Bab 2 - Two Promises

Di suatu waktu, saat aku berada di dekat dataran tinggi dengan padang rumput yang luas, aku terduduk di bawah satu pohon besar. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma segar rumput liar dan tanah yang baru saja terkena sinar matahari. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat cakrawala yang mulai berubah warna—jingga, merah, lalu perlahan meredup seiring matahari tenggelam.

Tempat ini tenang sekali. Udara sejuk mengisi paru-paruku, dan untuk sesaat aku bertanya-tanya, kenapa tidak ada orang lain yang mau mampir ke tempat seindah ini? Padang luas terbentang tanpa batas, suara air terjun terdengar samar dari kejauhan, dan hanya suara angin yang menemani. Keheningan yang menenangkan… tapi juga sedikit menyedihkan.

Langkah ringan terdengar mendekat. Seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh. Rambut hitam panjangnya terurai, berkilau terkena cahaya sore yang lembut. Angin memainkan helai-helai rambutnya, membuat sosok itu tampak begitu hidup, begitu… indah.

“Hei,” katanya sambil tersenyum tipis. “Apa kau menikmati pemandangan ini?”

Itu Chely. Senyumnya selalu mampu menciptakan kehangatan di tengah udara sedingin apa pun.

Aku menatapnya sebentar, lalu memungut sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di atas kami. “Chely, apa kau juga merasa begitu?”

Dia mengangkat alis, seolah sengaja mengulur waktu sebelum menjawab. “Sebelum itu, jawablah dulu pertanyaanku.”

Aku tersenyum kecil, lalu menatap ke depan. Jurang terbentang tidak jauh dari tempat kami duduk, dengan air terjun yang menjatuhkan air sungai dari ketinggian. Suaranya bergemuruh, tapi entah kenapa justru terasa menenangkan. “Iya,” jawabku pelan. “Aku menyukai pemandangan yang damai ini.”

“Kalau begitu, aku juga,” sahutnya cepat, lalu berbalik menatapku dengan senyum tipis. Senyum itu—singkat, tulus, dan hangat—selalu berhasil membuatku kehilangan kata-kata.

Hening menyelimuti kami. Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. Aku hendak membuka mulut untuk memulai percakapan baru, tapi Chely mendahuluiku.

“Levis,” katanya tiba-tiba, nada suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. “Apa kau bisa berjanji dua hal padaku?”

Aku terkejut. Kata-katanya terasa… asing. Chely biasanya ceria, ringan, bahkan agak nakal dalam berbicara. Tapi kali ini? Suaranya penuh keseriusan. Aku menoleh, mencoba membaca ekspresinya, tapi ia sudah kembali menatap matahari yang hampir tenggelam.

“Janji apa itu?” tanyaku. Aku menepuk-nepuk tanganku, membersihkannya dari daun kering, lalu bersiap mendengarkan.

Dia menarik napas dalam. “Pertama, kau harus tetap hidup. Hingga kita bisa bertemu lagi nanti.”

Aku tercekat. Apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu? Hatiku gelisah. Kata-katanya terdengar seperti pesan perpisahan, seolah ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Aku ingin bertanya, tapi…

Sebelum sempat aku melanjutkan kata-kataku, satu jarinya yang panjang dan ramping menempel di bibirku. Ia melarangku berbicara, sementara matanya kosong, menatap lurus ke wajahku dengan sorot yang tidak bisa kupahami.

Kemudian ia menambahkan dengan suara yang lebih pelan, “Dan yang kedua, jika kita dewasa nanti… tolong ciptakan dunia yang damai. Untuk kita semua.”

Kata-katanya menusuk dalam. Dunia yang damai? Kenapa dia mengatakannya padaku, seolah aku yang harus memikul tanggung jawab sebesar itu?

Chely segera berdiri, membersihkan daun dan rumput dari bajunya. “Itu tidak sulit untukmu, kan? Aku tahu kau pasti bisa melakukannya.”

Aku masih duduk, menatapnya dengan bingung. Apa sebenarnya yang kau maksud, Chely? Pertanyaan itu bergema di kepalaku, tapi bibirku tak mampu mengucapkannya.

“Sudah, ayo bangun.” Ia mengulurkan tangan padaku. Sentuhannya hangat. Dengan sekali tarik, aku berdiri di sampingnya.

“Kalau begitu, latihan kita cukup sampai di sini. Sampai jumpa, Levis!” katanya riang, seperti baru saja tidak mengucapkan kata-kata yang membuat dadaku begitu berat.

