Luke Vardict, salah satu dari sepuluh dewa legendaris yang berasal dari Loresham, pernah membuat keputusan yang mengguncang dunia para dewa. Ia, yang dikenal sebagai dewa sederhana, memilih menikah dengan seorang manusia biasa.
Luke adalah sosok yang amat kuat, namun kekuatan itu tak membuatnya silau pada tahta. Ia menolak singgasana megah di antara para dewa, lebih memilih menjalani kehidupan sebagai manusia. Kisah langkanya ini membuat sebagian dewa kagum dan menghormatinya, namun tak sedikit pula yang memandangnya dengan sinis.
Hari ini, di Loresham, tepatnya di desa kecil bernama Zovalia, seorang anak tengah berusaha keras melatih kekuatan yang diwariskan ayahnya. Anak itu tampak bersusah payah, seolah udara disekeliling enggan tunduk pada kehendaknya.
Seorang kakek sederhana dengan wajah penuh keriput menghampiri dan menatapnya dengan iba.
“Hei, Nak. Kau kelihatan kesusahan. Apa ada yang bisa Kakek bantu?” tanyanya lembut.
“Kakek, tolong pegang papan kayu ini di depanmu. Aku akan mencoba sesuatu,” ujar anak itu dengan nada ragu tapi penuh tekad.
Sang kakek menurut. Ia memegang papan kayu itu dengan kedua tangannya, sementara bocah tersebut menarik napas panjang. Udara di sekelilingnya mulai bergetar, lalu perlahan membeku, membentuk bongkahan kristal bening dengan ujung tajam yang melayang di udara.
Kristal-kristal itu berkilau, memantulkan cahaya mentari sore seperti pecahan kaca yang baru saja disepuh. Bocah itu mengerahkan seluruh fokusnya untuk mengendalikannya, lalu—
BANG!
Kristal melesat, namun bukan menuju papan kayu. Arahnya justru melenceng, menghantam atap rumah seseorang hingga hancur berkeping-keping.
Wajah kakek seketika pucat pasi. Ia menelan ludah, menyadari betapa tipis jarak antara hidup dan mati barusan. Andai serangan itu tak meleset, mungkin tubuh tuanya sudah tertembus tajamnya kristal.
Anak itu menunduk, giginya bergemeletuk menahan emosi. Ia menghentakkan kaki ke tanah tiga kali, lalu berteriak kesal sebelum berlari pulang.
“Sialan! Kenapa selalu begini? Kenapa aku tak bisa seperti Ayah?” gumamnya getir.
Tak lama, seorang anak perempuan berlari kecil ke arahnya.
“Levis!!” panggilnya lantang.
Gadis itu, yang sedikit lebih tinggi darinya, merangkul Levis dengan senyum ceria.
“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”
Levis menepis pelan. “Jangan ganggu aku dulu. Aku ingin sendiri.”
“Oh, ayolah, Levis! Aku bisa mengajarimu mengendalikan kekuatanmu!” ucapnya penuh semangat.
Gadis itu bernama Chely, putri dari Regas Deevon—dewa yang kini memimpin kerajaan setelah ayah Levis melepaskan kedudukannya. Seharusnya Chely tidak boleh seenaknya keluar dari istana, apalagi hanya untuk menghampiri Levis.
“Kau selalu bilang begitu,” balas Levis datar, “tapi ujung-ujungnya kau hanya ingin bermain, bukan mengajariku sungguhan.”
Chely tertawa kecil, menggaruk kepala. “Ahaha, maaf! Tapi kali ini aku serius! Aku janji akan mengajarimu sungguh-sungguh!” katanya sambil berlari kecil mengelilingi Levis.
Levis mendesah. “Baiklah, tapi kita latihan nanti sore.”
“Kenapa tidak sekarang?” rengek Chely.
“Aku sibuk.”
“Masih kecil sudah sok sibuk!” canda Chely. “Baiklah, sampai nanti ya!” katanya sambil melambaikan tangan sebelum pergi.
