tempat. Lagi-lagi, sebuah pernyataan aneh. Pertemuan singkat itu menambah satu lagi tumpukan misteri dalam hidupnya. Siapa sebenarnya orang-orang yang terus muncul di hadapannya? Dari Dewi Euthenia yang ramah, sosok misterius di danau, hingga paman yang barusan mengajarinya teknik “Fusion”.

Levis menarik napas dalam-dalam. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya tanpa jawaban. Ia kembali ke kursinya, menatap ikan panggang yang masih mengepulkan asap tipis.

Namun, ia teringat pada nenek Raina. “Bagaimana kalau kubawakan ini untuk nenek?” gumamnya. Ia membungkus ikan itu dengan kain sederhana yang dibawanya, lalu melangkah cepat menuju rumah sang nenek.

---

Rumah kayu nenek Raina tampak sederhana, dengan aroma masakan yang menguar begitu pintu dibuka. Nenek ber-apron tengah sibuk di dapur, tangannya lincah mengaduk panci berisi sayuran.

“Nek, saya kembali,” sapa Levis sopan sambil masuk.

“Ya ampun, tepat sekali kau datang. Masakan nenek hampir matang,” sahut Raina dengan senyum hangat.

Levis mengeluarkan bungkusan kain. “Saya bawa ini, Nek.” Ia membuka kainnya, menampakkan ikan besar yang masih utuh.

Mata Raina membesar. “Ikan sebesar ini? Kau dapat dari mana? Ini pasti mahal sekali.”

“Ada seorang paman baik hati yang memberikannya. Cobalah, Nek. Rasanya enak sekali.”

Raina menatap cucu angkatnya itu dengan ragu, namun akhirnya tersenyum. “Kalau begitu, mari kita makan bersama.”

Mereka mengiris ikan itu, mencampurnya dengan sayuran rebus yang telah matang. Rasanya begitu nikmat hingga Levis merasa seakan sedang kembali menikmati masakan ibunya di rumah. Sesekali, ia menatap wajah tua Raina yang penuh ketenangan—sebuah kehangatan yang jarang ia rasakan di luar sana.

Di sela percakapan, Levis baru mengetahui sesuatu yang mengejutkan. Nama lengkap nenek itu adalah Raina Vinrosa, seorang putri dari Kerajaan Denoir. Namun, karena masalah politik, ia dan cucunya dibuang jauh dari istana. Meski cerita itu disampaikan dengan nada ringan, Levis bisa melihat kesedihan yang disembunyikan di balik tatapan mata Raina.

Setelah perbincangan panjang, Levis akhirnya berpamitan. “Nek, saya harus pulang. Terima kasih atas jamuannya.”

“Berhati-hatilah, Levis. Dunia di luar sana tidak selalu ramah,” pesan Raina lembut.

Levis mengangguk, lalu berjalan pulang. Ia menempuh jalur yang sama, melewati padang rumput luas dengan pohon besar menjulang di tengahnya. Dari titik itu, ia baru menyadari arah yang kemarin salah: jalan kiri menuju Desa Cafin, jalan kanan ke Zovalia, dan jalan tengah entah ke mana.

Sesampainya di rumah, ibunya langsung memeluk erat. Wajahnya penuh keringat, tanda kecemasan yang menumpuk selama menunggu.

“Aku kembali, Bu,” ujar Levis, menahan rasa bersalah.

Sang ayah hanya tersenyum tipis dari kejauhan. Dari tatapan itu, Levis tahu: semua ini pasti ujian kecil yang ayahnya rancang. Ia memang suka mengetesnya tanpa peringatan, namun selalu memastikan putranya tetap selamat.

Levis bersyukur. Ia bisa pulang dengan selamat. Untuk malam itu, dunia terasa damai.

---

Lima Tahun Berlalu

Waktu berlari cepat. Latihan demi latihan membuat tubuh Levis semakin terasah. Dari sekadar membangun otot hingga teknik pernapasan, semua ia jalani tanpa mengeluh.

