"Kamu udah lama kenal sama pedagang bakso itu?"
Yundhi menoleh ketika Tiara memutus keheningan yang terjadi beberapa saat.
"Eh, oh, itu" merasa di pergoki Yundhi seperti kikuk kata-kata, "dari jaman SMA sering makan di sana, anak-anak itu tadi cucu-cucunya pedagang itu, suka ikut jualan kalau aku sama teman-teman lagi makan di sana sejak masih kecil banget."
Senyum Tiara mengembang mendengar jawaban Yundhi, "Kamu udah kayak hot daddy tau pas gendong mereka." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Tiara membuat guratan merah muncul di wajah Yundhi seketika.
"Masa sih, aku udah siap lho Ra lahir batin jadi ayah anak-anak kita, jadi suami kamu, nikah yuk besok pagi, mau kan?"
Tiara memejamkan mata menahan geli mendengar kalimat ajakan Yundhi yang hampir sama persis ketika menemaninya ke acara resepsi itu.
"Aku kayak de javu deh kalo kamu minta nikah kayak gini lagi, kesannya kayak main-main tau ga, selalu gini, lagi di jalan, di mobil, ga sesuai tampang kamu tuh, lamaran kok ga modal. Lagian kenapa buru-buru sih, ngebet banget."
"Kan yang ungkit masalah hot daddy kamu, ya aku responnya gitu lah dan aku ga pernah main-main sama ajakan aku yang dulu atau yang tadi. Kalau kamu bersedia, aku sanggup siapin semuanya dalam sehari, kita bisa langsung nikah besok pagi, hot daddy wanna be." ujar Yundhi dengan wajah sumringah.
Tiara harus menggelengkan kepala mendengar jawaban Yundhi. Dia hampir tidak mengira kalau yang akan menjadi jodohnya adalah lelaki itu yang awalnya tidak suka padanya dan sekarang berbalik ingin segera menikahinya. Sungguh hati manusia begitu cepat berbolak-balik.
"Dulu kamu selalu minta proper date, ya kalau bisa lamarannya juga proper dong."
"Oke, ga masalah, kamu maunya aku lamarannya gimana?"
"Ya ga tau, aku kan orang yang mau dilamar, kamu dong yang pikirin masalah itu."
"Ya mungkin kamu udah punya impian sendiri gitu lho, aku tinggal wujudkan, mau pakai seribu bunga mungkin, atau aku lamar kamu di atas pesawat."
"Ga lah, proper tapi ga lebay, surprise me lah sayang."
"Aaaw." Yundhi berteriak seperti kesakitan sambil setengah tertawa.
"Kenapa? Aku ga lagi mukulin kamu lho ini."
Tawa Yundhi menggelegar dalam mobil yang mereka tumpangi itu.
"Aku seneng aja sama panggilan baru itu."
"Yang mana?"
""Sayang", ini yang ketiga kali kalau bisa seterusnya manggil gitu."
"Ga deh, kayak abg labil."
"Tapi kan aku suka."
"Nggak. Biar aja munculnya sekali waktu jadi penyegaran buat kita."
"Ya kok gitu, kan kalau di sebutin setiap waktu kita penyegaran terus."
Tiara teguh menggeleng menolak permintaan Yundhi.
"No."
"Yes."
"Yundhi sayang."
"Yundhi aja."
"Beib."
"Yundhi."
"Honey."
"Yundhi. That's it.
"Cinta." Yundhi tak menyerah.
"Yundhi."
"Please beib, masa ga mau."
"Aku geli, udah biasa panggil nama aja."
"Love deh kalau gitu."
"Nggak. Inget umur!"
"Ya Tuhaaan, ga mau banget bikin pacar seneng."
"Kalau yang seneng kamu doang, terus akunya enggak kan jadi ga adil."
"Cuma manggil doang, Ra." wajah Yundhi malah jadi serius.
"Kenapa juga harus ada embel-embel panggilan gitu."
"Pasangan lain juga gitu, malah punya panggilan khusus gitu."
"Jangan ikut-ikutan. Childish.
"Ya udah." sambil menarik nafas panjang Yundhi menyerah.
"Gitu dong...sayang." seulas senyum terbit di wajah lelaki tampan itu, kekesalan Yundhi menguap tertelan udara.
Mungkin ini maksud Tiara, memanggilnya dengan sebutan kasih yang lain hanya sesekali waktu tapi membuat bahagia secara signifikan.
"Oke, kamu menang."
Tak berselang lama mereka tiba di halaman depan rumah Tiara, tapi mata Yundhi menangkap sosok lain duduk di kursi teras yang ia duduki tadi. Yang jelas bukan ayah Adib.
Yundhi menatap sosok itu dan Tiara bergantian.
"Siapa?"
"Itu Razkan."
Deg
Mendengar nama itu Yundhi teringat peristiwa saat Tiara mengambil toga di kampusnya.
Rival nih. Balon (bakal calon) orang ke tiga.
Yundhi memutari mobil dan membantu Tiara turun, memapahnya hingga mereka berhadapan dengan Razkan.
Begitu menyadari kedatangan Tiara, Razkan berdiri dari duduknya.
"Hai Raz, udah lama?"
"Lumayan? Ayah bilang lo udah pulang tapi pergi lagi. Gue terpaksa nunggu soalnya besok gue ada acara, lo kenapa?" tanya Razkan dengan nada datar, menyamarkan rasa terkejut dan kecewanya.
"Oh, ini, biasa lah."
"Kebiasaan lo, kalau stress jangan naik motor, kenapa lo ga bilang tadi biar gue anter."
Yundhi semakin mengeratkan giginya mendengar ucapan Razkan, kilat mata tidak suka sudah terpancar sedari awal Razkan bersuara. Razkan pun bersikap tak acuh pada Yundhi. Tujuannya hanya pada Tiara.
Melihat perang terselubung antara dua laki-laki itu Tiara ingin sesegera mungkin menyelesaikan urusannya dengan Razkan.
"Tujuan lo nyari calon istri gue, apa?" Yundhi mendahului Tiara kali ini, susunan kata dalam pertanyaannya sukses menampar Razkan secara tak kasat mata.
Beberapa detik tatapan saling membunuh antara keduanya terjadi, tapi Razkan lebih dulu mengakhiri dan mengambil sebuah benda di sakunya.
"Gue udah selesaikan proposal bimbel lo, gue udah revisi, lo bisa masukin ke tempat-tempat yang lo bilang tadi." Razkan menyodorkan benda kecil pada Tiara yang di terima Tiara dengan senyum berbinar.
"Thanks.'"
"Udah, itu aja? Tiara mau istirahat sekarang." Yundhi mengisyaratkan pengusiran secara terang-terangan.
Tiara tidak bisa berbuat apa-apa, ia sendiri masih menahan sakit luka-lukanya.
Razkan menghindari tatapan tidak suka Yundhi, masa bodo karena urusannya hanya dengan Tiara.
"Get well soon, lain kali kita diskusi project lo ini, yang jelas gue bersedia gabung. Gue pamit."
Razkan berlalu begitu saja, menghindari tatapannya pada Yundhi, membuat Tiara di dera rasa tidak enak karena bagaimanapun Razkan banyak membantunya untuk mewujudkan keinginannya membuka bimbingan belajar.
Tapi Yundhi sebaliknya. Alih-alih merasa tidak enak, rasa tidak sukanya sudah berkobar di dada. Untuk meredakannya Yundhi harus menarik nafas panjang berkali-kali.
"Ga sopan ih, dia banyak bantu aku."
"Bantu apa? Kamu ga bilang punya project bimbel?"
"Gimana mau cerita, kamu marahin aku duluan."
Rasa bersalah langsung saja menyerang Yundhi mengingat bentakannya pada Tiara kala itu.
"Jangan minta bantuan dia lagi, kalau ada masalah kamu bisa kasih tahu aku, aku ga suka, apapun bentuk interaksi kamu sama dia hentikan!"
"Yundhi, dia cuma teman, ga lebih, kamu udah pernah dengar aku nolak dia."
"Kamu bisa nolak dia, tapi tetap ga bisa kontrol perasaan dia ke kamu, tadi aja aku bisa lihat gimana tatapannya ke kamu, dan tatapan ga sukanya ke aku. Itu pas aku ada di samping kamu lho, gimana pas aku ga ada, pas aku tugas." Yundhi menjeda dan menarik nafas lagi.
"Apapun alasannya aku ga mau dia gabung sama bimbel kamu, mana flashdisknya?"