Levis hanya mengangguk tipis. Meski rumahnya sederhana—hanya pintu kayu yang hampir copot dan dinding kusam—ia tetap menerimanya. Ia tahu kebahagiaan tidak selalu bergantung pada istana yang megah.
“Aku pulang!” serunya sambil masuk.
Ibunya, seorang wanita cantik berambut cokelat lembut, menyambut dari balik tirai. Ia membawa roti hangat dan segelas minuman.
“Selamat datang kembali, anakku. Bagaimana latihannya hari ini?”
Levis mengangkat bahu. “Masih sama, Bu. Seranganku meleset lagi.”
Ibunya terkekeh kecil, membuat pipi Levis menggembung.
“Kenapa Ibu tertawa?” tanyanya sebal.
“Ibu jadi teringat ayahmu dulu,” ucap ibunya sambil menyeka air mata kecil karena terlalu banyak tertawa. “Dulu, serangannya juga sering meleset. Ibu yang mengarahkannya sampai ia bisa.”
Levis terdiam, matanya berbinar. “Ayah juga begitu? Kupikir ayah sudah kuat sejak lahir.”
Ibunya tersenyum lembut. “Semua orang punya prosesnya, Nak. Bahkan para dewa sekalipun. Ada yang tumbuh lemah lalu menjadi kuat, ada pula yang langsung diberkahi kekuatan berlipat ganda. Tapi…”
“Tapi apa, Bu?” tanya Levis penasaran.
“Banyak dari mereka yang tak bisa mengendalikan kekuatannya. Akhirnya, kekuatan itulah yang membunuh mereka sendiri.”
Levis terdiam. Baru ia sadari, jalan menuju kekuatan ternyata penuh jurang yang mematikan.
“Maka dari itu,” ibunya menatapnya penuh kasih, “jadilah orang yang bisa menjaga diri sendiri, dan juga orang-orang terdekatmu.”
Levis mengepalkan tangan. “Pasti, Bu! Aku akan melampaui Ayah!”
Sore harinya, ia dan Chely berlatih di lapangan hutan yang luas, jauh dari desa agar tidak merusak rumah orang. Pohon-pohon rimbun melingkar seperti pagar alami, seolah melindungi mereka berdua.
Chely menunjukkan kemampuannya dengan memotong pohon besar hanya dengan hembusan angin dari tebasan tangannya. Levis terpana—kekuatan itu sungguh luar biasa untuk anak berusia sepuluh tahun.
“Fyuhh… Kau masih belum berkembang, Levis. Kita harus berlatih lebih keras,” kata Chely sambil menyibakkan rambut basah oleh keringat.
Levis menutup mata, menarik napas dalam. Udara berputar di sekelilingnya, bergetar mengikuti kehendaknya.
Ubah udara menjadi kristal.
Dalam sekejap, tiga kristal bening terbentuk, melayang di udara. Ia mengarahkan telunjuk ke sebuah pohon.
“Serang.”
BANG! BANG! BANG!
Satu kristal mengenai pohon, membuatnya tumbang. Dua lainnya jatuh tak berdaya ke tanah.
Chely berlari sambil tertawa kecil. “Haha, lumayan! Setidaknya ada perkembangan.”
Levis mendengus, tapi dalam hatinya ia merasa hangat. Kehadiran Chely membuat dunianya tak terasa hampa.
Malam itu, Chely kembali ke istana dan tak pernah muncul lagi. Ia mungkin dijaga ketat oleh para pengawal. Rasa rindu itu mulai tumbuh dalam diri Levis.
Hari-hari berikutnya, ia berlatih lebih keras. Pagi hingga sore ia mengendalikan kristal-kristalnya, malamnya ia melatih tubuh. Ayahnya kini mulai melatihnya sendiri, sebab usia Levis hampir menginjak remaja—usia di mana ia perlahan dipersiapkan menggantikan sang ayah sebagai dewa.
Namun ia tahu, jalannya tak akan mudah.
---
Beberapa bulan kemudian, Luke Vardict mengajak Levis berburu domba di padang rumput dekat desa. Mereka membuka portal berbentuk segitiga, menembus ruang, dan melangkah ke hamparan hijau luas.
