"Yundhi, sini kenalin calon istri kamu!"
"Haaah?"
Tiara dan Yundhi kompak menyahut dengan mulut mereka yang kini melebar.
"Tiara kenalkan ini cucu nenek, Yundhi Edward Prasetya. Yundhi kenalkan ini Tiara, oma pengen kamu jadiin Tiara calon istrimu!"
Tiara mengelus belakang lehernya dengan gelisah, sedang pria di depannya menatap tajam.
"Adu nek maaf, punten, maksudnya apa ya?" tanya Tiara dengan sedikit gelagapan sambil salah tingkah. Bagaimana tidak terkejut, pacaran tidak, kenal apalagi, sekarang diklaim calon istri, apa maksudnya coba?
Tenang Ra tenang!
"Kamu jangan manggil nenek dong, panggil 'oma' juga ya, kayak Yundhi!" sembari bangun dari duduknya, oma menarik tangan cucunya yang terlihat enggan bergabung dengan mereka.
"Oma apaan sih? Calon istri calon istri, ga ada, Yundhi engga kenal juga." sambil merengutkan bibir lelaki yang katanya bernama Yundhi ikut duduk bersama Tiara di sofa.
"Makanya sekarang kenalan, ini gadis baik-baik, tadi dia nganter oma pulang!"
"Ogah ah," dengan wajah yang di buang ke sembarang arah Yundhi menolak mentah-mentah dikenalkan dengan Tiara.
Tiara sebenarnya ingin mengeluarkan wajah penolakan seperti Yundhi, tapi mengingat yang ia hadapi adakah orang tua.
'Saya juga ogah dikenalin ama situ.'
"Cucunya ga mau nek, engga apa-apa saya pulang aja." Ujar Tiara dengan senyum manis buatan.
"Aaaakh"
Tiba-tiba si nenek memegang dada kirinya dan terlihat kesakitan.
"Omaaa!!" dengan wajah panik Yundhi meraih tubuh sang nenek dengan cepat. Ia yang tadinya ada di seberang dalam hitungan detik telah berada di samping neneknya.
Tiarapun mendekat ke arah wanita tua itu dan duduk di sampingnya, berharap jika sang nenek tidak kenapa-kenapa.
"Oma masih sakit, kenapa maksa minta jalan-jalan? Sekarang juga minta aneh-aneh."
Tiara sudah membuka mulut mau balik memarahi, orang tuanya sakit malah di omeli.
"Ini permintaan terakhir oma, menikahlahlah dengan Tiara!"
"Nenek jangan ngomong dulu!" ujar Tiara yang kini terlihat akan menangis. "Yang mana yang sakit nek? Sini Tiara obatin!"
"Oma gue jantungan, woy. Mau diobatin pake apa?" Yundhi sedikit ketus menimpali Tiara, tapi Tiara tidak peduli dan terus menanyai nenek yang baru ia kenal itu.
Sambil terus memegangi dadanya, nenek itu terlihat seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Kalian berjanjilah dulu mau menikah!"
Kalimat wanita tua itu sontak membuat Yundhi dan Tiara berpandangan.
"Aaaakh."
Si nenek semakin terlihat kesakitan.
"Iya iya Yundhi janji."
Nenek itu kini memandang ke arah Tiara. Merasa tidak punya pilihan lain Tiara hanya mengangguk pelan, bahkan sangat pelan iitupun hanya sekali.
"Aaakh," nenek itu makin terlihat menderita.
"Iya saya juga janji nek!" akhirnya Tiara memantapkan dirinya. Meski dia merasa baru saja di jebak.
Nenek itupun tersenyum.
"Yundhi, tolong obat oma di tas!"
Yundhi segera meraih tas neneknya yang berada di atas meja. Sedangkan Tiara terus memegangi tangan wanita tua itu. Nenek itu kemudian meminum obat yang diberikan cucunya dengan teh blackcurrant yang ada di atas meja.
"Nek!" Tiara ingin mencegah si nenek minum obatnya, tapi dia kalah cepat karena nenek sudah menelan obat tersebut dengan tehnya.
"Kamu kenapa, mau bunuh oma saya?"
Astaghfirullah, sabar Ra sabar!
"Bukan gitu, setahu saya kurang baik minum obat dengan teh atau minuman lain selain air putih, maaf kalau saya lancang." Tiara menciut melihat tatapan menusuk Yundhi ke arahnya. "Maaf ya nek!"
"Panggil oma, Oma Ranti, bisa kan Tiara." Oma Ranti terlihat lebih baik. Tiara bisa bernapas lega dan kembali duduk di tempat semula.