"Mau ngapain?"
"Biar aku revisi lagi." Yundhi mengambil paksa flashdisk dari tangan Tiara.
"Ini project rame-rame, ga cuma aku doang, ya walaupun aku pencetusnya, kalau ga ada yang lain aku ga bisa jalan."
"Siapa maksud kamu yang lain? asal bukan Razkan-Razkan itu aku ga masalah."
"Kamu ga percaya sama aku?"
"Percaya, tapi ga sama dia. Sekarang duduk, makan terus tidur. Kita bahas lagi besok, lebih detil. Sebelumnya nanti aku baca proposal kamu dulu."
"Kamu..."
Melihat tatapan nyalang penuh kuasa Yundhi, Tiara tak berani melawan lagi. Rasa nyut-nyut pada lukanya juga semakin jelas terasa.
"Ayah udah selesai, mau istirahat juga, apapun yang kalian bahas jangan sampai ganggu tidur ayah, dan kamu Yundhi kalau udah selesai makan, pulang juga, terima kasih baksonya, tau aja ga ada makanan di rumah."
"Sama-sama, Yah." Adib melangkah ke arah Yundhi dan melayangkan tos lima jari.
"Selamat cemburu ria bro." ujar Adib sambil mengeluarkan tawa mengejek, membuat Yundhi berdecih memprihatinkan diri sendiri.
"Ayah sejak kapan...tiba-tiba udah selesai makan bakso."
"Sejak kalian berdebat masalah proposal, revisi, bimbel entah apalah lagi." Adib bicara sambil berlalu ke kamarnya.
Sungguh pergerakannya sama sekali tak terbaca oleh Tiara, ayah ini manusia atau siluman sih.
***
"Hati-hati sama otak anda, ga keseleo juga kan Ra?"
"Sialan anda, gue udah di perban-perban gini masih bisa ngomong gitu."
Jenny dan Mimi kini berada di ruang tamu rumah Tiara bermaksud menjenguk seseorang yang mereka predikatkan sahabat itu.
"Ini ada hubungannya kan sama drama-drama lo kemarin, ga makan siang, pura-pura sibuk depan laptop, main kabur tinggalin barang-barang anda, aduh!" sebuah bantal sofa tepat mengenai wajah Jenny membuatnya terkejut dan berhenti bicara.
"Gue ga pura-pura sibuk dodol, emang sibuk beneran ngetik proposal bimbel gue."
"Terus masalahnya apa sampai anda pergi begitu saja, untung pak Rul ga inspeksi dadakan pas jam akhir."
Jenny bertanya penuh selidik dan Mimi hanya melihatnya dengan wajah menuntut jawaban jujur dan memuaskan. Geng lambe.
"Gue ceritain, syaratnya jangan mangap."
"Deal." suara Mimi.
"Gue dapat teror foto lama Yundhi." Tiara memulai cerita.
Sampai di sana tidak ada diantara dua orang itu yang auto mangap.
"Apa masalahnya sama foto Yundhi, emang mukanya yang dulu beda sama yang sekarang?"
"Dia oplas?" tanya Mimi
"Mau denger atau gue pause."
"Sorry, lanjut cuy!"
"Itu foto lama sama mantannya, pose mesra nan bahagia, foto liburan di luar negri, foto studio dalam ruangan, foto lagi santai, dan ga cuma foto, tu orang banding-bandingin kepantasan gue jadi pasangan Yundhi, ga puas mantasin eh dia bully juga, gimana gue ga naik darah. Itu juga belum selesai, Yundhi malah marah-marahin gue ga respon telponnya gara-gara gue ga aktifin ponsel seharian." jelas Tiara menggebu-gebu.
"Waw, sadis."
"Dramatis banget sih, Ra."
"Lo kasih tahu gue deh apa nama akunnya. Nyari ribut tu orang."
"Mana hp lo?" kali ini Mimi menyisingkan lengan bajunya seoerti benar-benar ingin berkelahi.
"Itu dia, entah hp gue diapain sama Yundhi, foto-foto itu semua udah di hapus, akun sosmed gue semua di private, semua akun yang gue follow di unfollow, kolom komentar ga boleh di aktifin, gue udah kayak si princess, orang yang ga tahu pasti ngirain gue sombong."
