Mungkin efek dari pembicaraan dengan ayahnya, seharian ini Yundhi tidak menghubungi Tiara. Tapi memang sebelum-sebelumnya jarang komunikasi juga sih sama si pilot. Entah apa yang di omongkan waktu itu, Tiara tidak pernah bertanya pada ayahnya. Begitupun ayahnya, tidak memberikan komentar apapun tentang Yundhi.
Sore menjelang petang, Tiara hendak membersihkan diri setelah berkutat di dapur menyiapkan makan malam untuknya dan sang ayah.
"Ayah, Tiara udah masak. Kalau lapar ayah makan duluan ya!"
Tanpa ada sahutan dari Adib,Tiara tetap menyimpulkan bahwa ayahnya menangkap info yang ia sampaikan dari balik pintu. Tiara segera menuju kamar mandi yang letaknya di luar kamar. Badannya sudah lengket di penuhi aroma minyak goreng dan bumbu dapur.
Selesai dengan ritual mandinya, Tiara mengeringkan badan dan mengenakan daster batik rumahan peninggalan ibunya. Rambutnya yang basah ia gelung asal dengan handuk kecil, dan siap kembali ke kamarnya.
Sayup-sayup Tiara mendengar pembicaraan antara dua orang. Entah apa yang dibicarakan tapi kedengarannya sangat akrab, seperti orang yang sudah lama kenal. Mungkin teman ayahya, tapi jika Tiara amati dari jenis suaranya seperti bukan suara orang tua seumuran ayahnya.
"Masa iya sih?"
Sambil mengendap-ngendap Tiara berjalan ke ruang tamu seperti pencuri di rumah sendiri.
Tu kan benar.
Yundhi dengan akrabnya berbicara dengan Adib. Dilihat dari gelagatnya, obrolan mereka sangat nyambung.
"Kamu ngapain ke sini?" semprit Tiara begitu menampakkan diri.
"Eh, ngomong kok gitu sama tamu, ga sopan."
Adib tegas menegur anaknya yang nyelonong menyela obrolannya dengan Yundhi.
Tiara merengut kesal, baru kali ini ayahnya begitu tegas bicara padanya. Di depan Yundhi pula.
Yundhi melambaikan tangannya dengan senyum simpul merekah. Di lihat dari penampilannya sepertinya Yundhi akan menghadiri acara. Apa mungkin Yundhi akan mengajak ayahnya? Oh no!
"Ada apa datang ke sini?" tanya Tiara sedikit lunak.
Yundhi mendengar pertanyaan Tiara, tapi matanya terus mengamati penampilan rumahan ala Tiara yang baru kali ini dilihatnya.
"Yundhi Edward Prasetya!"
Yundhi gelagapan namanya di sebut sangat lengkap.
"Nak Yundhi ke sini mau ngajak kamu ke acara resepsi temannya."
"Tiara nanya Yundhi, kenapa ayah yang jawab?"
"Ayah kan mewakili sesama pria."
"Kok gitu?"
"Ya gitu, nak Yundhi terpesona lihat kamu pakai daster, sama kayak ayah dulu lihat ibumu pakai baju itu. Gini-gini kan ayah pernah muda jadi tahu perasaan Yundhi."
Entah itu sindiran atau ejekan, Yundhi membenarkan dalam hati apa yang Adib ucapkan untuk mewakilinya. Dia terkekeh kecil sambil melihat ke lantai rumah Tiara yang putih bersih.
Tiara yang baru menyadari dirinya memakai daster tanpa dalaman apapun refleks menyilangkan tangan kanan kirinya pada tubuh bagian atas bawah.
"Makanya cepetan sana siap-siap, kamu udah mandi, tinggal dandan!"
"Tiara belum bilang 'mau'."
"Ayah sudah wakilin bilang 'bisa', tumben kamu ribet."
"Kok gitu sih ayah?"
Tiara memelas protes keputusan ayahnya yang sepihak. Timbul warna merah muda di wajahnya menahan malu dan kesal.Apa maksudnya ini?
"Nak Yundhi yang sabar ya, Tiara memang begitu, sok judes, jutek, keras kepala, tapi kayak kerupuk juga, rapuh."