"Belum resmi jadi cucu mantu saya aja kamu udah perhatian, apalagi nanti kalau sudah menikah dengan Yundhi, dan kamu Yundi bersikap lembut dan lebih baik sama Tiara. Perlakukan dia seperti kamu berlaku sama oma dan mama kamu!"
Yundhi tidak menyanggupi tapi malah membuang muka.
"Oma udah baikan?" Tiara sedikit gugup karena ingin menyatakan pendapatnya tentang perjodohan yang baru saja dialaminya. Tapi ia sedikit ragu, malah cenderung takut kalau nanti oma Ranti sakit lagi. 'Bodo amat, dia kan kaya nanti bisa berobat ke dokter hebat.'
"Gini Nek, eh Oma, apa tidak sebaiknya kami saling menjajaki dulu. Saya baru kenal sama oma juga masnya, siapa tadi?...Yun...Yundhi iya? Gimana, boleh kan oma?" Tiara bicara sehalus mungkin agar tidak membuat oma Ranti kambuh.
"Pinter kamu." Sarkas Yundhi.
Tiara hanya membuang napas jengah melihat tingkah Yundhi terhadapnya. Siapa juga yang mau dijodohkan dengan pemuda hampir matang slengekan seperti dia?
"Boleh kok, boleh sekali. Kalian bisa mengatur waktu untuk bertemu, atau perlu oma yang atur?"
"JANGAN!!" Yundhi dan Tiara kompak bersahut.
"Biar nanti kami yang mengatur pertemuan oma." Ujar Tiara sambil menatap Yundhi meminta dukungan.
Yundhi yang tidak peka malah mengalihkan muka seakan tak ingin lama-lama melihat wajah Tiara.
"Kalau begitu kalin bertukar nomor ya sekarang, Oma seneng denger kalian kompak begini."
Tiara menyunggingkan senyum terpaksa manisnya kepada oma Ranti. Setelah bertukar nomor hape dan mengobrol basa basi dengan oma Ranti akhirnya Tiara memutuskan untuk pamit. Ia juga khawatir ayahnya menunggu di rumah dengan perasaan cemas.
"Tiara pamit ya oma."
Sambil membawa tas berisi sepatu yang baru di belinya Tiara berdiri dan mencium punggung tangan oma Ranti.
"Kamu di antar Yundhi saja ya," kata Oma Ranti saat mereka mulai berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Enggak usah oma, saya bisa naik taksi."
"Syukur deh." Ungkap Yundhi dengan suara pelan tapi masih bisa di dengar Tiara.
'Saya juga males kali pak.'
Tanpa menunggu izin oma Ranti, Tiara melangkah menuju pintu dan melambai pada wanita tua yang masih terlihat cantik itu.
Setelah memesan taksi, Tiara menyandarkan tubuh pada tembok pagar rumah megah yang baru dikunjunginya, menunggu taksi pesanannya datang. Tubuhnya terlihat kecil di bawah sandaran tembok yang lumayan tinggi dan kokoh.
'Tuhan semoga enggak lama, mana udah malam lagi.'
Tiiinn...
Tiara dikagetkan dengan suara klakson mobil bercat putih yang berhenti di depannya. Jendela mobil itu kemudian terbuka.
"Get in!" Yundhi menengokkan kepala ke arah jendela.
Tiara yang tahu kalau isi mobil itu adalah Yundhi segera membuang muka. Tidak ada nafsu baginya duduk semobil dengan lelaki yang baru dijodohkan dengannya itu. Atau sebut saja jodoh jebakan.
Yundhi tampak kesal dan kembali menekan klakson mobilnya.
"Saya belum berniat jadi cucu durhaka, kalau bukan oma yang maksa saya juga ga mau nganter kamu, mending sekarang kamu naik atau tetap disini sampai jadwal anjing tetangga saya di lepas untuk jalan-jalan."
Mendengar kalimat Yundhi, Tiara segera bangkit dari sandarannya. Ia menarik napas putus asa.
Dengan wajah lesu Tiara membuka pintu mobil mewah yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Sudah jelas Yundhi bukan pria baik, buktinya dia tidak turun membukakan pintu untuk Tiara. Menambah kuat perasaan bahwa Yundhi tidak suka padanya.
"Maaf ya pak sopir!"
Yundhi sontak menatap tajam ke arah Tiara, bukan hanya tajam, tapi juga menusuk penuh rasa jengkel.
"Bukan anda, tapi sopir taksi yang saya cancel, jangan ge er!" ujar Tiara santai.