“Levis, coba serang domba itu. Rasakan udara, bentuk, lalu lepaskan,” ujar Luke tenang.
Levis menarik napas. Kristal-kristal terbentuk, berkilau diterpa matahari. Dua serangannya meleset, tapi pada percobaan ketiga—
BANG! Kristal menusuk domba itu, membuatnya mati seketika.
Luke mengepalkan tangan. “Bagus! Itu anakku!”
Levis menunduk malu. “Ayah berlebihan. Dua seranganku terbuang sia-sia.”
Luke hanya tertawa, lalu menepuk pundak putranya. “Kita akan berlatih sampai sore.”
Hari itu, Levis berhasil menumbangkan dua puluh domba—sebuah perkembangan besar dari latihan sebelumnya. Meski tubuhnya letih, hatinya dipenuhi harapan.
Namun jauh di lubuk hatinya, rasa rindu pada Chely masih tersisa. Ia bertanya-tanya, kapan lagi mereka akan bertemu.
Di suatu waktu, saat aku berada di dekat dataran tinggi dengan padang rumput yang luas, aku terduduk di bawah satu pohon besar. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma segar rumput liar dan tanah yang baru saja terkena sinar matahari. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat cakrawala yang mulai berubah warna—jingga, merah, lalu perlahan meredup seiring matahari tenggelam.
Tempat ini tenang sekali. Udara sejuk mengisi paru-paruku, dan untuk sesaat aku bertanya-tanya, kenapa tidak ada orang lain yang mau mampir ke tempat seindah ini? Padang luas terbentang tanpa batas, suara air terjun terdengar samar dari kejauhan, dan hanya suara angin yang menemani. Keheningan yang menenangkan… tapi juga sedikit menyedihkan.
Langkah ringan terdengar mendekat. Seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh. Rambut hitam panjangnya terurai, berkilau terkena cahaya sore yang lembut. Angin memainkan helai-helai rambutnya, membuat sosok itu tampak begitu hidup, begitu… indah.
“Hei,” katanya sambil tersenyum tipis. “Apa kau menikmati pemandangan ini?”
Itu Chely. Senyumnya selalu mampu menciptakan kehangatan di tengah udara sedingin apa pun.
Aku menatapnya sebentar, lalu memungut sehelai daun kering yang jatuh dari pohon di atas kami. “Chely, apa kau juga merasa begitu?”
Dia mengangkat alis, seolah sengaja mengulur waktu sebelum menjawab. “Sebelum itu, jawablah dulu pertanyaanku.”
Aku tersenyum kecil, lalu menatap ke depan. Jurang terbentang tidak jauh dari tempat kami duduk, dengan air terjun yang menjatuhkan air sungai dari ketinggian. Suaranya bergemuruh, tapi entah kenapa justru terasa menenangkan. “Iya,” jawabku pelan. “Aku menyukai pemandangan yang damai ini.”
“Kalau begitu, aku juga,” sahutnya cepat, lalu berbalik menatapku dengan senyum tipis. Senyum itu—singkat, tulus, dan hangat—selalu berhasil membuatku kehilangan kata-kata.
Hening menyelimuti kami. Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. Aku hendak membuka mulut untuk memulai percakapan baru, tapi Chely mendahuluiku.
“Levis,” katanya tiba-tiba, nada suaranya sedikit lebih berat dari biasanya. “Apa kau bisa berjanji dua hal padaku?”
Aku terkejut. Kata-katanya terasa… asing. Chely biasanya ceria, ringan, bahkan agak nakal dalam berbicara. Tapi kali ini? Suaranya penuh keseriusan. Aku menoleh, mencoba membaca ekspresinya, tapi ia sudah kembali menatap matahari yang hampir tenggelam.
“Janji apa itu?” tanyaku. Aku menepuk-nepuk tanganku, membersihkannya dari daun kering, lalu bersiap mendengarkan.
Dia menarik napas dalam. “Pertama, kau harus tetap hidup. Hingga kita bisa bertemu lagi nanti.”
Aku tercekat. Apa maksudnya? Kenapa dia berkata seperti itu? Hatiku gelisah. Kata-katanya terdengar seperti pesan perpisahan, seolah ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Aku ingin bertanya, tapi…
Sebelum sempat aku melanjutkan kata-kataku, satu jarinya yang panjang dan ramping menempel di bibirku. Ia melarangku berbicara, sementara matanya kosong, menatap lurus ke wajahku dengan sorot yang tidak bisa kupahami.
Kemudian ia menambahkan dengan suara yang lebih pelan, “Dan yang kedua, jika kita dewasa nanti… tolong ciptakan dunia yang damai. Untuk kita semua.”
Kata-katanya menusuk dalam. Dunia yang damai? Kenapa dia mengatakannya padaku, seolah aku yang harus memikul tanggung jawab sebesar itu?
Chely segera berdiri, membersihkan daun dan rumput dari bajunya. “Itu tidak sulit untukmu, kan? Aku tahu kau pasti bisa melakukannya.”
Aku masih duduk, menatapnya dengan bingung. Apa sebenarnya yang kau maksud, Chely? Pertanyaan itu bergema di kepalaku, tapi bibirku tak mampu mengucapkannya.
“Sudah, ayo bangun.” Ia mengulurkan tangan padaku. Sentuhannya hangat. Dengan sekali tarik, aku berdiri di sampingnya.
“Kalau begitu, latihan kita cukup sampai di sini. Sampai jumpa, Levis!” katanya riang, seperti baru saja tidak mengucapkan kata-kata yang membuat dadaku begitu berat.
Aku hanya bisa memandanginya berjalan menjauh, meninggalkanku sendirian di bawah pohon besar itu. Seperti biasa, Chely selalu membuatku penasaran. Dia seperti teka-teki yang tidak pernah selesai, semakin aku mencoba memahaminya, semakin aku tersesat.
Senja berubah gelap. Aku memutuskan pulang. Udara semakin dingin, menembus baju sederhana buatan ayahku. Setiap hembusannya seperti menusuk kulitku.
Di tengah perjalanan, lolongan serigala menggema dari dalam hutan. Aku menegakkan tubuh, waspada. Apa malam ini bulan purnama? Kalau iya, aku harus berhati-hati.
Di kejauhan, kulihat cahaya api unggun. Ada seseorang di tengah hutan. Haruskah aku menghampirinya? Atau lebih baik aku terus berjalan? Langkahku ragu, tapi dingin dan firasat buruk membuatku memilih mendekat.
Seorang wanita tua dengan pakaian musim dingin menghampiriku. “Nak, mari sini. Malam begini berbahaya.” Ia menaruh kain hangat di pundakku.
Aku menurut. Ia membawaku ke rumahnya. Rumah itu sederhana, terbuat dari bambu-bambu kokoh. Saat aku masuk, udara hangat langsung menyambutku.
“Nak, duduklah,” katanya sambil berjalan ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali membawa secangkir teh hangat.
Aku meneguknya pelan, lalu menjawab pertanyaannya ketika ia bertanya, “Apa yang kau lakukan malam-malam di tengah hutan sendirian?”
“Sore tadi aku berlatih bersama teman, Nek. Tapi dia sudah pulang duluan, dan… aku sedikit tersesat.”
Wanita tua itu tersenyum lembut. Ia mengusap rambutku, lalu berkata pelan, “Nenek berharap cucu nenek masih ada di sini.”
Aku menatapnya bingung. Cucunya?
“Memangnya, cucu nenek pergi ke mana?” tanyaku polos.
Ekspresi wajahnya berubah sendu. “Cucu nenek adalah seorang pria kecil. Dulu dia senang sekali bermain dengan bonekanya. Tapi suatu hari orang tuanya berpisah, dan dia memilih ikut bersama ibunya. Sejak saat itu, dia tidak pernah kembali. Begitu juga ayahnya… entah ke mana mereka pergi.”
