Eps. 2: Stranger

Seperti biasa gue bekerja di Toserba, kali ini gue kebagian jadwal shift dua yang dimana dimulai dari empat sore sampai dua belas malam. Larut banget memang, tapi apa boleh buat.

Kinan, rekan kerja gue kali ini bercerita tentang seorang customer yang baru-baru ini sering banget borong banyak barang dari Toserba kami, dia begitu antusiasnya sama customer ini, karena semenjak customer ini datang, sales kami mengalami kenaikan pesat.

"Lo tau gak Ram? Ternyata mbak yang sering belanja banyak itu penghuni Apartemen baru di depan kita lho!" Ucap Kinan bersemangat. Oh ya, ngomong-ngomong Toserba gue terletak di depan sebuah Apartemen yang bisa dibilang sudah lebih dulu ada ketimbang Toserba ini.

"Oh ya? Bagus dong, bisa-bisa sales kita kebantu tiap dia belanja, harus kita baik-baikin dia." Sahut gue yang ketika itu sedang merapihkan uang.

"Gue ngiri banget sih Ram sama dia, udah cantik, tajir mampus pula! Gila... Bahagia banget gue kalo jadi dia." Lanjut Kinan, kali ini gue cuma tersenyum tanpa berkata sepatah kata apapun.

Lalu, gak lama kemudian, secara ajaibnya perempuan yang Kinan ceritakan datang ke Toserba kami.

"Selamat malam, silahkan berbelanja." Sambut gue dan Kinan.

Ternyata Kinan gak salah, perempuan ini betul-betul cantik dan badannya bagus mirip seorang model, parfum yang dia pakai juga bisa membuat seisi toko jadi harum banget, seketika aja gue menatap Kinan dengan ekspresi kagum, dan Kinan seraya berbisik... "Kan, apa gue bilang!" Katanya gembira.

Gue pun secara gak sadar jadi memperhatikan perempuan yang kira-kira usianya sedikit lebih tua dari gue, dia punya rambut hitam yang berkilauan, wajahnya eksotis khas perempuan Indonesia, manis, juga cantik disaat yang bersamaan.

Kira-kira setelah 20 menit memilih barang sembari bertelepon ria dengan seseorang, dia pergi ke meja kasir untuk membayar semua barang-barangnya yang ternyata banyak seperti kata Kinan. Saking banyaknya, gue sampai harus turun tangan bantu Kinan masukin barang yang dia scan ke tas belanja.

Setelah sebuah nominal belanjaan yang tembus 850 ribu itu keluar dari layar mesin kasir, ekspresi perempuan ini cuma tersenyum sembari mengeluarkan credit cardnya tanpa perlu tau dia dapat diskon berapa, atau dapat voucher apa, dia gak perduli! Dia langsung bayar dan...

"Kamu boleh tolong aku bawain tas belanjaan aku gak? Kayaknya aku gak bisa bawa semuanya sekaligus." Katanya ke arah gue, gue yang sempat kaget langsung mengiyakan dan pergi ke depan meja kasir, lalu membawa tiga kantung belanjaannya.

"Iya kak." Jawab gue sigap.

Perempuan ini melempar senyumnya lagi, dengan ramah dia berkata, "maaf ya, jadi ngerepotin kamu."

Gue menggelengkan kepala, "enggak sama sekali kak."

Dia tertawa kecil, "oke, yuk ikut aku."

Gue secepat kilat langsung melirik Kinan, dan Kinan mengedipkan matanya sambil memberi jempol.

"Sikat Ram!" Bisiknya.

Kami pun berjalan beriringan, berdua, di lorong Apartemen malam yang lagi sepi-sepinya, sesekali dia melirik gue dengan ramah, sementara gue hanya bisa melempar senyum tipis malu-malu. Jarak gue dan dia benar-benar gak ada celah, wajahnya deket banget, dan dari jarak ini, sepanjang jalan itu yang gue cium cuma wangi dari parfumnya.

Lalu, keheningan di antara kami pun pecah karena dia memulai percakapan.

"Kamu udah lama kerja di Toserba itu, Rama?" Tanyanya dengan suara halus yang manis.

Gue kaget, kok dia tau nama gue?

Tapi gue gak menghiraukan hal itu karena gugup setengah mati.

"Udah lumayan lama kak." Jawab gue pada akhirnya.

"Hmm begitu, kamu gak kuliah?"

"Saya kurang mampu buat kuliah kak, jadi abis lulus SMA langsung kerja."

Lama kelamaan pun obrolan kami makin cair dan mengalir, meski kebanyakan dia yang lempar pertanyaan, gue masih dengan senang hati menjawab semuanya.