Mobilpun mulai bergerak ke arah keluar komplek perumahan elit itu. Tidak ada percakapan yang terjadi antara Yundhi dan Tiara. Tiara juga tahu diri kalau Yundhi tidak menyukainya, jadi lebih baik tidak bicara daripada nanti di beri sahutan pedas.
"Antar saya ke mall saja, motor saya masih di parkiran, terimakasih."
Jelas, singkat, padat dan pas. Cukup kalimat itu saja yang akan dia ucapkan. Tak perlu acara basa-basi karena toh Yundhi juga pasti tidak ingin ngobrol apapun dengannya.
***
"Kok pulang malam nak?" ayah Tiara menyambut kedatangan anak gadis satu-satunya itu dengan wajah yang terlihat cemas.
"Maaf ayah, tadi Tiara tolong seorang nenek di mall. Dia gak bisa pulang sendiri." Jelas Tiara sekenanya. Dia tidak ingin ayahnya mengetahui apa yang baru dia alami, toh mungkin perjodohan itu tidak akan lama mengingat Yundhi tidak menyukainya.
"Ayah sudah makan?" Tiara melepas helm yang terpasang di kepalanya. "Tiara masakin dulu ya."
"Ayah udah masak, kamu bersihkan diri dulu, baru kita makan sama-sama."
Tiara mengangguk dan melangkah ke dalam rumah. Hari ini cukup membuatnya lelah, lelah jiwa lelah raga.
***
Tiara berangkat pagi-pagi ke sekolah tempatnya mengabdikan diri. Meski masih berstatus guru honorer, dia menjunjung tinggi loyalitas dan kedisiplinan dalam bekerja. Pekerjaannya juga mulia, seorang guru, pahlawan tanpa tanda jasa, profesi yang ia cita-citakan sedari kecil. Untuk mengajar Tiara selalu bersemangat karena itu dia menjadi guru idola di sekolahnya.
"Pagiiiii Mimi, Jenny, bunda Siti, Udo Halil, dan seeeeemua raga yang ada di sini, Tiara matahari sekolah ini sudah dataaaaaang!"
Suara merdu Tiara memenuhi ruang guru yang tadinya sepi padahal berisi dengan beberapa guru yang datang lebih awal darinya. Sontak semua mata tertuju pada Tiara.
Kehadiran Tiara memang selalu membuat suasana ramai, bahkan disaat semua orang butuh ketenangan, dia akan semakin gencar membuat onar.
"Ra, jam ngajar dimana sekarang?" tanya Mimi teman sesama honorer Tiara.
"Jam ke dua di XA, kenapa Mimi zeyeng?"
Mimi yang ditanya balik memberi senyum manis buatan yang artinya ada maunya pada Tiara.
"Minta tolong ya nanti jam terakhir awasin anak buah kelas XC, aku ada ujian, tapi sudah di siapin tugas kok buat anak-anak, bisa kan, kan kan kan?" Mimi merayu manja sambil mengerlingkan mata.
"Bisalah, jangan lupa sekalian makan siangnya, itu membuat saya lebih ikhlas lagi say."
Mendengar syarat Tiara kini giliran Mimi membulatkan mata "Itu namanya ga ikhlas." sarkas Mimi.
"Ya udah kalo ga mau."
"Iya saya belikan makan siang bu Tiara Pradita Putri, puas anda?"
Tiara tersenyum penuh kemenangan.
"Dengan senang hati ibu Arumi Lestari, jangan yang mahal-mahal, saya ngerti kita teman seperjuangan, cukup sari roti isi keju dan susu bearbrand."
"Cwih, itu namanya kesenengan."
"Itu udah toleransi, Mi. Anda mau saya grab nasi padang?"
Jenny, teman honorer Tiara lainnya, kini ikut berbicara di tengah tawar menawar dua orang temannya itu, tapi beda topik.
"Ra, perangkat kamu udah siap?"
"Udah dong bu Jen, tinggal di print."
"Nitip tanda tangan ya kalo ke ruang kepsek."
"Kenapa ya hari ini kalian kompak membebani saya?"
"Karena anda yang paling muda, beban anda masih sedikit." Jawab Jenny datar.
"Tapi kita seperjuangan lho, tapi berhubung beta baik hati, baiklah, saya akan menanggung beban kalian separo."
"Sesama teman janga itung-itungan!"
"Siapa yang itung-itungan?"
"Kalo ga itung-itungan roti sama susunya batal ya?" Mimi menimpali.