'Benar pak, tapi itu yang bikin saya tertarik pada putri bapak.'
"Ayah!"
"Makanya ganti baju sana, anak gadis kok gitu!"
Dengan berat hati Tiara masuk kamarnya melaksanakan perintah orang tua itu. Bagaimanapun ayahnya ada benarnya juga, kelakuannya sedikit minus pada Yundhi. Tapi memaang Yundhi duluan yang bertingkah tidak ramah padanya dulu. Meskipun sudah berlalu, Tiara masih mengingatnya. Memang hebat memori seorang wanita, lebih tinggi ratusan gigabyte dari memori laptop.
Malu jilid dua yang Tiara alami setelah sebelumnya kentara menyanyikan lagu cinta untuk Yundhi. Sekarang di tambah lagi Yundhi melihatnya berdaster ria tanpa memakai dalaman. Ngerti kan kalau cewek pakai baju tapi ga pakai dalaman itu gimana. Ada aja yang bisa di lihat. Mengingat senyum licik yang terukir di wajah Yundhi tadi, pastinya Yundhi sudah melihat bagian itu. Sial!
Apa lagi rencananya kali ini, resepsi? Apa sebegitu kesepiannya Yundhi sampai harus mengajak dirinya untuk menghadiri pesta pernikahan temannya. Apa dia tidak punya teman wanita selain Tiara? Tiara juga statusnya apa sih di mata pria itu? Teman bukan pacar apalagi. Kenapa sekarang ia harus mendampingi Yundhi ke acara resepsi segala?
***
Yundi memilih-milih pakaian yang pas untuk ia kenakan malam ini ke acara resepsi teman seprofesinya. Karena seragam pekerjaannya mengahruskannya memakai setelan jas, untuk acara kali ini ia lebih memilih memakai baju batik dengan dasar hitam dan corak biru kombinasi.
Ia mematut diri di cermin, merapikan tatanan rambutnya dengan mengaplikasikan wax. Tak lupa parfum aroma maskulin kesukaannya.
Ketika menuruni tangga, oma Ranti telah menunggunya di bawah dengan wajah cerah bersinar. Melihat cucu kesayangannya terlihat berbeda hendak menghadiri acara, oma Ranti sudah menduga-duga siapa pasangan yang akan Yundhi bawa ke acara itu.
"Sama Tiara, kan?"
"Oma pinter deh, bisa baca pikiran Yundhi sekarang."
"Gimana hubungan kamu sama dia?"
"Tiara kayaknya susah di gapai Oma, tapi Yundhi udah dapat restu dari ayahnya."
"Kamu sudah ketemu ayahnya Tiara?"
Yundhi mengangguk pelan, peristiwa kemarin malam berputar kembali dalam memori otaknya. Seandainya kejadian itu tidak menimpa Tiara, Yundhi mungkin akan mengantar Tiara pulang lebih awal dan tidak bertemu Adib. Tapi merasa tidak enak karena agak larut, Yundhi memberanikan diri bertemu Adib dan menjelaskan hubungan mereka.
'Kalau nak Yundhi belum yakin dengan anak ayah, kamu sebaiknya berhenti di sini, Tiara tidak akan menerima kalau kamu jalin hubungan dengan dia atas dasar permintaan Oma Kamu. Malam ini silahkan kamu pikirkan, dan kalau hatimu sudah mantap, silahkan kembali lagi besok.'
Dan di sinilah dia malam ini, di depan rumah tipe 45 yang di tempati Tiara dan ayahnya. Butuh waktu 15 menit Yundhi keluar dari mobilnya sebelum dia masuk ke dalam rumah itu. Jika dia datang kembali artinya dia menerima sebuah perjanjian yang di ajukan oleh Adib sebagai syarat dia dibolehkan menjalin hubungan dengan Tiara. Karena itu dia tidak menghubungi Tiara seharian, memikirkan segala ucapan ayah Tiara.
***
Setelah Tiara siap dan keluar dari kamar, Yundhi melirik sekilas dan terpana melihat penampilan tidak biasa Tiara. Lagi, untuk kedua kalinya di waktu yang sama. Meski dengan balutan dress batik biasa, yang tanpa Tiara sadari sedikit mirip dengan corak baju Yundhi, dan make up tipis natural, Tiara semakin terlihat cantik di mata Yundhi. Tidak mau dikentarai lagi oleh Adib, Yundhi segera mengalihkan perhatian.