Di usianya yang ke-15, suatu pagi ia dikejutkan oleh seekor elang besar yang hinggap di halaman rumah. Di kakinya, terikat sebuah gulungan surat. Levis membuka ikatan itu dengan jantung berdebar.

Tulisan sederhana tergores di atasnya:

[Kita akan bertemu, lima tahun lagi.]

Levis terdiam. Lalu, senyum tipis merekah di wajahnya. “Haha….”

Ia merasa lega. Entah siapa pengirimnya, ia yakin itu dari Chely. Sudah lama sekali mereka berpisah tanpa kabar. Surat singkat itu memberi secercah harapan—bahwa ia akan bertemu sahabatnya lagi, mungkin juga saingannya, entah dalam bentuk apa.

Lima tahun… bukan waktu singkat. Namun Levis bertekad: ia akan berlatih lebih keras lagi, agar saat waktu itu tiba, ia mampu berdiri sejajar.

Hari itu ia berjalan di tengah keramaian desa. Anak-anak kecil berlarian, orang tua sibuk berbelanja kebutuhan pokok, para pedagang menawarkan daging segar dan ikan-ikan besar yang digantung di depan toko.

Seorang bocah menarik tangan kakeknya. “Kakek! Aku ingin daging domba itu untuk makan malam!”

Namun sang kakek hanya tersenyum sabar. “Jangan, Ven. Itu mahal. Tapi kakek berjanji suatu hari akan membawakanmu daging yang lebih besar.”

Mata si bocah berbinar, seakan janji itu adalah dunia baginya. Levis menatap pemandangan itu dengan hening. Sampai kapan kedamaian ini bisa bertahan? batinnya.

Aku akan melindungi desa ini. Apa pun yang terjadi.

---

Misi Thunderbird

Sore harinya, ayah Levis mendekatinya. Pandangannya serius, berbeda dari biasanya.

“Levis, aku rasa kekuatanmu sudah cukup. Aku punya tugas untukmu.”

“Tugas?”

“Ya. Aku ingin kau mencuri telur seekor monster. Bawa pulang. Itu akan kita jadikan makanan.”

Levis terkejut. “Telur… monster?”

Ayahnya mengangguk. “Bukan monster biasa. Seekor Thunderbird.”

Nama itu membuat bulu kuduk Levis meremang. Thunderbird dikenal sebagai burung raksasa dengan sayap seperti badai, mampu melepaskan guntur mematikan dari tubuhnya. Sekali saja terkena serangannya, manusia biasa bisa hancur seketika.

Meski takut, Levis tidak menolak. Ia tahu, inilah ujian besar berikutnya.

Kali ini, ia tidak sendiri. Sepupunya, Geron Howard, ikut serta. Geron berusia dua tahun lebih muda, dengan rambut pirang panjang dan mata biru cerah. Banyak gadis di desa menganggapnya tampan, meski Levis enggan memberi komentar.

Yang jelas, Geron mewarisi kekuatan petir dari ayahnya. Ia kebal terhadap sambaran listrik apa pun, menjadikannya sekutu sempurna untuk melawan Thunderbird.

Pagi itu, mereka mempersiapkan perlengkapan sederhana. Geron mengenakan pakaian putih dengan celana cokelat muda. Saat ia mengalirkan energi petir ke tubuhnya, kilatan kecil menari di sekelilingnya.

“Aku siap, Kak Levis,” katanya, meski sedikit gugup.

Levis mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, kita berangkat.”

Mereka berdua melangkah meninggalkan desa, menyusuri hutan lebat. Ayah mereka tidak memberi petunjuk apa pun mengenai sarang Thunderbird. Itu pun bagian dari ujian: menghadapi ketidaktahuan.

Namun Levis punya satu dugaan. “Monster sebesar itu pasti membuat sarang di tempat tinggi. Tebing atau puncak gunung.”

Geron menatap sekeliling. “Tapi di dekat desa ini tidak ada gunung besar.”

Levis menghela napas. “Benar. Tapi… ada satu cara lagi.”

Ia menatap langit biru yang dihiasi awan tebal, seolah jawaban ada di balik sana.

---

Itulah awal perjalanan mereka menuju sarang Thunderbird.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!