"Sayang banget ya, kamu juga yang bayarin semua anggota keluarga kamu?"

"Begitulah kak."

"Ayah kamu gimana?"

"Ayah saya udah meninggal beberapa tahun yang lalu."

Perempuan ini langsung menyandarkan telapak tangannya ke bahu gue, "sorry ya Rama." Katanya, gue makin gugup, "i-iya gak apa-apa."

"Pasti berat ya jadi tulang punggung keluarga satu-satunya, mana lagi kalau kerja di Toserba pasti ada aja keluar uangnya, kan?"

"Iya benar."

"Aku juga anak pertama, Rama. Dan kamu tau? Backgroundku juga sama kayak kamu, ayahku meninggal waktu aku masih SMP, dan ibuku kerja mati-matian setelah itu, begitu aku lulus SMA, aku kerja jadi barista sambil kuliah." Jelasnya panjang lebar, gue gak sangka dia akan cepat terbuka begini sama orang asing.

"Wah, keren banget kak!"

"Bukan apa-apa kok, kamu juga harus kuat ya, hidup ini tuh isinya pertarungan, yang kuat yang akan bertahan. Kalau kamu lengah, akan ada banyak orang yang siap nusuk kamu dari belakang."

"Iya kakak bener."

Sedetik kemudian gue langsung ngeh, berat juga berarti perjuangan dia ya.

Terus gue pun memberanikan diri untuk melempar pertanyaan untuk pertama kalinya.

"Sekarang kakak kerjanya apa kalo boleh tau?"

Wajahnya langsung menerawang ke langit-langit.

"Hmm... Sebetulnya sekarang aku lagi menikmati hasil dari kerja aku yang mati-matian itu, jadi kalo kamu tanya sekarang aku kerjanya apa, ya... Aku nganggur aja, tapi tabunganku cukup sampai umurku tembus 100 tahun, kalo aku masih hidup loh ya! Hahaha..."

Gila. Sumpah demi apapun gue langsung berkata dalam hati, "gue harus tau lebih lanjut!"

"Sumpah kak?! Emangnya dulu kakak ngerjain apa?" Kata gue, gue makin memburu berkali-kali lipat kalo udah sangkutan dengan masalah uang.

"Ada deh Rama, rahasia! Hahaha." Jawabnya dengan wajah jahil. Gue jadi lemes... Gagal deh

"Ohh hahaha... Maaf kak."

"Hahaha... Gak apa-apa banget kok, sumpah, wajar aja kamu penasaran."

Dan pada akhir percakapan kami, kami udah sampai di depan kamar Apartemennya. Gue segera menaruh barang belanjaan di tempat yang dia mau, dan langsung pamit, tapi... Belum juga selangkah gue menjauh, dia memanggil.

"Rama tunggu!"

"Iya kak?"

"Hmm, aku boleh minta tolong gak?"

"Apa itu kak?"

Seketika itu juga dia kasih gue kartu namanya yang dia keluarkan dari dalam dompet.

"Nanti kamu chat aku ya, hmm... Cuma sekedar kalau aku butuh apa-apa bisa minta kamu anter kesini mungkin?"

"Oh ya bisa, tentu aja bisa kak."

Dia melempar senyum lagi, "oke, aku nanti tanya shift kamu dulu ya sebelum request belanjaan."

"Iya kak, pasti aku anterin kalo lagi jaga." Gue membalas senyum.

"Oke Rama, makasih banyak ya!"

"Sama-sama kak."

Dan gue pun berlalu pergi.

Sambil jalan, gue langsung memperhatikan kartu nama putih dengan tinta hitam bertuliskan nama Grace Victoria, gak cuma itu... Gue sempat senam jantung karena kaget dengan lima lembar uang seratus ribuan yang ternyata terselip di bawah kartu nama tadi.

Gue tertohok sambil menutup mulut, gila, uang tip-nya aja tembus lima ratus ribu. Dia bukan sembarang orang!

Grace Victoria, gue akan berusaha mengulik dia jauh lebih dalam lagi sampai gue bisa tau dia kerja apa sebelum bisa sekaya ini.

Gue jalan sambil bengong, khayalan gue udah terbang jauh ke antah berantah, memikirkan hal apa aja yang bisa gue lakukan kalo udah ada di posisi kayak dia.

Ah mau gila rasanya!

...***...

Sesampainya di Toserba, Kinan udah nungguin banget kabar dari gue, dia antusias parah di meja kasir dengan mata berbinar-binar.

"Gimana dia orangnya? Ramah gak? Asik gak? Kamarnya mewah banget gak?"

Gue senyum malu sambil mengangguk, terus gue langsung taruh sebungkus nasi padang paket lengkap kesukaan Kinan di atas meja kasirnya.

Kinan memicingkan mata, "lo dapet tip ya? Ngaku deh!"

Gue ketawa, "gak banyak kok, hehe, cukup buat beli dua nasi padang paket lengkap." Yang padahal lebihnya banyak banget.

"Huh, yaudah deh... Makasih ya Ram!"

"Iya iya..."

...***...

Di perjalanan pulang, gue memutuskan untuk segera simpan nomor Grace ke kontak gue, dan disaat itu juga gue memberanikan diri untuk chat ke nomornya buat kasih tau kalau nomor dia udah gue simpan.

Responnya ternyata tetep aja ramah meski cuma lewat chat, setelah itu gue gak balas apa-apa lagi dan melangkahkan kaki menuju rumah dengan pasti.

...***...

Karena besok jadwal gue ada di shift dua lagi, gue jadi punya kesempatan buat begadang malam ini, seperti biasa gue membuka akun gue di twitter, akun dimana gue bisa sembunyi dari kehidupan asli yang membosankan ini dan berubah jadi pribadi yang menyenangkan, juga bebas.

Kalau di dunia nyata gue introvert, di twitter gue bisa jadi ekstrovert dengan mudahnya. Seolah-olah punya dua kepribadian yang bisa gue ganti-ganti sesuka hati gue.

Malam ini, seperti biasa, seorang teman gue yang bernama Vivi menghubungi gue lewat chat, dan ternyata chat itu udah gue lewatin beberapa hari ini, otomatis gue langsung chat balik Vivi dengan harapan dia bisa segera online lagi.

Oh ya, gue kenal dengan Vivi dari akun creepy yang sering banget kami komentari isi threadnya, dan ternyata sedikit banyaknya kami punya kesamaan dibeberapa hal, kayak genre musik, film, dan hobi hal-hal berbau creepy.

Bermenit-menit telah berlalu, dan Vivi gak kunjung online, gue pun memutuskan untuk pindah dari twitter ke game online yang suka gue mainin.

Tapi... Saat gue sudah mau login, Vivi muncul membalas chat gue.

Ngomong-ngomong soal Vivi, dia dan gue sama-sama menyembunyikan identitas diri kami masing-masing, jadi gue gak tau gimana rupa Vivi, dan Vivi juga gak tau gimana rupa gue. Satu hal yang hanya kami beritahu adalah nama kami, tiap kali kami berbalas chat, biasanya kami selalu menceritakan apapun yang lagi kami alami minggu-minggu ini, secara garis kasarnya, kurang lebih begitu. Jadi uniknya hubungan kami adalah, kami bisa paham satu sama lain meskipun hal yang kami bicarakan gak ada satu pun yang dijelaskan detail. Segalanya mengalir begitu aja dari awal chat sampai selesai chat.

Sedikit background dari Vivi, dia ini yang jelas seorang pelukis muda yang lagi merintis karirnya, berjuang setengah mati demi mimpinya dengan keadaan keluarga yang broken home.

Kami sama di banyak sisi, salah satunya adalah perihal ambisi masing-masing.

Ambisi gue adalah punya uang banyak dan hidup bebas berkecukupan, sementara ambisi Vivi itu hidup bebas dari kekangan keluarganya yang sangat amat toxic.

Jadi kami sama-sama ingin bebas dari jeratan hidup kami.

Vivi pernah bilang ke gue, "Ram, gue tuh sekarang udah semakin bodo amat sama hidup gue, semisal gue mati sekarang pun ya udah mati aja. Satu-satunya hal yang teramat gue suka cuma melukis, selebihnya gak ada. Gue udah coba macam-macam cara buat lari dari adiksi keluarga gue terhadap diri gue, tapi mereka gak akan pernah berhenti sebelum gue mati."

Vivi lahir dari keluarga besar yang semua nama belakang anggota keluarganya punya gelar, sementara Vivi enggak sama sekali, dia bisa aja kuliah dan punya gelar, tapi jalan hidup Vivi sama sekali gak begitu. Sama halnya dengan seniman-seniman diluar sana, Vivi menuangkan segala macam tekanan hidup dan depresinya lewat lukisan, dari lukisan, Vivi sembuh perlahan-lahan.

Kalo boleh dianalogikan, Vivi ini layaknya orang sakit yang dipenjara. Dia gak akan pernah bisa sembuh sebelum bebas.

Begitulah Vivi.

Kami pun terus bertukar pesan sampai pagi buta, gue ini termasuk pendengar yang baik, jadi mungkin itu sebabnya kami berteman akrab selama ini, meski sama-sama sembunyi dari identitas palsu, gue tau Vivi orang baik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!