Pembicaraan Yundhi dengan seorang laki-laki di teras rumahnya sangat jelas di dengar Tiara, tapi maksud dari kalimat Yundhi untuk mengantarkan motor Tiara ke rumah setelah selesai di perbaiki yang menjadi tanda tanya di otaknya. Mau di bawa ke rumah siapa motornya? Jangan sampai Yundhi menyabotase motornya untuk di sita di rumahnya, mau pakai apa dia pergi beraktivitas.
"Motorku mau diperbaiki di mana?" Tiara langsung saja bertanya setelah Yundhi duduk di sampingnya, laki-laki matang itupun telah pergi meninggalkan rumah Tiara.
"Di bengkel lah masa di apotek. Adduh, iya iya ampun, kebiasaan deh kamu sukanya main pukul."
"Nggak ke lo doang Yundhi, ke kita-kita juga dia cadas." Jenny menimpali sambil serius menikmati rujak yang di bawa Yundhi.
"Makanya kalau di tanya jawabnya yang benar. Anda juga sekalian, setop makan rujak gue, dari mertua gue tuh!"
Mendengar Tiara menyebut kata 'mertua' Jenny langsung tersedak buah belimbing yang ia kunyah, Mimi tak kalah ribut, ia sudah terbatuk-batuk dan merasa panas di hidung hingga kepala.
"Lo udah sejauh mana Ra sampai nyebut mertua?" tanya Jenny dengan susah payah.
"Ada yang dia ga ceritain ke kita, Jen." suara Mimi hampir tak terdengar.
Tiara memilih fokus pada Yundhi daripada meladeni Mimi dan Jenny yang tersedak.
"Emang jawabanku salahnya di mana, kamu guru lho, masa jawabanku ga paham."
"Terus maksudnya mau di bawa ke rumah siapa?" senyum jahil Yundhi terbentuk mendengar pertanyaan Tiara yang sebenarnya ia juga tahu bahwa pacarnya itu sudah tahu keanehan dari ucapannya.
"Aku suruh mang Jay bawa ke bengkel temanku, kalau udah selesai di perbaiki aku minta bawa ke rumah." wajah Tiara masih menuntut jawaban, "Kamu kan sakit jadi ga bisa bawa motor, besok aku yang antar jemput, kalau aku tugas nanti mang Jay yang ke sini gantiin aku, oke."
"Aku ga mau, ini lusa juga luka aku udah kering, malah besok udah bisa bawa motor lagi, kamu telpon sekarang suruh bawa ke sini motornya." Tiara menolak.
"Kamu bilang sendiri ajak ke mama, mertua kamu tu, aku mah anak soleh ga mau ngelawan."
"Maksudnya?"
"Ini tu titahnya mama langsung kemarin setelah dengar kamu jatuh dari motor."
Tubuh Tiara lemas seketika mendengar Yundhi menyebut 'permintaan mama', bakalan ribet kalau harus nolak maunya orang tua.
Tiara langsung membisu, pikirannya buntu, bukannya tidak senang jika di perhatikan, tapi lebih takut jika nanti omongan orang muncul jika melihatnya naik turun mobil padahal biasanya naik motor. Tiara ingin membahas masalah ini lebih dalam dengan Yundhi, tapi melihat dua makhluk betina di depannya, Tiarapun hanya menyimpan uneg-unegnya dalam hati dan mengambil alih rujak yang tadi dinikmati Jenny dan Mimi.
Dalam situasi itu, untungnya Jenny lebih peka dan segera mengambil tindakan.
"Mi, cabut yuk, gue mau nganalisa tugas anak-anak kemarin."
"Yah kok gitu, rujaknya masih banyak tu, gue yakin Tiara ga..." melihat pelototan tajam Jenny, Mimipun segera paham kalau Tiara dan Yundhi butuh privasi.
"Iya deh, gue juga mau ke mini market."
"Ga usah pada ga enak gitu, makan aja nih dulu rujaknya!" Tiara menyela.
"Gue ragu Ra, tampang lo sekarang ibu peri atau devil, tapi gue lebih condong ke devilnya, mending gue pamit daripada lo nusuk gue pakai belati tak kasat mata, gue masih sayang badan, caw gue pamit, yuk Mi."
"Wait, Yundhi gue minta tolong deh lo pastiin ini yang terakhir dia kecelakaan motor, sebelum ini memang pernah lebih parah, kalo sekali lagi gue ga tau deh yang mana badannya dia yang bakal di perban, semua bagian tubuhnya dia pernah rasain aspal." sambung Jenny.
Tiara mengumpat dalam hati, "Jangan dengerin!"
Secara tidak langsung Jenny mendukung tindakan Yundhi menyita motor Tiara, bukan apa-apa, Jenny ngeri dengn kebiasaan ngebut Tiara yang kadang melebihi laki-laki. Tapi malah Tiara tidak mengakuinya dan berkilah kalau kecepatannya itu standard.
Dua makhluk betina itupun meninggalkan ruang tamu rumah Tiara, meninggalkan Yundhi dan Tiara yang terlihat seperti akan memulai perdebatan. Beberapa detik kemudian fokus Tiara beralih pada deretan buah yang tersusun rapi dalam wadah. Tiara mengakui kelihaian tangan sang calon mertua menyusun buah-buah segar itu menjadi sangat menarik dan sayang jika harus di makan. Apel, pir, mangga, nanas, mentimun, belimbing, salak, dan pepaya tersusun rapih dan cantik dalam wadah terpisah dari bumbu rujak.
Tiara akan beranjak dari duduknya dengan sedikit kesusahan tapi segera di cegat Yundhi.
"Mau ke mana?"
Teng
"Ambil garpu."
"Duduk, biar aku aja."
Yundhi segera ke dapur dan kembali dengan dua buah garpu di tangannya.
"Kenapa sih ga mau ngandalin aku, dulu juga begitu waktu kejadian kencan pertama kita di restaurant, kamu ga manggil aku waktu di gangguin."
"Sikap kamu kayak gitu bikin aku tersinggung tau, kamu kayaknya ga anggap aku pasangan deh. Apa ga bisa kamu bergantung sama aku?"
Tiara hanya diam mendengarkan Yundhi berbicara, "Kamu udah punya hati aku, apa harus aku bergantung juga sama kamu? Kamu ga masalah aku ngerepotin? Kamu ga risih dengar omongan orang nanti?"
"Kalau nggak sama aku terus kamu mau bergantung sama siapa? Sama Razkan?" Yundhi terpaksa menyebut nama itu karena masih kesal dengan kejadian semalam.
"Ck, jangan childish, aku udah bilang Razkan pure temen" Tiara menjeda dan mengambil nafas, "Aku udah biasa dari kecil melakukan semuanya sendiri, aku tumbuh tanpa seorang ibu, apapun masalah hidup yang aku alami aku hadapi sendiri, apalagi mau ngambil keputusan aku ga pernah sibuk mikirin pendapat atau melibatkan orang lain. Aku nanya ke ayah kalau memang perlu aja. Sekarang ada kamu juga aku harus adaptasi, jangan marah kalau nanti tiba-tiba aku sudah memutuskan hal penting dalam hidupku sendiri, tanpa melibatkam kamu."
Yundhi menghentikan kegiatan makannya, menghadapi Tiara memang perlu tenaga ekstra seperti sekarang, dia harus berdebat panjang karena memang harus dia bahas dengan wanitanya itu, cukup sekali kemarin dia kalang kabut khawatir setelah membentak Tiara, untung saja dia setuju membawa makanan yang mamanya siapkan untuk Tiara.
"Mulai detik ini yang pasti keputusan kamu ga berlaku seratus persen, aku mau terlibat dalam setiap keputusan kamu, apapun masalahnya kamu harus cerita. Aku tipikal possessif reaktif. Kalau kamu ga libatkan aku, aku bakal lakuin apa yang menurutku benar buat kepentingan kamu berdasarkan pemikiranku, aku juga begitu, bakalan cerita semua masalah yang aku hadapi, melibatkan kamu dalam setiap keputusanku."
"Yundhi, nikah aja belom."
"Memang masih calon istri, biar begitu artinya kamu orang yang penting dalam hidup aku. Makanya aku minta kita nikah secepatnya kamu ga mau."
"Aku ga lagi becanda."
"Siapa juga yang becanda." Yundhi meninggikan nadanya.
"Nikah itu ga main-main."
"Aku lebih tua lho dari kami, siapa juga yang mau main-main."
"Emang kamu mau hidup sama aku selama sisa hidup kamu, lepas dari rasa tertarik dengan cewek-cewek cantik di sekeliling kamu, termasuk masa lalu kamu itu (yang sampai saat ini Tiara tidak tahu namanya), jadi ibunya anak-anak kamu, dengerin ucapan-ucapan cerewet berisik aku tiap hari, kamu mau?"
Yundhi menatap Tiara lekat, teduh dan dalam. Tiara pun tak kalah berani, kali ini dia memandang Yundhi dengan tuntutan. Jujur saja, perutnya terasa melilit tak karuan selama bicara tadi, dalam hati dia mengumpat diri sendiri telah berani membawa Yundhi dalam pembicaraan serius itu. ****** gue.
"Kalau aku bilang aku ga bisa jawab, kamu marah ga?"
"Hah?"
"Semua ucapan kamu itu jawabannya ga cukup pakai kata-kata, menurut aku harus di buktikan langsung dengan perbuatan dan aku siap buktikan itu ke kamu. Lahir batin. Tapi kalau ucapan kamu aku balikin, sekarang subjeknya adalah kamu, kamu mau?" Yundhi membalik keadaan.
Tiara tertegun, berpikir sejenak agar jawabannya tidak memalukan. Dia tidak meragukan kegigihan Yundhi, hanya saja dirinya masih ragu mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan seperti lelaki itu. Gengsi.
"Tu kan ga bisa jawab, makanya jangan nantangin." Yundhi menjawil hidung Tiara.
"Makanya aku buru-buru, kamu yang gini perlu di amankan."
"Apaan sih, emangnya kriminal. Aku tu di bawah naungan Aries, udah pasti setia. Kamunya aja yang parnoan."
"Gimana ga parno, cowok sekitar kamu terang-terangan suka sama kamu tapi kamunya ga ngeh, kalau mereka tiba-tiba kasih barang terus kamu terima, biarpun dia ga ungkapin perasaannya itu udah jadi isyarat kalau kamu suka sama dia."
"Aku orangnya ga gitu. Barang dari cowok di kamar aku tu cuma jaket kamu doang."
"Iya, itu misalnya. Eh, masa sih?"
"Aku ga pernah kasih kamu apa-apa ya?"
Tiara menggeleng, "Jangan kasih apa-apa, aku ga suka."
"Fine, kalau gitu nanti aku rapel di seserahan kamu."
"Kok bisa sih?"
"Apanya?"
"Setiap kalimat kamu kadang ada aja istilah dunia kerjaku yang kamu selipin, subjek, rapel, sebegitu ngaruhnya ya aku buat kamu."
"Kamu sih ga peka."
Tiara terkekeh, "Aku boleh geer ga?"
"Geer aja, up to you." kali ini Yundhi ikut tertawa, "Awas lho kesedak belimbing."
***
Yundhi mencuci wadah bekas buah dan bumbu rujak di wastafel dapur. Tak disangka perdebatan panjang itu membuat mereka bisa menghabiskan rujak yang yang di bawa Yundhi dari rumahnya.
Sedangkan Tiara duduk anteng di sofa dengan remot tv di tangannya, tanyangan berita d tv cukup menarik perhatiannya. Gimana enggak tertarik, berita itu tentang perbuatan asusila seorang siswa SMA pada anak di bawah umur. Membuatnya teringat kejadian yang pernah dia alami dulu. Tanpa sengaja Yundhi melihatnya bergidik ngeri.
"Kenapa?"
"Tuh beritanya."
"Tau, tapi kenapa kamu sampai gitu reaksinya, kayak nonton film horor."
"Ini lebih ngeri dari film horor, dulu aku hampir kejadian sama siswa sendiri."
"Serius?" Yundhi terlihat kaget.
"Hmm, di ruang musik, dia ngunci pintu, tapi aku bisa kabur karena mukul dia pakai biola."
"Terus?"
"Ya gitu, setelahnya aku pulang naik motor, karena masih syok, aku kecelakaan, lumayan fatal rehatnya sampai sebulan."
"Lumayan ya, parah kamu bilang lumayan pantes Jenny kasih warning." Yundhi menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Kali ini Yundhi benar-benar akan memastikan Tiara harus mau memakai mobilnya untuk segala kepentingannya di luar rumah dan bersedia disopiri mang Jay selama dia bertugas.
"Udah lewat, ganti topik deh."
"Aku udah revisi lagi proposal bimbel kamu, dan aku suka namanya, SWOT (Stalking World on Track) SPOT."
Kali ini Yundhi berhasil membuat Tiara bangun dari sandaran dan merasa antusias.
"Kalau gitu sekarang kamu bawa fdnya, aku mau print mau segera ngedarin."
"Denger dulu, banyak yang aku rubah, mungkin hampir semua yang di revisi sama Razkan. Kalau bukan kamu, aku bener-bener deh mau rombak dari awal. Sekarang udah perfect."
Bibir Tiara yang tadinya mengerucut kembali tersenyum, dia kemudian mengulurkan tangannya.
"Udah aku kirim."
"APA? Kemana? Huaaaa Yundhi ga mau pokoknya aku yang harus kirim, aaaa kamu jahat. Kamu katanya mau libatkan aku di setiap keputusan kamu."
Kali ini Tiara meronta-ronta, menghentakkan kaki dan tanganya, sepertinya lupa akan luka yang dideritanya.
"Tenang dulu, ih sekarang kamu lho yang childish."
"Biarin." mata Tiara mulai berembun. Proposal itu sangat penting baginya, membuka bimbel adalah salah satu impian terbesarnya jadi dia ingin rencananya itu terlaksana benar-benar atas kerja kerasnya.
"Aku cuma kirim ke perusahaan papa, ini sifatnya anformal Ra, kalau papa setuju baru di tindak lanjuti, kamu masih bisa kirim ke tempat lain."
"Kamu ga bohong?"
"Ya ampun ga lah."
"Ya udah bilang sama om ga usah di setujui, biar aku urus semuanya."
"Kenapa?" tanya Yundhi sehalus mungkin, kali ini dia melunak karena Tiara memang terlihat sensitif membahas masalah proposal itu.
"Ini cita-cita aku banget, aku pengennya semua terjadi atas usaha aku sendiri."
"Jadi aku ga boleh bantu?"
"Boleh bantu do'a aja, tapi nanti kalau udah stuck aku kasih tahu kamu deh. Kamu jadi back up aku ya." ujar Tiara berbinar yang di jawab anggukan oleh Yundhi.
"Hm, keras kepala." Yundhi mengusap halus ujung kepala Tiara.
"Kamu tugas ga akhir bulan ini?"
"Kenapa?"
"Bisa dampingi aku wisuda? ayah ga bisa soalnya ada penataran, tapi kalau kamu tugas ya jangan di paksa."
Yundhi terlihat menghitung dengan jarinya, "Sepuluh hari lagi ya, pas banget sih aku balik dari tugas, nanti aku susul deh, kamu di anter mang Jay dulu, ga apa-apa?"
Kali ini Tiara mengangguk menurut. Untuk masalah ini dia memang sangat membutuhkan Yundhi.
"Kamu bisa aman ga sih aku tinggal sepuluh hari mulai besok, baru aku tinggal cuma beberapa hari kemarin kamu udah luka-luka kayak gini."
"Aman sayang. O ya, kamu kemarin kenapa bisa pulang, bukannya balik hari ini deh harusnya, bener ga?"
"Aku tukar jadwal sama temen, panik mikirin kamu. Aku udah bilang aku tipikalnya gitu, possessif reaktif, kalau ada yang ga sesuai perhitunganku tentang kamu ya jadinya begitu."
"Ada ya tipikal orang kayak gitu. Maaf ya, janji deh ga ngulang, aku ga suka lho punya pacar pengangguran."
"Ga bakal nganggur, sekedar tukar jadwal ga sampai di pecat, kalaupun ga jadi pilot aku bakal gabung di perusahaan papa, masa depan kamu aman sama aku. Setelah nikah kamu ga boleh terlalu sibuk soal kerjaan, kamu duduk-duduk aja di rumah ga masalah."
"Ga mau. Aku udah biasa kerja."
"Iya boleh, tapi jangan lupa daratan. Suami dan keluarga yang utama."
"Memang kamu ada rencana gabung sama papa, ga terbang lagi dong?"
"Bukan rencana lagi, memang harus. Nanti kalau sudah waktunya papa minta aku, ya mau ga mau aku harus gabung. Ya masih lama sih, papa masih sehat wal afiat, seger buger gitu, kamu lihat sendiri kan waktu datang ke rumah."
Tiara tersenyum mengingat kembali sesi wawancaranya kala itu. Dia bersyukur keluarga Yundhi tidak mempermasalahkan hal lain tentang dirinya mengingat Tiara hanya gadis biasa yang sederhana. Mungkin papa waktu itu hanya main-main untuk mewawancarainya, tapi cara itu sukses mencairkan hubungan mereka hingga tidak kaku.
"Ayah kemana?"
"Katanya ke rumah temen, ga tau di mana sampai belum pulang."
"Kamu mau keluar ga buat makan siang atau delivery?"
Tiara menimbang sejenak, mengingat tadi Yundhi yang harus mencuci bekas makan mereka dia tidak tega kalau nanti Yundhi harus mencuci piring lagi, pilihannya sudah pasti.
"Kita makan di luar aja."
***
Tiara keluar dengan baju kaos oblong di padu training dan jaket kebesaran milik Yundhi. Penampilannya persis seperti orang yang mau melakukan olah raga. Mau bagaimana lagi, hanya pakaian itu yang nyaman mengingat luka di tubuhnya yang belum sembuh sepenuhnya.
"Ga masalah kan kayak gini, kita ga matching jadi jangan ke tempat yang aku bakal kelihatan aneh!" wejang Tiara.
Jika di telisik penampilan Yundhi yang memakai kaos polo dan jins akan terlihat kontras dengan penampilan ala atlet Tiara.
"Selama kamu pakai baju ya ga aneh, kenapa sih, aku ga masalah, yang masalah itu kamu pakai bikini atau lingeri."
Tiara tidak mengacuhkan ungkapan Yundhi, kalau di tanggapi bakalan panjang. Laki sih lo, mana ngerti perasaan cewek di lihatin aneh sama orang-orang.
Yundhi mulai menjalankan mobil meninggalkan depan rumah Tiara.
"Stop stop stop!" kata Tiara tiba-tiba.
"Ada apa?"
"Aku lupa bawa dompet, balik!"
Kali ini Yundhi yang tidak mengacuhkan kalimat Tiara dan terus menjalankan mobilnya tak peduli Tiara memintanya kembali.
"Kamu mau makan berapa banyak sampai ngira aku ga mampu bayar?"
Tiara menggelengkan kepala dan menatap tajam Yundhi. Lihat aja nanti aku bakal kalap.
***
Beberapa pasang mata memperhatikan mereka tapi Yundhi tak peduli dan tetap melanjutkan kegiatan makannya. Tiara menahan kesal karena Yundhi tak mematuhinya untuk makan di tempat yang biasa saja, nyatanya sekarang Yundhi mengajaknya makan di sebuah tempat makan elit di pusat kota.
"Kamu tu lagi sakit, harus makan makanan sehat, aku dengar sea food bagus lho buat penyembuhan luka, makanannya di makan dong, jangan ngumpat aku terus."
Tiara makan sambil menundukkan kepala, "Bisa ya kamu baca pikiran aku?"
"Bisa kan kamu terima perhatian dari aku, jangan ngelawan terus?"
Maunya begitu, tapi aku masih ragu, ga tau kenapa. Tiara menarik nafas pelan.
"Kamu sering ya makan di sini?"
"Ga juga, paling kalau ada perayaan kayak ulang tahun pernikahan orang tua, kenapa?"
"Kayaknya semua mata cewek-cewek itu ngelihat kamu terus."
"Masa sih?" Yundhi mengedarkan pandangannya dan matanya menangkap seorang perempuan melambaikan tangan padanya dan di balas senyuman canggung Yundhi.
"Ga cuma aku, cowok di belakang pakai dasi biru, cowok yang di samping kita yang pakai kemeja garis-garis juga plototin kamu terus."
"Yang ben..?"
"Jangan nengok, udah cepet habisin!"
Tiara memberanikan diri menatap lelaki berdasi biru di belakang Yundhi dan benar saja pria itu memandang Tiara sambil tersenyum dan di balas senyum manis oleh Tiara.
"Di bilangin jangan nengok! Senyum lagi." Yundhi membulatkan mata geram.
"Cuma mau ibadah masa ga boleh." Tiara tersenyum puas menjahili Yundhi.
"Mbaaak!"
Seorang pelayan wanita datang ke meja mereka. "Minta bil!"
***
"Ini harus banget ke drive thru kayak gini." Tiara sewot.
"Ini udah yang paling biasa, paling aman, ga usah protes!"
"Lagian kenapa juga tadi buru-buru, aku baru makan dua suapan."
"Yakin ni mau di bahas?"
"Tu yang di depan udah jalan, buruan!" Tiara lebih memilih menghindar dari pada perang pendapat lagi.
"Kamu pesan apa?" tanya Yundhi yang memang tidak hafal nama menu makanan siap saji tempat makan itu.
"Fish fillet sama minumnya susu coklat." jawab Tiara.
"Fish fillet dua, susu coklat dua."
Tak lama pesanan mereka siap dan mereka meninggalkan drive thru tersebut.
"Ini yang pertama sekalian yang terakhir." cetus Yundhi.
"Kenapa?"
"Ga sehat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
ya ampun makanan itu memang banyak yg bilang ga sehat, tp enak, aku suka.
2022-12-27
0
Pena rindu
novelnya keren
2020-11-04
1
frika
novel nya bagus gini yg like dan komen kok dikit ya
2020-08-17
2