"Gitu dong, ini baru anak ayah."
"Emang kemarin-kemarin anak siapa? Anak orang?" Tiara menyalami ayahnya dan segera berjalan menuju pintu tanpa menoleh ke arah Yundhi.
"Maaf ya Om, nanti kalau kemalaman, tempatnya lumayan."
"Iya, asal kamu ingat pesan om."
"Siap. Jalan dulu Om."
Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Yundhi pun segera melajukan mobil mewah miliknya. Selama perjalanan, Yundhi beberapa kali mencuri pandang ke arah Tiara yang lebih fokus menatap jendela. Ia ingin memulai percakapan, tapi bingung harus mulai dari mana. Begitupun Tiara, dia tidak merasa ada yang perlu di bahas dengan Yundhi.
"Maaf, soal kemarin!" Tiara lantas menengok dengan wajah datar, tapi sedikit ingin menuntut penjelasan lebih, maaf untuk apa?
"Aku telat mengetahui kejadian itu."
"Ah, iya," baru ngeh kalau maksud Yundhi minta maaf adalah kejadian buruk yang menimpanya di restoran. "Nggak apa-apa. Jangan merasa bersalah!"
Satu pertanyaan terjawab, Yundhi benar sudah tahu apa yang menimpanya, satu pertanyaan lagi ingin dia cari jawabannya.
"Tangan kamu, kemarin kenapa sampai memar? Sampai sekarang masih kelihatan bekasnya."
Yundhi memutar otak, mencari alasan tepat yang bisa diterima Tiara.
"Oh, ini..."
"Aku mau jawaban jujur!"
Yundhi menarik nafas dan menghembuskannya.
"Aku nyari pelakunya dan minta dia tarik ucapannya di depan orang-orang kemarin."
"Nyari maksudnya kamu pukul...?"
"Ya ga seberapa sih, ga parah, ada manajer hotel sama restonya juga kok."
"Kenapa mesti dipukul, kalau tangan kamu kenapa-kenapa gimana?"
"Kan aku udah bilang ngga parah."
"Kalau ga parah kenapa tangan kamu sampai memar?"
"Kamu khawatir?'
Ups
Tiara bungkam dan salah tingkah. Jika di lihat dari depan, mungkin wajahnya sudah merah padam menembus bedak tipisnya.
"Ya enggak."
Tiara kembali membuang muka meninggalkan jawaban ambigu untuk Yundhi.
Yundhi tidak tinggal diam, malam ini dia sudah menetapkan pilihan.
"Tiara!"
Tiara masih bergeming dan lebih memilih tidak mengacuhkan Yundhi. Untuk apa pula dia menanyakannkeadaan pria itu. Tiara mengutuk dirinya yang terlalu peduli padahal status mereka saja belum jelas.
Yundhi menatap ke depan yang saat itu lalu lintas tidak begitu ramai, jalan yang di lalui dirasa aman dan dia menyalakan kemudi otomatis.
Yundhi menyentak tangan Tiara, dan menangkap tengkuknya dengan sebelah tangan.
Tepat sasaran, bibir Yundhi menempel sempurna di bibir mungil Tiara. Dia refleks mundur tapi kedua tangan Yundhi sudah menahan tengkuknya. Ciuman lembut beberapa detik itu berhasil membuat Tiara panas dingin dan nafasnya naik turun. Yundhi menyatukan kening mereka agar bisa bernafas dengan benar.
"Kalau aku merasakan perasaan ini sendirian kamu boleh mundur. Yundhi melepaskan tangannya dari tengkuk Tiara tapi kening mereka masih menempel lekat.
"Satu," Yundhi mulai menghitung, Tiara masih memejamkan mata menggali perasaannya.
"Sekali lagi kamu boleh mundur kalau cuma aku yang jatuh cinta sama kamu, dua."
Kening mereka masih menyatu saat Yundhi mengucapkan hitungan ke tiga dalam hatinya.
"The answer is 'Yes' right?"
Yundhi kembali ******* bibir Tiara bahkan sebelum Tiara menjawab. Ciuman lembut dan hangat di awal, namun menuntut lebih di detik berikutnya.
"Maaf, tapi aku mau kita resmi malam ini, bukan karena paksaan atau permintaan Oma, tapi karena aku mau kamu."
Bukan karena paksaan atau permintaan? Apa Yundhi melihatnya sebagai seorang wanita saat ini?
Tiara masih terejam tapi akhirnya juga mengiyakan dengan anggukan kecil. Agar Yundhi segera menjauh tidak melihat wajah merah padamnya. Rasanya ada ribuan bunga bermekaran di sekujur tubuh Tiara. Jantungnya terasa break dace di dalam sana. Apa begini rasanya di tembak pria tampan yang di puja banyak gadis. Sekedar informasi, Tiara beberapa kali menstalking sosial media Yundhi dan melihat kebanyakan follower pria itu adalah perempuan.
Dia mundur perlahan agar Yundhi tidak salah paham, bagaimanapun mereka masih di tengah perjalanan. Jika Tiara protes sekarang dengan ciuman mendadak itu, ia takut membuat Yundhi emosi dan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Getaran ponselnya menyelamatkan Tiara dari kecanggungan dahsyat yang terjadi. Sepuluh menit setelah ciuman mendadak itu, tidak ada suara yang keluar dari mulut keduanya.
"Hallo Ita!"
"Jadi yudisiumnya minggu depan dan wisudanya akhir bulan? Terus kita bayar kuliahnya buat makul wisuda doang gitu?"
"Ah, ya sudahlah, thank you infonya, dah."
Tiara menutup telpon dan membuka memo yang berisi jadwal mengajarnya untuk menyesuaikan dengan acara yudisium dan wisuda.
"Kamu mau wisuda tahun ini?"
Dengan suara yang ditinggikan bernada keheranan Yundhi menanyai Tiara yang kini sibuk dengan ponselnya.Suasana canggung sedikit cair.
"He-eh," jawabnya singkat.
"Jadi ga ada kuliah lagi?'
"Iyalah, kenapa?"
Suasana kembali mencair, tapi Yundhi teringat satu hal.
"Terus, kenapa kamu bilang ada kuliah waktu kita ketemu di kafe dulu?"
"Ya pengen aja nyempil di kuliah adik tingkat, cuci mata, lihat maba, ketemu dosen ganteng."
"Kamu jadi pergi waktu itu?"
"Ya ga jadilah, kan kamu yang nahan, debatlah, perang urat, nyuruh makan segala."
Yundhi tersenyum mengingat waktu itu, sekarang diapun merasa bahwa dirinya agak keterlaluan.
"Syukur deh, tapi stop jelalatannya!"
"Bentar!" Tiara mengangkat sebelah tangannya hendak mengangkat telpon yang masuk.
"Hallo mba!"
"Baik, mba-nya gimana?"
"Syukur deh, gimana ya, memang bulan ini, akhir bulan tepatnya, nanti Tiara pikirkan dulu. Sip, nanti dikabari."
Tiara menutup telpon dan sedikit gelisah.
"Siapa?"
"Ada kenalan dulu, anaknya pernah aku ajarin les, sekarang nawarin jadi kepala sekolah di TK-nya."
"Kamu mau terima?"
"Kayaknya enggak deh. Bukan bidangku, bisa kacau sekolah orang."
"Emang TK mana?"
"Green Yard."
Green Yard School, salah satu TK elit dan terkenal bertaraf internasional, dimana murid-muridnya kebanyakan anak blasteran.
"Jadi yang telpon kamu tadi Elok?"
"Kok kamu tahu?"
"Ya tahulah, masih keluarga."
"Oh."
"Kenapa ga kamu ter..."
Pertanyaan Yundhi terputus karena ada telpon masuk lagi ke ponsel Tiara. "Bentar!"
"Ya pak?"
"Oh, yang itu. Belum sih, kenapa ga Aya' aja pak? Ke Ausie ya? Nanti saya kabari ya pak. Lihat jadwal dulu. Terima kasih. Malam."
"Kamu mau ke Australia?" tanya Yundhi sedikit panik. Belum sejam resmi jadian Tiara akan meninggalkannya.
"Bukan aku, tapi temanku yang aku rekomendasikan ke dosen tadi buat ngajar di pusat bahasa. Pilihan beliau antara aku atau Aya', tapi Aya' ga bisa karena nerima beasiswa ke Australi."
Yundhi menarik nafas lega. Dikira gadis di sampingnya ini yang akan hijrah ke negri Kanguru.
"Kirain kamu, tadi tawaran apa lagi?"
"Ngajar mahasiswa luar negri yang pertukaran belajar di sini."
"Kamu mau ambil?"
"Belum tahu, tapi tertarik sih, mahasiswanya kan bule semua, lumayan."
"Kalau gitu ga boleh!"
"Ye, kenapa?" Tiara sewot.
"Pake nanya lagi, kamu pinter bikin orang kesel."
"Aku kan..."
Kali ini Tiara sendiri yang memutus kalimatnya karena ponselnya bergetar lagi.
"Iya bu, tumben, ada yang bisa saya bantu?"
"Oh gitu, seminggu sekali ya?"
"Saya lihat jadwal ngajar dulu ya bu, ga berani janji."
"Oke bu, malam."
"Apa lagi sekarang?" tanya Yundhi mulai kesal.
"Dosen, minta ngajar gantiin dia di STIKES (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan)"
"Terus?"
"Jadwalnya seminggu sekali."
"Kamu mau ambil?"
"Mungkin, aku penelitiannya dulu di sana, jadi sudah kenal beberapa orang."
Begitu saja terus hingga mereka hampir sampai di tempat tujuan, setiap kali mereka ngobrol ada saja telpon yang masuk menyela hingga kesabaran Yundhi habis, ia kemudian men-silent ponsel Tiara dan menyitanya.
"Balikin!"
"Nanti deh, udah mau sampai ni."
"Ck." Tiara mengalah lebih cepat dari perkiraan Yundhi. Gadis itu kini menyandarkan dirinya malas di kursi penumpang. Sebenarnya telinganya juga panas sedari tadi saat menutup panggilan terakhir.
"Kamu tu belum wisuda aja udah diserang tawaran kayak gini, gimana nanti kalau udah wisuda. Nanti ambil jadwal di dua tempat aja sama yang di sekolah yang sekarang. Ga boleh lebih!"
Alih-alih mendengarkan Yundhi, Tiara malah sibuk menghitung honor yang akan dia terima jika menerima tawaran-tawaran itu. Entah dari mana kabar wisudanya diketahui oleh orang-orang tersebut. Kini ia siap menerima tawaran mengajar lagi setelah urusan kuliahnya selesai.
"Denger ngga sih?"
"Iya, denger kok." Pilih jawaban aman. Biar cepet selesai.
Apa aku terima tawaran bu Mira juga ya, biar genap sepuluh juta, kan lumayan.
***
Yundhi memarkir mobilnya di depan sebuah hotel berbintang, lagi. Kejadian kemarin saja belum hilang sepenuhnya dari ingatan Tiara, lagi-lagi acara yang akan dihadirinya dengan Yundhi, yang kini resmi menjadi pacarnya, dilaksanakan di sebuah hotel.
Tiara masih membeku ketika Yundhi sudah membukakannya pintu mobil.
"Kamu masih takut?"
Tiara hanya menoleh dan melihat Yundhi membungkuk mensejajarkan posisi mereka.
"Kali ini ngga seperti kemarin kok, yuk!"
Yundhi meraih tangan Tiara yang terasa dingin akibat terserang panik. Ia meyakinkan Tiara kali ini semuanya akan baik-baik saja.
'Rileks, Ra.'
Tiarapun turun, dengan tangan yang masih dalam genggaman Yundhi. Dia merasa de javu dengan kejadian ketika Yundhi menunggunya di depan pintu toilet, bedanya sekarang mereka benar-benar pasangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Caramel Latte
dasar otak emak2😁😁fuluzz fuluzz fuluzz💃🏻
2023-02-03
0
T.N
berasa diabsen sama guru ya
2023-01-27
0
Devi Handayani
aahhh tiara kesel kesel tapi mau kaann.... jangan ditolak dong babang ganteng nyaa😄😁😆😅
2022-10-31
0