Air mata menetes di wajahnya. Aku buru-buru mengambil kain, menghapus air matanya. “Nek, suatu saat kalau aku sudah besar… aku akan mencari cucu nenek itu.”
Wanita tua itu tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Terima kasih, Nak.”
Aku lalu melihat sebuah rak penuh buku. “Nek, bolehkah aku membaca buku-buku itu?”
Ia mengangguk. Aku mengambil sebuah buku berjudul The Guardians From Casilk Swamp, karya Celyne G.
Buku itu bercerita tentang rawa Casilk dan makhluk-makhluk mitologi di dalamnya. Ada tingkatan kekuatan mereka: dari sangat lemah, lemah, biasa, kuat, langka, hingga dewa.
Dan ada satu lagi tingkatan misterius, belum pernah dicapai oleh siapa pun.
Di antara banyak makhluk, ada satu yang paling menarik perhatianku: Arhea. Makhluk yang disebut sebagai dewa dari rawa Casilk. Tidak banyak yang diketahui tentangnya, hanya bahwa ia tercipta dari sebuah “ketidaksengajaan.”
Aku membaca dengan mata berbinar. Rawa Casilk… suatu saat aku pasti akan pergi ke sana.
Malam semakin larut. Nenek itu menunjuk kamar kosong. “Tidurlah di sana, Nak. Jangan terlalu banyak membaca.”
Aku tersenyum dan mengangguk. Saat masuk ke kamar, aku merasakan keharuman samar. Ruangan itu tertata rapi, seperti sudah lama dipersiapkan untuk seseorang. Apa ini kamar untuk cucunya?
Aku berbaring di kasur empuk, mencoba membaca satu buku lagi berjudul Ordeya, Makhluk yang Malang. Karya penulis yang sama.
Kisah tentang boneka burung dan anak kecil yang bersatu menjadi makhluk bernama Ordeya. Sosok dengan tubuh ramping, sayap besar, dan paruh besi yang mampu membekukan apa saja dengan sekali hempasan tangan.
Aku berhenti membaca ketika samar-samar terdengar suara nenek dari luar kamar. “Cucuku sayang, aku sudah lama menunggumu. Kapan kau akan pulang? Kamar ini sudah kupersiapkan untukmu.”
Suara itu membuatku merinding. Apa yang sebenarnya terjadi dengan nenek ini?
Aku menutup buku, menarik selimut. Malam sudah larut, dan aku merasa mataku berat. Esok hari, aku harus pulang…
Keesokan paginya, Levis terbangun. Di sebelahnya, beberapa buku yang semalam ia baca sudah berantakan, berserakan tanpa arah. Ia menghela napas pelan.
“Maaf, Nek… aku membuat kamarmu berantakan. Aku akan segera merapikannya,” ujarnya dalam hati sambil menunduk.
Tangannya lincah menyusun kembali buku-buku itu ke tempat semula. Setelah semuanya rapi, ia bangkit dari tempat tidur. Langkah kakinya terasa ringan, meski pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran tentang rumah asing yang kini ia tinggali.
Saat keluar kamar, Levis baru menyadari ada satu ruangan lain yang belum ia perhatikan. Ruangan itu terhubung langsung dengan sebuah teras samping rumah. Pintu kacanya membuat pandangan Levis tembus ke luar. Dari sana ia melihat sebuah platform kecil, lantainya dipenuhi rumput hijau subur yang tampak segar diterpa cahaya pagi.
Teras itu berbentuk persegi, cukup luas untuk memelihara seekor domba. Namun, yang membuatnya tertegun adalah ujung platform tersebut: jurang yang seakan menelan pandangan. Pagar kaca mengelilinginya, memberi rasa aman sekaligus menambah kesan megah.
Di tengah platform itu, Levis melihat sosok yang sudah tak asing: nenek yang semalam menolongnya. Ia belum tahu siapa nama nenek itu, tapi sosoknya terasa penuh rahasia.
Semakin dekat ia ke pintu kaca, semakin jelas terlihat bahwa sang nenek tengah berlatih pedang. Tubuhnya tampak bugar, gerakannya luwes, seolah usianya tak lagi relevan. Levis heran—bukankah seharusnya beliau sudah cukup berumur? Bagaimana bisa ia bergerak secepat itu?