"Terus apa kata Yundhi?"
"Gue udah tahu masa lalu dia dari awal, tapi lihat foto-foto itu ya nyesek juga, dia juga ga suka, malah lebih marah dari gue. Dia bilang mau nyari pelakunya."
"Bagus tu. Lo diem aja, biar kita berdua perang kata di dumay, bilang Yundhi kalau pelakunya ketemu suruh kasih tahu gue, biar kata otak gue berurusan dengan rumus, masalah perang sindir gue mah bisa."
"Tapi gue bilang ga usah, males gue."
Seketika tingkah mereka yang tadinya menantang menguap bersama ucapan Tiara dan kali ini mereka kompak mangap.
"What?!"
"Why?"
"Ya itu, beta males, ngurusin hal ga penting gini, nanti malah tu orang besar kepala, dikira penting, terus ngelunjak. Mending ga ditanggapi, nanti juga hilang sendiri."
"Ibu peri banget sih lo Ra."
"Benar juga sih. Tapi lo mesti tetap waspada. Tampang pacar lo tu ga biasa, mana profesi menjanjikan, ATM berjalan, udah pasti jadi incaran. Lo mesti siap lahir batin, mencintai dan tersakiti."
"Gitu ya Jen."
"Ya gitu, denger deh nasihat gue, yang lebih tua dari anda."
"Lagak lo, ngaku deh tua, masalah pasangan menang juga hayati." Tiara tertawa puas. "Tapi ponsel sama laptop gue kenapa bisa sama Yundhi ya kemarin?"
"Menurut lo? Ya gue yang kasihlah, setelah anda main tinggal tu cowok kayak orang kesetanan nelpon lo sampai 68 kali, gue udah bosen dengernya terus gue angkat pas banget dia nelpon ke 70." Jenny menggeleng kepala mengingat tingkah ajaib Yundhi, termasuk saat Yundhi mendatanginya langsung setelah turun pesawat.
"Harusnya dia masih tugas, dua hari lagi baru balik. Lo bilang apa aja ke Yundhi?"
"Ya gue kasih tahulah tingkah aneh lo seharian. Percaya deh gue Yundhi beneran cinta sama lo, dia sampai balik sebelum tugasnya kelar. Jangan-jangan dia ninggalin tugasnya kayak lo kabur kemarin, siap-siap lo punya pacar pengangguran."
"Ga mungkin, dia orangnya tanggung jawab."
"Lo tanya aja nanti."
"Mau tanya apa?" Yundhi tiba-tiba muncul di ujung pintu. Menyapa dengan lambaian tangan pada Mimi dan Jenny, sambil meletakkan sebuah paper bag di atas meja, "Mana kunci motor kamu?" tanyanya pada Tiara.
"Di atas kulkas, kenapa?" tanpa menghiraukan pertanyaan Tiara, Yundhi melangkah ke arah dapur menjalankan tujuannya. Dia kemudian keluar lagi entah untuk apa. "Ini bawa apa?"
"Rujak dari mama." jawab Yundhi sambil berlalu ke luar.
Radar pendengaran Jenny-Mimi yang mendengar kata 'rujak' membuat mata mereka berbinar senang. Setelah saling pandang, saling kode beberapa kali, mereka sepakat meski tanpa kata-kata membuka wadah dalam paper bag itu tanpa menunggu persetujuan Tiara.
"Mang Jay, sini!" seorang laki-laki matang mendatangi Yundhi yang berdiri di teras dan masih bisa di lihat Tiara dari ruang tamu melalui jendela kacanya.
"Bawa motor itu ke bengkel yang saya bilang tadi, kalau mekaniknya bilang bisa langsung jadi, mang Jay tungguin terus bawa ke rumah, kalau ga bisa mang Jay pulang pakai ojek."
"Ongkosnya gimana den?"
"Kan tadi udah saya kasi ongkos ojeknya."
"Maksudnya ongkos bengkel."
"Yang itu urusan saya, saya kenal yang punya bengkel, tadi saya udah telpon, mang Jay antar aja motornya."
"Siap den, mamang jalan dulu."
"Hati-hati!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dharsha Alfysya
waaah..parah tuh sahabat nya. rujak kiriman si mama mau di embat.. bikin ngamuk babang yundhi tuh
2020-02-24
2