Tiara terpojok, "Semau anda sekalian sajalah!" ucapnya sambil lalu. Mereka ga tahu sih kemarin Tiara beli sepatu yang cukup menguras gaji tiga bulanannya. Kan lumayan kalo ada yang belikan makan siang gratis.
Mimi dan Jeni bertos ria, sementara Tiara melangkahkan kaki ke tempat mesin printer dengan laptopnya.
"Bentar, flashdisk aku mana ya?"
Tiara merogoh saku baju dan celananya. Tapi nihil tak menemukan apa yang dicari. Kemudian beralih ke tas yang ada di mejanya.
"Kok ga ada ya, aaaaaaaa perangkatkuuuuu." Pekik Tiara lima oktaf.
Di tengah kepanikannya suara dering ponsel Tiara memecah konsentrasinya mencari benda kecil berisi perangkat mengajar, tugas kuliah dan foto-foto pribadinya itu.
"Ngapain ni orang nelpon-nelpon, ga ada kerjaan, HALLO!!!" suara Tiara setengah berteriak.
"Kamu dimana?" tanya suara pria di seberang
"Di sekolah, kenapa? Saya lagi sibuk." Tiara sarkas.
"Saya ngomong baik-baik, kenapa anda barbar?"
Tiara menarik napas, kemudian menyadari kalau dia sedikit tidak sopan, benar-benar tidak mencerminkan seorang guru, ck.
"Maaf, ada perlu apa?" suara Tiara melemah.
"Sepertinya ada barang kamu tertinggal di mobil saya."
"Barang?"
"Flashdisk."
"Astaga!!! Jadi sama kamu, gimana ni, perangkat ngajar saya di sana, saya perlu sekarang juga."
Yundhi tersenyum jahil, otaknya bekerja mencari keuntungan dari kondisi Tiara saat ini. Entah apa yang ia pikirkan tapi dia harus bisa memanfaatkan situasi ini.
"I can help. Saya bisa kirimkan dokumennya via email, mau?"
"Bisa, bisa, terimakasih ya, selamet selamet selamet!" Tiara mengelus dada.
Tiara memberi Yundhi alamat emailnya, dan mengarahkan Yundhi nama folder yang harus dikirim.
"Tapi ini ga gratis." Yundhi kembali ke mode awalnya pada Tiara.
"What?"
"Saya punya permintaan untuk membayar bantuan ini."
"Kenapa sih semua orang pagi ini bikin mood berantakan?"
"Saya ga tahu urusanmu dengan yang lain, yang jelas bantuan saya tidak gratis."
"Baik, mau kamu apa?"
"Saya kan beri tahu, tapi tidak sekarang, oke. Tunggu saja!"
Tiara membuka email dan telah menerima surel yang dikirim Yundhi. Dia tersenyum lega, kegiatan mengajarnya hari ini bisa berjalan lancar. Kepala sekolah tempatnya mengajar memang sedikit ketat masalah administrasi perangkat pembelajaran. Setiap jadwal pelajaran, guru harus siap dengan perangkat administrasi selengkap mungkin, mulai dari RPP, silabus, kkm, bahkan alat peraga jika di perlukan.
Tiara tidak keberatan, ia malah senang. Sebelum menjadi seorang guru PNS seperti ayahnya, dia sudah terlatih menjadi guru yang baik. Keuntungan lain yang ia dapat, yaitu dia bisa langsung mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah kepada anak didiknya.
Masalah Yundhi urusan nanti, yang penting tugas mulianya, memanusiakan anak manusia hari ini terlaksana dengan baik.
Tibalah waktu mengajarnya di kelas XA, para siswa telah menanti kedatangannya karena Tiara adalah guru favorit mereka.
"GOOD MORNING STUDENTS!" suara Tiara menggema seantero kelas.
"GOOD MORNING MISS TIARA!" jawab para murid serempak.
"HOW ARE YOU TODAY?"
"WE ARE FINE, THANK YOU, AND YOU?"
"I'm very well, thank's. Have a sit please!"
Tiarapun memulai pelajarannya dengan semangat, awali dengan salam, mengabsen kehadiran siswa, warming up dan pelajaran inti. Para murid mengikuti pelajarannya dengan antusias. Perlu di catat, Tiara adalah guru bahasa Inggris. Ya, dia adalah guru bahasa Inggris idola murid di sekolahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
T.N
ngebayangin jaman sekolah dulu
2023-01-27
0
erna erfiana
suka, ceritanya bagus menarik
2022-10-13
0
Eni Rohaeni
suka banget sama cerita 😘😘😘😘
2021-06-03
1