Nenek itu menghentikan latihannya ketika menyadari keberadaan Levis. Ia tersenyum lembut dan melambaikan tangan.
“Buka saja pintunya, Nak. Itu tidak dikunci!” serunya dengan suara jernih.
Levis pun membuka pintu kaca itu, lalu menjejakkan kaki di atas hamparan rumput. Rasanya sejuk, nyaman, seperti dipeluk bumi.
Nenek kembali melanjutkan latihannya. Tebasan pedangnya menorehkan bunyi angin, seakan ada musuh tak kasatmata di hadapannya.
“Apakah ada yang kau butuhkan, Nak?” tanya sang nenek tanpa menoleh, seolah ia bisa membaca kegelisahan Levis dari gerakannya saja.
Levis menatap penuh kagum. “Hebat sekali… aku juga ingin bisa menguasai pedang seperti itu. Alangkah kerennya kalau aku mampu melakukannya,” pikirnya.
Ia memberanikan diri bertanya, “Nek, di mana saya bisa membersihkan diri? Badan saya terasa lengket sejak kemarin.”
Nenek berhenti, lalu menoleh padanya. Senyumnya tetap hangat.
“Dekat sini ada sebuah danau ajaib. Konon danau itu dibuat oleh seorang dewa yang pernah berkelana di wilayah ini. Jika kau mau, pergilah ke sana.”
Levis spontan teringat sesuatu—ia tidak membawa pakaian ganti. Ia jadi ragu, menunduk sejenak. Namun, nenek itu seakan membaca isi hatinya.
“Tidak perlu khawatir, Nak. Pergilah saja. Nenek akan menyiapkan makanan untukmu setelah kau kembali,” ujarnya lembut.
Levis mengangguk pelan. “Baiklah… Tapi, Nek, bolehkah saya meminta sesuatu?”
Nenek menunggu, matanya teduh.
“Bisakah Nenek mengajari saya menggunakan pedang? Yah, walaupun saya masih kecil, saya ingin setidaknya bisa menguasai teknik dasar. Siapa tahu ini berguna di masa depan.” Levis menggaruk kepalanya, sedikit malu, tapi sorot matanya tulus.
Nenek tersenyum tipis, lalu berjalan ke sisi platform. Ia mengambil sebuah pedang kayu kecil dan melemparkannya ke arah Levis. “Pakailah ini.”
Levis menangkapnya dengan kedua tangan.
“Jika kau ingin ahli dalam berpedang, kuasailah dasar-dasarnya lebih dulu. Kuda-kuda, fokus pada lawan, dan perhatikan selalu skenario pertarungan yang ada di sekitarmu,” jelas nenek itu.
Levis mencoba mengikuti arahan. Pedang kayu itu terasa ringan, namun memberi energi aneh dalam genggamannya.
“Perlihatkan pada Nenek, apa itu tebasan,” ujarnya sambil mengelap keringat.
Levis mengambil posisi. Ia mengayunkan pedang ke samping lalu menebas udara dengan sepenuh tenaga.
Sekejap saja, angin kencang berhembus. Tubuh Levis hampir ikut tertarik. Ia terperangah. “Ini… kekuatan sebesar ini hanya dari tebasan? Apakah ini karena darah ayahku?”
Ekspresi nenek berubah serius. Ia melangkah mendekat. “Luar biasa, Nak. Kau seperti jenius yang hanya lahir seratus tahun sekali. Tapi sayangnya…” ia menatap platform, “…dengan kekuatanmu itu, kita tak bisa melanjutkan latihan di sini.”
Levis mengerutkan dahi. “Kenapa, Nek?”
Nenek memandang alas rumput, lalu menghela napas. “Platform ini peninggalan suamiku. Jika kita teruskan di sini, aku khawatir tempat ini akan roboh. Aku tak ingin warisannya hancur.”
