Keesokan paginya, Levis terbangun. Di sebelahnya, beberapa buku yang semalam ia baca sudah berantakan, berserakan tanpa arah. Ia menghela napas pelan.
“Maaf, Nek… aku membuat kamarmu berantakan. Aku akan segera merapikannya,” ujarnya dalam hati sambil menunduk.
Tangannya lincah menyusun kembali buku-buku itu ke tempat semula. Setelah semuanya rapi, ia bangkit dari tempat tidur. Langkah kakinya terasa ringan, meski pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran tentang rumah asing yang kini ia tinggali.
Saat keluar kamar, Levis baru menyadari ada satu ruangan lain yang belum ia perhatikan. Ruangan itu terhubung langsung dengan sebuah teras samping rumah. Pintu kacanya membuat pandangan Levis tembus ke luar. Dari sana ia melihat sebuah platform kecil, lantainya dipenuhi rumput hijau subur yang tampak segar diterpa cahaya pagi.
Teras itu berbentuk persegi, cukup luas untuk memelihara seekor domba. Namun, yang membuatnya tertegun adalah ujung platform tersebut: jurang yang seakan menelan pandangan. Pagar kaca mengelilinginya, memberi rasa aman sekaligus menambah kesan megah.
Di tengah platform itu, Levis melihat sosok yang sudah tak asing: nenek yang semalam menolongnya. Ia belum tahu siapa nama nenek itu, tapi sosoknya terasa penuh rahasia.
Semakin dekat ia ke pintu kaca, semakin jelas terlihat bahwa sang nenek tengah berlatih pedang. Tubuhnya tampak bugar, gerakannya luwes, seolah usianya tak lagi relevan. Levis heran—bukankah seharusnya beliau sudah cukup berumur? Bagaimana bisa ia bergerak secepat itu?
Nenek itu menghentikan latihannya ketika menyadari keberadaan Levis. Ia tersenyum lembut dan melambaikan tangan.
“Buka saja pintunya, Nak. Itu tidak dikunci!” serunya dengan suara jernih.
Levis pun membuka pintu kaca itu, lalu menjejakkan kaki di atas hamparan rumput. Rasanya sejuk, nyaman, seperti dipeluk bumi.
Nenek kembali melanjutkan latihannya. Tebasan pedangnya menorehkan bunyi angin, seakan ada musuh tak kasatmata di hadapannya.
“Apakah ada yang kau butuhkan, Nak?” tanya sang nenek tanpa menoleh, seolah ia bisa membaca kegelisahan Levis dari gerakannya saja.
Levis menatap penuh kagum. “Hebat sekali… aku juga ingin bisa menguasai pedang seperti itu. Alangkah kerennya kalau aku mampu melakukannya,” pikirnya.
Ia memberanikan diri bertanya, “Nek, di mana saya bisa membersihkan diri? Badan saya terasa lengket sejak kemarin.”
Nenek berhenti, lalu menoleh padanya. Senyumnya tetap hangat.
“Dekat sini ada sebuah danau ajaib. Konon danau itu dibuat oleh seorang dewa yang pernah berkelana di wilayah ini. Jika kau mau, pergilah ke sana.”
Levis spontan teringat sesuatu—ia tidak membawa pakaian ganti. Ia jadi ragu, menunduk sejenak. Namun, nenek itu seakan membaca isi hatinya.
“Tidak perlu khawatir, Nak. Pergilah saja. Nenek akan menyiapkan makanan untukmu setelah kau kembali,” ujarnya lembut.
Levis mengangguk pelan. “Baiklah… Tapi, Nek, bolehkah saya meminta sesuatu?”
Nenek menunggu, matanya teduh.
“Bisakah Nenek mengajari saya menggunakan pedang? Yah, walaupun saya masih kecil, saya ingin setidaknya bisa menguasai teknik dasar. Siapa tahu ini berguna di masa depan.” Levis menggaruk kepalanya, sedikit malu, tapi sorot matanya tulus.
Nenek tersenyum tipis, lalu berjalan ke sisi platform. Ia mengambil sebuah pedang kayu kecil dan melemparkannya ke arah Levis. “Pakailah ini.”
Levis menangkapnya dengan kedua tangan.
“Jika kau ingin ahli dalam berpedang, kuasailah dasar-dasarnya lebih dulu. Kuda-kuda, fokus pada lawan, dan perhatikan selalu skenario pertarungan yang ada di sekitarmu,” jelas nenek itu.
Levis mencoba mengikuti arahan. Pedang kayu itu terasa ringan, namun memberi energi aneh dalam genggamannya.
“Perlihatkan pada Nenek, apa itu tebasan,” ujarnya sambil mengelap keringat.
Levis mengambil posisi. Ia mengayunkan pedang ke samping lalu menebas udara dengan sepenuh tenaga.
Sekejap saja, angin kencang berhembus. Tubuh Levis hampir ikut tertarik. Ia terperangah. “Ini… kekuatan sebesar ini hanya dari tebasan? Apakah ini karena darah ayahku?”
Ekspresi nenek berubah serius. Ia melangkah mendekat. “Luar biasa, Nak. Kau seperti jenius yang hanya lahir seratus tahun sekali. Tapi sayangnya…” ia menatap platform, “…dengan kekuatanmu itu, kita tak bisa melanjutkan latihan di sini.”
Levis mengerutkan dahi. “Kenapa, Nek?”
Nenek memandang alas rumput, lalu menghela napas. “Platform ini peninggalan suamiku. Jika kita teruskan di sini, aku khawatir tempat ini akan roboh. Aku tak ingin warisannya hancur.”
Levis terdiam. Antara bangga dan sedih. “Aku tak ingin membuat nenek kehilangan sesuatu yang berharga baginya…” pikirnya.
Ia lalu menyerahkan pedang kayu itu kembali. “Kalau begitu, saya akan pergi ke danau ajaib itu dulu, Nek.”
Nenek tersenyum tipis. “Apakah kau tahu nama dan letaknya?”
Levis terdiam sejenak, lalu menggeleng.
“Namanya Danau Cafin. Letaknya tidak jauh dari Desa Cafin. Jika kau tahu tempat itu, kau pasti bisa menemukannya.”
Danau Cafin… semalam aku sempat membaca tentang itu di buku. Sepertinya memang tidak terlalu jauh… kurasa.
Levis tersenyum tipis. “Saya akan pergi dulu, Nek!”
“Benar. Pergilah lurus, dan kau akan sampai ke Desa Cafin. Danau itu ada di ujungnya.”
Levis pamit, meninggalkan rumah. Jalan setapak dari bebatuan membawanya ke dalam hutan kecil dengan pepohonan rindang di kanan-kiri. Sesekali ia mendongak ke langit biru, berharap menemukan tanda jalan lebih cepat.
Namun jarak terasa panjang. “Andai ada cara untuk sampai lebih cepat… tapi apa? Aku bahkan tak bisa memikirkan apa pun,” gerutunya. Frustrasi, ia terus berjalan tanpa arah pasti, hanya berharap ada titik terang di ujung jalan.
Di tengah perjalanan, pikirannya kembali pada keluarganya. “Ayah… Ibu… apakah kalian tidak menyadari bahwa anak kalian tak pulang-pulang?” hatinya berdesir.
Akhirnya, suara aktivitas manusia terdengar. Pohon-pohon tinggi mulai tergantikan dengan pemandangan hutan yang ditebang. Orang-orang lalu lalang, sebagian mendorong gerobak penuh batang pohon.
Levis mendekat, lalu melihat seorang pria paruh baya bersantai di bawah pohon. Ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Hei, Nak. Apa yang kau lakukan di sini? Tempat ini berbahaya untuk anak seusiamu,” tegur pria itu.
“Maaf, Paman. Saya tersesat. Saya mencari Danau Cafin… apakah Paman tahu di mana itu?”
Pria itu mengangguk mantap. “Tentu. Danau itu berada tepat di ujung Desa Cafin. Masuklah ke desa, jalan lurus sampai habis, maka kau akan menemukannya.”
Levis menunduk hormat. “Terima kasih, Paman.”
Ia melanjutkan langkah ke desa. Pagi itu desa sudah ramai: pedagang membuka gerai, aroma roti hangat menyebar, membuat perut Levis bergejolak.
Untungnya, ia masih punya beberapa koin perak dari ayahnya. “Syukurlah… kalau tidak, aku pasti sudah kelaparan.” Ia membeli roti hangat seharga tiga koin perak, lalu menyantapnya perlahan. Namun satu roti belum cukup untuk mengenyangkan.
Ia tetap melanjutkan perjalanan. Desa Cafin ternyata cukup luas. Beberapa bangunan tampak megah—mungkin milik keluarga yang masih terhubung dengan kerajaan.
Saat sampai di pusat desa, kerumunan besar menarik perhatiannya. Orang-orang berkumpul, wajah mereka penuh harap. Di atas mereka, melayang seorang wanita berambut pirang panjang, tubuhnya dihiasi perhiasan berkilau.
Levis menahan napas. Sosok itu memancarkan aura yang tak biasa.
“Apakah dia… seorang Dewi?” gumamnya.
Wanita itu membagikan makanan dengan senyum tulus. Suaranya menggema, penuh karisma.
“Ahaha, kemarilah saudaraku! Jika kalian ingin makanan sehat, mendekatlah. Aku akan membagikannya pada kalian.”
Kerumunan bersorak. “Ya! Dewi Kemakmuran, Euthenia!”
Levis terpaku. Jadi… dia adalah Euthenia… Seorang Dewi yang begitu ramah, baik, dan juga… cantik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments