Sentrifugal
Apa itu tuntas?
Menurut gue, kata tuntas itu mewakili banyak hal besar, dan satu hal penting di akhir kehidupan ini.
Hidup ini bisa dibilang tuntas kalau segala kewajiban kita sudah terpenuhi sebagaimana mestinya, misalkan kewajiban orang tua memberikan pendidikan yang layak pada anaknya, lalu kewajiban anak berbakti kepada orang tuanya, serta bisa jadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Itu tuntas dalam artian besar, tapi gak penting.
Bagi diri gue pribadi, tuntas dalam artian penting itu adalah mati dalam keadaan bebas.
Bebas dari kewajiban yang ada sebagai manusia. Tersenyum dalam gelapnya liang kubur, kemudian melayang damai ditemani para Malaikat ke alam selanjutnya.
Dan proses menuju kebebasan itu sama sekali gak mudah. Ada banyak darah, juga airmata yang tumpah. Raga gue kering kerontang kehabisan segalanya. Meski begitu, kebebasan yang gue terima belum setimpal.
Nama gue Rama, Rama Alvarendra.
Kehidupan begitu gak tertebaknya. Setiap hari, setiap mau tidur, gue selalu mengkhayal tentang bagaimana rasanya punya uang yang tidak terbatas, tentang... Bisa beli apapun tanpa harus pikir dua kali, rasanya pasti damai.
Gue bisa beli rumah mewah untuk nyokap, bisa mengkuliahkan adik-adik gue, terus beli komputer gaming yang super kencang, gadget mahal, apapun pokoknya!
"Tuhan, tolong, tolong banget, kasih segala yang saya mau, saya juga ingin hidup dengan baik, setidaknya beri ketenangan yang nyata dan bergulung-gulung sampai akhirnya sudah mencapai batas usia."
Kira-kira begitu doa gue, setiap takut menghadapi hari esok, di tengah malam yang selalu terasa cepat usai.
Sekarang waktunya harus bisa dapat peluang yang jauh lebih dari cukup, biarpun kesempatan gue setipis dompet di celana, tapi isinya gak nol persen.
Esok hari pasti jadi awal dimana segalanya akan berubah, gue akan ambil resiko terberat meskipun taruhannya melibatkan diri gue sendiri, asalkan kebebasan jadi bayarannya.
...***...
"Ram, bangun, udah pagi!"
"Jam berapa?"
"Jam 5."
Mata gue yang masih ingin terpejam dipaksa terbuka meski tidur cuma tiga jam. Setiap minggu, selama tiga hari, pasti ada waktu dimana kerja berat gak diimbangi jam tidur yang sehat.
Tapi ini sepele, masalah waktu tidur yang sedikit juga banyak manusia yang mengalami.
Selepas mandi dan siap-siap beberapa hal, gue yang sudah terbiasa gak sarapan ini segera berangkat ke sebuah Toserba tempat gue bekerja.
Shift satu memang selalu begini, gak ada kata nine to five, yang gue alami cuma, six to six.
Penat, tapi ya sudah, didewasa ini yang penting itu terima gaji meski selewat mata hilang lagi.
Hari gue dimulai dengan buka toko, bersiap dengan segala laporan yang macam-macam jenisnya, menghitung stock barang, full display, kirim uang sales, makan kalau ada sisa uang, kalau gak ada cuma minum dari air mineral sisa semalam, sisanya berharap hari segera selesai.
Pola yang mengerikan kalau dijalani tanpa uang.
"Lo kerja sebenernya untuk apa?"
"Gimana, pak? Maaf."
Gue lagi-lagi dihadapkan oleh permasalahan rumit antar atasan dan bawahan yang gak pernah beres.
Koordinator wilayah gue pagi ini datang dengan sebuah tarikan data bahwa beberapa barang di toko menghilang dicuri sindikat, lagi.
"Gue tanya, Ram. Lo kerja buat cari uang, atau keluar uang? Sindikat tiap bulannya ada Ram? Lo tidur hah?!"
Nada tinggi lagi, selalu volume suara besar yang gue hadapi. Maksud gue... Kenapa lo gak bisa tanya baik-baik? Apakah lo harus begini ke gue?
Di hadapan orang banyak gue tertunduk.
Sebetulnya ada alasan kuat kenapa banyak barang bisa hilang gak terkontrol, yaitu CCTV Toserba kami rusak, dan semenjak buat laporan tiga bulan yang lalu, sedikitpun perbaikan gak pernah ada.
"CCTV mati pak, kita gak bisa selalu kontrol customer yang belanja, saya juga punya jobdesk yang harus—"
"Bersihin semua rak yang berdebu, ganti barang yang hilang, gue gak mau tahu, hari ini selesai."
Selalu begini.
"Soal CCTV gi—"
"Lo paham gak?"
"Paham, pak."
Lagi dan lagi, setiap kata yang keluar dari mulut gue gak pernah ada yang tuntas.
"Kirim foto struknya kalo udah!"
"Iya, pak."
Setelah itu dia pergi dengan menjadikan gue sebagai masalah utama, biarpun sebenarnya bukan gue, dia sudah terlalu benci juga mengingat performa Toserba ini yang makin lama makin merugi. Gue sadar, menjaga banyak barang itu salah satu bagian yang penting, tapi gue gak bisa selalu ada tiap saat di rak dimana barang selalu hilang.
Ada hari dimana gue benar-benar pengawasan penuh, tapi akhirnya banyak jobdesk gue yang tertinggal dan sudah masuk tenggat waktunya.
Di sini semua berjalankan berdasarkan waktu, kalau waktu ini dipakai untuk mengerjakan hal lain, maka hal penting lainnya gak akan terurus rapih. Karena setiap shiftnya cuma diisi oleh dua orang manusia yang melayani puluhan manusia lainnya sambil mengerjakan tugas dari manusia-manusia lain yang mengatur.
Kalau mau dinilai dari piramida rantai makanan, gue ini yang paling bawah. Mangsa paling empuk yang gak punya kekuatan untuk melawan.
Sekali melawan, hilang harapan.
Seandainya gue punya kekuasaan, gue akan panjat rantai makanan ini dan menggapai puncaknya sebagai predator terkuat.
Meski begitu, gue gak akan memangsa siapapun yang ada di bawah gue. Karena menurut gue, saat sudah ada di puncak, yang gue inginkan hanyalah menikmati sisa umur sambil memandangi dunia dari atas, cuma itu.
...***...
Sore pun menjelang, dan akhirnya kami semua, lima orang personil Toserba ini sepakat untuk bayar barang yang hilang dengan bagi rata.
Dan seperti yang selalu terjadi, nominalnya gak pernah sedikit. Masing-masing kami harus bayar 200 ribu karena total barang yang hilang sudah tembus sejuta bulan ini.
"Gue boleh bayar abis gajian?" Tanya gue kepada yang lain, dengan intonasi yang datar, gue udah membuang segala emosi gue dihari itu.
"Ya udah Ram, gue catet dulu nama lo, ya."
"Hari pertama langsung gue ganti."
"Udah, jangan dipikirin, kita lagi sial aja ini." Sahut rekan gue yang lainnya.
Gue berhenti bicara setelah itu, tenggorokan gue kering, bibir gue pecah-pecah, dan untuk minum saja gue gak punya nafsu. Satu hal yang ingin gue segera lakukan adalah pulang.
Tak terasa, jam sudah ada di pukul delapan, six to eight.
Rekor baru.
...***...
Selepasnya di rumah, ternyata ekspektasi gue terjun payung lagi.
Gue belum boleh istirahat setelah melihat nyokap gue ribut dengan suami barunya.
Iya, nyokap gue nikah lagi setahun selepas bokap kandung gue meninggal.
Dan si suami barunya ini betul-betul sampah yang harus dibuang, mereka ini ribut diwaktu yang gak tepat.
Telinga gue panas, jantung gue mau meledak, dan saat tahu gue pulang dengan muka capek harusnya mereka sadar kalau beberapa detik lagi gue akan...
Meledak.
"Lo berdua bisa diem gak!? Lo pergi dari sini anj*ng! Cari masalah terus, lo tau waktu gak? Otak lo pake t*lol!"