Levis terdiam. Antara bangga dan sedih. “Aku tak ingin membuat nenek kehilangan sesuatu yang berharga baginya…” pikirnya.
Ia lalu menyerahkan pedang kayu itu kembali. “Kalau begitu, saya akan pergi ke danau ajaib itu dulu, Nek.”
Nenek tersenyum tipis. “Apakah kau tahu nama dan letaknya?”
Levis terdiam sejenak, lalu menggeleng.
“Namanya Danau Cafin. Letaknya tidak jauh dari Desa Cafin. Jika kau tahu tempat itu, kau pasti bisa menemukannya.”
Danau Cafin… semalam aku sempat membaca tentang itu di buku. Sepertinya memang tidak terlalu jauh… kurasa.
Levis tersenyum tipis. “Saya akan pergi dulu, Nek!”
“Benar. Pergilah lurus, dan kau akan sampai ke Desa Cafin. Danau itu ada di ujungnya.”
Levis pamit, meninggalkan rumah. Jalan setapak dari bebatuan membawanya ke dalam hutan kecil dengan pepohonan rindang di kanan-kiri. Sesekali ia mendongak ke langit biru, berharap menemukan tanda jalan lebih cepat.
Namun jarak terasa panjang. “Andai ada cara untuk sampai lebih cepat… tapi apa? Aku bahkan tak bisa memikirkan apa pun,” gerutunya. Frustrasi, ia terus berjalan tanpa arah pasti, hanya berharap ada titik terang di ujung jalan.
Di tengah perjalanan, pikirannya kembali pada keluarganya. “Ayah… Ibu… apakah kalian tidak menyadari bahwa anak kalian tak pulang-pulang?” hatinya berdesir.
Akhirnya, suara aktivitas manusia terdengar. Pohon-pohon tinggi mulai tergantikan dengan pemandangan hutan yang ditebang. Orang-orang lalu lalang, sebagian mendorong gerobak penuh batang pohon.
Levis mendekat, lalu melihat seorang pria paruh baya bersantai di bawah pohon. Ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Hei, Nak. Apa yang kau lakukan di sini? Tempat ini berbahaya untuk anak seusiamu,” tegur pria itu.
“Maaf, Paman. Saya tersesat. Saya mencari Danau Cafin… apakah Paman tahu di mana itu?”
Pria itu mengangguk mantap. “Tentu. Danau itu berada tepat di ujung Desa Cafin. Masuklah ke desa, jalan lurus sampai habis, maka kau akan menemukannya.”
Levis menunduk hormat. “Terima kasih, Paman.”
Ia melanjutkan langkah ke desa. Pagi itu desa sudah ramai: pedagang membuka gerai, aroma roti hangat menyebar, membuat perut Levis bergejolak.
Untungnya, ia masih punya beberapa koin perak dari ayahnya. “Syukurlah… kalau tidak, aku pasti sudah kelaparan.” Ia membeli roti hangat seharga tiga koin perak, lalu menyantapnya perlahan. Namun satu roti belum cukup untuk mengenyangkan.
Ia tetap melanjutkan perjalanan. Desa Cafin ternyata cukup luas. Beberapa bangunan tampak megah—mungkin milik keluarga yang masih terhubung dengan kerajaan.
Saat sampai di pusat desa, kerumunan besar menarik perhatiannya. Orang-orang berkumpul, wajah mereka penuh harap. Di atas mereka, melayang seorang wanita berambut pirang panjang, tubuhnya dihiasi perhiasan berkilau.
Levis menahan napas. Sosok itu memancarkan aura yang tak biasa.
“Apakah dia… seorang Dewi?” gumamnya.
Wanita itu membagikan makanan dengan senyum tulus. Suaranya menggema, penuh karisma.
“Ahaha, kemarilah saudaraku! Jika kalian ingin makanan sehat, mendekatlah. Aku akan membagikannya pada kalian.”
Kerumunan bersorak. “Ya! Dewi Kemakmuran, Euthenia!”
Levis terpaku. Jadi… dia adalah Euthenia… Seorang Dewi yang begitu ramah, baik, dan juga… cantik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!