Aku hanya bisa memandanginya berjalan menjauh, meninggalkanku sendirian di bawah pohon besar itu. Seperti biasa, Chely selalu membuatku penasaran. Dia seperti teka-teki yang tidak pernah selesai, semakin aku mencoba memahaminya, semakin aku tersesat.

Senja berubah gelap. Aku memutuskan pulang. Udara semakin dingin, menembus baju sederhana buatan ayahku. Setiap hembusannya seperti menusuk kulitku.

Di tengah perjalanan, lolongan serigala menggema dari dalam hutan. Aku menegakkan tubuh, waspada. Apa malam ini bulan purnama? Kalau iya, aku harus berhati-hati.

Di kejauhan, kulihat cahaya api unggun. Ada seseorang di tengah hutan. Haruskah aku menghampirinya? Atau lebih baik aku terus berjalan? Langkahku ragu, tapi dingin dan firasat buruk membuatku memilih mendekat.

Seorang wanita tua dengan pakaian musim dingin menghampiriku. “Nak, mari sini. Malam begini berbahaya.” Ia menaruh kain hangat di pundakku.

Aku menurut. Ia membawaku ke rumahnya. Rumah itu sederhana, terbuat dari bambu-bambu kokoh. Saat aku masuk, udara hangat langsung menyambutku.

“Nak, duduklah,” katanya sambil berjalan ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali membawa secangkir teh hangat.

Aku meneguknya pelan, lalu menjawab pertanyaannya ketika ia bertanya, “Apa yang kau lakukan malam-malam di tengah hutan sendirian?”

“Sore tadi aku berlatih bersama teman, Nek. Tapi dia sudah pulang duluan, dan… aku sedikit tersesat.”

Wanita tua itu tersenyum lembut. Ia mengusap rambutku, lalu berkata pelan, “Nenek berharap cucu nenek masih ada di sini.”

Aku menatapnya bingung. Cucunya?

“Memangnya, cucu nenek pergi ke mana?” tanyaku polos.

Ekspresi wajahnya berubah sendu. “Cucu nenek adalah seorang pria kecil. Dulu dia senang sekali bermain dengan bonekanya. Tapi suatu hari orang tuanya berpisah, dan dia memilih ikut bersama ibunya. Sejak saat itu, dia tidak pernah kembali. Begitu juga ayahnya… entah ke mana mereka pergi.”

Air mata menetes di wajahnya. Aku buru-buru mengambil kain, menghapus air matanya. “Nek, suatu saat kalau aku sudah besar… aku akan mencari cucu nenek itu.”

Wanita tua itu tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Terima kasih, Nak.”

Aku lalu melihat sebuah rak penuh buku. “Nek, bolehkah aku membaca buku-buku itu?”

Ia mengangguk. Aku mengambil sebuah buku berjudul The Guardians From Casilk Swamp, karya Celyne G.

Buku itu bercerita tentang rawa Casilk dan makhluk-makhluk mitologi di dalamnya. Ada tingkatan kekuatan mereka: dari sangat lemah, lemah, biasa, kuat, langka, hingga dewa.

Dan ada satu lagi tingkatan misterius, belum pernah dicapai oleh siapa pun.

Di antara banyak makhluk, ada satu yang paling menarik perhatianku: Arhea. Makhluk yang disebut sebagai dewa dari rawa Casilk. Tidak banyak yang diketahui tentangnya, hanya bahwa ia tercipta dari sebuah “ketidaksengajaan.”

Aku membaca dengan mata berbinar. Rawa Casilk… suatu saat aku pasti akan pergi ke sana.

Malam semakin larut. Nenek itu menunjuk kamar kosong. “Tidurlah di sana, Nak. Jangan terlalu banyak membaca.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Saat masuk ke kamar, aku merasakan keharuman samar. Ruangan itu tertata rapi, seperti sudah lama dipersiapkan untuk seseorang. Apa ini kamar untuk cucunya?

Aku berbaring di kasur empuk, mencoba membaca satu buku lagi berjudul Ordeya, Makhluk yang Malang. Karya penulis yang sama.

Kisah tentang boneka burung dan anak kecil yang bersatu menjadi makhluk bernama Ordeya. Sosok dengan tubuh ramping, sayap besar, dan paruh besi yang mampu membekukan apa saja dengan sekali hempasan tangan.

Aku berhenti membaca ketika samar-samar terdengar suara nenek dari luar kamar. “Cucuku sayang, aku sudah lama menunggumu. Kapan kau akan pulang? Kamar ini sudah kupersiapkan untukmu.”

Suara itu membuatku merinding. Apa yang sebenarnya terjadi dengan nenek ini?

Aku menutup buku, menarik selimut. Malam sudah larut, dan aku merasa mataku berat. Esok hari, aku harus pulang…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!