Gue ini tipe yang memendam, tanpa gue sadari, gue mengumpulkan emosi yang udah gue terima sedari pagi dan harusnya bisa gue tahan terus, tapi kali ini... Saat gelas yang nampung emosi gue tumpah, api yang menyundut bom di dalam alam bawah sadar gue meluap ke permukaan dan meledak.
Seisi rumah langsung terdiam, hening karena baru ingat kalau di rumah ada satu orang yang paling berat pundaknya marah.
Gue menghampiri kamar mereka dan sekali lagi meluapkan semuanya. "Berisik, Ram, jangan ribut!" Kata mereka.
Gue langsung tarik napas panjang detik itu juga.
"LO YANG BERISIK SAMP*H!!!"
Nyokap gue pun segera tarik tangan gue ke kamar gue, dia nahan gue biar gue gak bertindak semakin jauh.
"Kenapa sih Ram?! Jangan ikut-ikut, ini bukan apa-apa! Baru pulang udah marah-marah!"
"Berisik! Kalo akhirnya cuma ada ribut-ribut kenapa harus pilih si samp*h yang gak ngapa-ngapain itu?! Sadar mah!"
"Rama!" Bentak nyokap gue.
Dan... Si samp*h itu pergi tanpa ada kata-kata yang harusnya orang dewasa sampaikan senormalnya.
Lagi, dan lagi.
Hal kayak begini bukan sekali, atau dua kali gue alami. Sebenarnya sering, tapi kadang gue hiraukan karena gue rasa nyokap gue udah kepalang bodoh aja, dan gue semakin bodo amat. Tapi hari ini beda, seperti yang sudah gue katakan, gelas emosi gue sudah penuh.
Jadi orang yang tempramental itu berat, apalagi saat dimana lo pemarah, tapi lo gak bisa marah diwaktu seharusnya lo marah. Rasanya badan gue mau ambruk kemakan sama diri gue sendiri.
...***...
Malam ini gue tidur menyamping ke kiri dengan mata yang baru terbuka setelah tidur beberapa jam, gue yang gak tau mau ngapain lagi cuma bisa membiarkan jempol gue scrolling layar handphone di sosial media.
Gue melihat banyak hal malam ini, kebanyakan adalah hari-hari teman-teman gue yang gue nilai kehidupan mereka jauh lebih baik.
Mereka senyum lepas, jalan-jalan ke coffee shop langganan mereka, ada yang baru beres menyelesaikan kuliahnya, ada yang baru aja nikah, banyak hal, intinya momen-momen dimana kalo gue ada di posisi mereka, gue juga akan memposting hal yang sama.
Gue sempat lihat postingan gue beberapa hari terakhir, isinya cuma kumpulan film yang gue tonton dari layar laptop jadul gue, dan musik-musik yang lagi gue terus dengerin.
Sepersekian detik kemudian gue sadar...
Gak ada hal yang menarik untuk dibagikan hari ini, kayaknya gue lagi menampung kesialan teman-teman gue.
Tapi gak apa-apa juga, toh sebenarnya gue gak sendirian dalam mengalami kesulitan, di dunia yang luas ini, bukan cuma gue yang punya sakit kepala karena stress berkepanjangan, ada banyak orang seperti gue.
Gue yakin, itulah sebabnya, gue bersyukur masih ada cahaya di hati gue meski gak bisa menerangi segalanya.
Nyokap gue sebetulnya adalah orang yang sangat baik dan ibu yang sempurna untuk gue, tapi kehidupan kadang menggiring dia ke orang yang salah dan gue gak bisa kontrol itu.
Kalu bokap gue, dia udah gak kesakitan lagi setelah sekian lamanya.
Bokap gue meninggal dengan wajah yang datar, tanda ia merasa hidupnya belum boleh tuntas dengan sebagaimana ia mau.
Gue jadi mikir...
Gimana ekspresi gue saat meninggal nanti?
Entahlah, gue juga gak tau, dan gak mau berekspektasi lebih tinggi, sejengkalpun gue enggan.
Karena pada titik ini, kisah gue akan dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments