Orang yang berdiri di tengah kerumunan itu ternyata benar adalah Dewi Euthenia. Mata Levis berbinar melihat sosoknya. Ia bisa merasakan aura lembut sekaligus megah yang memancar darinya.
“Dia… benar-benar berbeda. Begitu ramah, begitu baik… dan cantik sekali.”
Dengan ragu Levis mendekat ke kerumunan. Ia menundukkan kepala, memasang wajah sedih. Itu satu-satunya cara yang terpikir olehnya untuk mendapat makanan.
Euthenia, seolah bisa merasakan sesuatu dari Levis, langsung menghampirinya. “Hai, Nak. Apa kau anak baru di desa ini? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Senyum hangat sang Dewi menusuk hati Levis. Ia buru-buru memalingkan wajah agar tidak terlihat gugup.
“S-saya hanya orang lewat,” katanya terbata. “Tolong beri saya sedikit makanan… saya lapar.”
“Ambillah.”
Dengan gerakan ringan, Euthenia melemparkan sepotong roti besar ke arah Levis. Ia menangkapnya, dan perutnya langsung berteriak girang.
“Terima kasih,” ucap Levis tulus.
Namun, bukannya kembali membagikan makanan kepada kerumunan, Dewi itu malah semakin mendekat. Sorot matanya kini terarah penuh pada Levis.
“Hei,” ucapnya lirih, “aku tertarik padamu. Bisakah kita bicara sebentar?”
Levis menelan ludah. “Kenapa Dewi yang dipuja semua orang tiba-tiba mengajakku bicara…? Apa istimewanya aku?”
Ia hanya mampu mengangguk.
Sekejap, Euthenia memindahkan mereka dengan kekuatannya. Dari pusat desa yang ramai, kini mereka berdiri di jalan sepi di pinggiran desa. Angin membawa aroma dedaunan, jauh dari keramaian.
Dewi yang tadi melayang kini berjalan berdampingan dengannya. Levis hanya bisa mengikuti langkahnya. “Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku? Tujuanku jelas—aku ingin ke Danau Cafin. Tapi… kenapa aku justru dibawa ke sini?”
“Hei,” Euthenia membuka percakapan, matanya berkilau penasaran. “Apa kau seorang dewa?”
Levis terdiam. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab. “Mungkin…” ia akhirnya berkata lirih. Bagaimana mungkin aku menjawabnya dengan pasti? Aku hanyalah seorang anak kecil… lalu kenapa seorang Dewi peduli padaku?
Euthenia menunduk sedikit, menghela napas, lalu suaranya berubah lebih lembut, seakan berbisik ke telinga Levis. “Aku mencium aroma yang tidak asing darimu. Indra penciumanku sangat tajam… dan aroma itu… tidak mungkin salah.”
Levis menegakkan tubuh. “Aroma siapa yang kau maksud, hingga membuat seorang Dewi penasaran?”
Euthenia menatapnya dalam-dalam. “Dengan samar aku merasakan kehadiran seorang dewa… seseorang yang dulu pernah jadi rekanku di Gate of Death.”
Levis terkejut. Kata itu asing, tapi terdengar menakutkan. “Gate of Death? Apa itu… tempat seperti neraka? Atau medan perang para dewa? Hanya mendengar namanya saja sudah membuatku muak.”
“Siapa rekanmu itu? Dan apa maksud dari Gate of Death?” Levis memberanikan diri bertanya.
Dewi Euthenia semakin mendekat. Baju putih sutranya menyentuh Levis, lembut seperti awan. Dengan nada rendah ia berbisik, “Luke Vardict… apa kau mengenalnya?”
Levis tersentak. Jantungnya seakan berhenti berdetak sesaat. “A-apa…? Itu… itu ayahku.”
Sekejap ekspresi Dewi itu berubah. Ia terkejut, meski berusaha menutupinya dengan cepat. Ekspresi tidak percaya muncul sesaat, lalu lenyap begitu saja. “Jadi begitu…” gumamnya, kemudian ia mengangguk pelan.
Levis menatapnya penuh tanda tanya. “Kenapa wajahnya tiba-tiba berubah? Apa sebenarnya hubungan ayah dengan Dewi ini?”
“Ada apa, Dewi?” tanya Levis.
Euthenia menoleh, tersenyum samar. “Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya… sedikit bernostalgia.” Lalu ia berganti topik. “Lalu, kemana tujuanmu?”
“Saya akan pergi menuju Danau Cafin.”
Wajah Euthenia langsung bersinar. “Ah!” serunya seperti menemukan ide. Ia menggenggam tangan Levis. “Kalau begitu, ayo! Aku tahu tempat itu. Tapi kita harus cepat.”
Levis nyaris tak sempat protes ketika tubuhnya ditarik lari. Jalan desa mulai ramai, orang-orang bisa saja melihat Dewi mereka dan berkerumun. Untuk menghindari itu, mereka berlari secepat mungkin.
Seekor anjing liar sempat menyalak melihat mereka, namun segera menghilang dari pandangan. Hingga akhirnya, rumah-rumah desa habis digantikan pepohonan rindang. Dan di balik pepohonan itu, sebuah pemandangan menakjubkan menanti.
“Lihat!” Euthenia berseru girang. “Itu Danau Cafin!”
Levis tertegun. Danau itu berkilau jernih, memantulkan cahaya seperti permata biru. Airnya harum, menyegarkan, bahkan dari kejauhan. Dengan cepat ia berlari ke tepi danau, membasuh wajahnya. Sensasi segar itu membuatnya hampir lupa bernapas.
“Airnya… harum sekali. Rasanya aku belum pernah merasakan kesegaran seperti ini.”
Ikan-ikan berkilau berenang ke sana kemari, seolah menari mencari kebahagiaan. Levis menoleh ke belakang, melihat Euthenia sedang merapikan rambutnya.
“Dewi, apa kau ingin bermain air?” tanyanya polos.
Euthenia tersenyum, namun menggeleng. “Maaf, aku harus segera pergi. Warga desa mungkin sedang membutuhkanku.” Ia berbalik, langkahnya ringan.
Levis buru-buru bersuara, “Baiklah… terima kasih sudah mengantarkanku kemari, Dewi.”
Euthenia menghentikan langkahnya. Ia menoleh sekali lagi. “Ngomong-ngomong, siapa namamu?”
“Saya… Levis Vardict.”
Euthenia tersenyum, sorot matanya berkilau. “Begitu, ya… Baiklah, aku akan mengingatnya. Sampai jumpa!”
Dengan itu, tubuhnya menghilang begitu saja, seakan menyatu dengan cahaya.
Levis terdiam. “Dewi… apa yang sebenarnya kau sembunyikan? Tapi… ah, sudahlah. Yang penting sekarang aku harus membersihkan diri dulu.”
Ia menoleh ke air, lalu menyadari sesuatu aneh. Baju yang ia kenakan tidak basah sama sekali, meski tadi ia sudah mencipratkan air ke tubuhnya.
“Aneh…” Levis mencoba lagi, membentuk mangkuk dengan kedua tangan, mengambil air, lalu menyiramkan ke bajunya. Hasilnya sama—tidak ada bekas basah.
“Mungkinkah ini efek dari baju yang diberikan Ayah? Atau justru air danau ini yang memiliki sifat luar biasa?”
Namun satu hal pasti: baju itu kini harum sekali.
Saat ia asyik membersihkan diri, tiba-tiba seseorang dengan jubah hitam muncul di sisi danau. Wajahnya tertutup bayangan, gerakannya senyap.
Levis sontak menegakkan tubuh. “Hei! Siapa di sana?”
Orang itu tak menjawab. Ia hanya berdiri, lalu perlahan melangkah mendekati Levis.
Suaranya akhirnya terdengar, dingin menusuk. “Benar… kau orangnya. Aku menemukanku.”
Seketika tubuhnya menghilang, seakan melebur bersama udara. Levis panik, matanya menyapu sekitar, namun sosok itu lenyap tanpa jejak.
“Sebenarnya siapa dia? Kenapa dia mencari… aku?”
Rasa merinding menjalar ke punggungnya. Ia buru-buru meninggalkan danau, berlari menuju desa. “Nenek pasti menungguku di rumah. Aku harus cepat kembali…”
Namun pikirannya kacau. “Tapi… orang tadi… jangan-jangan… dia hantu?”
Bayangan itu terus menghantuinya hingga ia tiba kembali di Desa Cafin.
Desa kini lebih ramai dari sebelumnya. Pedagang berteriak menawarkan dagangan. Salah satunya mengangkat seekor ikan segar. “Hei, mampirlah! Ada diskon hari ini!”
Seorang pembeli menghampiri. “Berapa harganya?”
“Kalau satu ekor, sepuluh koin perak. Kalau dua ekor… lebih murah, hanya dua puluh koin!”
Levis memasang wajah heran. “…Bukankah itu sama saja?”
Namun pembeli itu tetap membeli dua ekor. Levis hanya bisa menghela napas. “Pak… sepertinya kau dibohongi.”
Tak lama, pembeli itu menoleh ke Levis. “Hei, Nak. Kau mau satu? Kalau mau, ikutlah denganku.”
Levis ragu, tapi akhirnya mengikutinya. Mereka masuk ke sebuah tempat makan kecil dan duduk.
Pria itu mengeluarkan salah satu ikan. Dengan gerakan cepat, tiba-tiba ikan itu terbakar, matang sempurna, dan aroma gurih langsung menusuk hidung Levis.
Levis membelalakkan mata. “Paman… bagaimana kau melakukannya? Ini seperti dipanggang dengan sempurna!”
Pria itu tersenyum. “Fusion. Jika kau menggabungkan dua kekuatan berbeda aliran, keduanya akan saling menolak. Jika dipaksakan, hasilnya adalah percikan api… yang tidak terlihat oleh mata.”
Levis menatap kagum. “Fusion… jadi begitu caranya. Teknik kuno penyihir, katanya? Luar biasa.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments