Vivi rebah di atas kasur, sementara gue masih tak tenang.
"Lo mikirin apa?" Tanya Vivi yang mulai risih ngeliatin gue sedari tadi melamun.
"Intonasi suara perempuan itu gak terdengar jujur." Jawab gue yang masih larut dalam diam.
"Perempuan? Siapa?" Vivi mulai beranjak dari kasur, dia berdiri dan duduk di hadapan gue.
"VIP yang perempuan, entah kenapa gue merasa kalau dia bohong soal kepulangan 07, dan 08." Ucap gue kemudian.
"Firasat lo aja kali, kemungkinan terburuk dipulangkan paling apa, sih?" Vivi menepis ucapan gue, dia kembali mencoba bersikap santai.
"Kemungkinan terburuk selalu ada, itu yang harus jadi motivasi kita buat gak kalah."
Vivi terdiam seketika, "tujuan lo apa sebenarnya ikut permainan ini?" Arah pembicaraan kami jadi makin serius.
"Biaya pengobatan nyokap, sisanya untuk membenahi hidup dan masa depan gue. Kalo... Lo?" Gue kembali melempar pertanyaan itu ke Vivi.
Vivi tertawa kecil, "sorry to say, tapi anggap lah gue aneh. Gue ikut permainan ini karena mau kabur dari keluarga gue yang toxic, bego banget gak sih gue?"
Sejujurnya gue tau itu, karena Vivi sering curhat di twitter. Ternyata Vivi betulan gak sadar kalau gue ini adalah Rama teman onlinenya juga.
Gue mulai tersenyum, "gak, lo gak bego kok. Tiap orang pasti punya jalan keluar dari masalahnya masing-masing."
Dan Vivi meninju baju gue pelan, dia terlihat riang, "thanks, gak pernah ada orang yang bilang begitu ke gue. Lo asik juga ya ternyata."
Gue ikutan riang, "gak masalah."
"Oh ya, gini deh... Karena gue gak punya tujuan di sini, gue rasa hidup gue akan jauh lebih bermanfaat kalau gue bisa bantu lo memenangkan permainan, setidaknya bisa berkontribusi untuk kesembuhan nyokap lo. Gimana?" Ucap Vivi. Dan kata-katanya membuat gue tertegun.
"Ah gue gak enak, tetap kita bagi rata uangnya untuk kehidupan masing-masing." Jelas gue, namun Vivi malah ketawa lagi, "hahaha... Ya udah oke, tapi lo gak perlu bagi rata, berapa pun gue terima. Asalkan kita menang!"
"Mana boleh begitu, uang gak ada saudaranya." Tapi gue masih pada pendirian gue.
"Cih, dasar orang aneh, gak biasanya ada manusia kayak begini." Gerutu Vivi.
"Gue sih terserah lo mau lo apakan lagi uang bagian lo, tapi jujur, kita kan ngejalanin permainan ini berdua, jadi uangnya juga harus dibagi sama rata." Lanjut gue, dan kali ini Vivi gak mendebat argumen lagi, dia langsung paham seperti apa gue ini.
"Didikan orang tua lo bagus, ya." Nada bicaranya mulai melemah. Vivi menoleh ke arah lain, kemudian dia bangkit dari duduknya ke kulkas.
Belum sempat gue menjawab lagi ucapan Vivi, tiba-tiba saja dari luar kamar terdengar suara ketukan pintu.
*TOK! TOK! TOK!
Mendadak kami berdua langsung waspada. Vivi menggenggam belatinya dengan posisi mantap, sementara gue juga udah bersiap membuka pintu.
"Hitungan ketiga Ram, lo buka, gue tikam perutnya." Perintah Vivi.
Gue mengangguk, *gulp
Kami membuka pintu dalam hitungan...
1
2
3
"Sekarang!"
Gue menarik pintu, dan...
"Tusuk Vi!!!" Teriak gue panik.
Sementara Vivi terheran-heran, "lah..."
Gue pun ikutan bingung, "kenapa?"
Kemudian Vivi terlihat membungkuk dan mengangkat sebuah paket besar yang tergeletak di luar pintu kamar. "Cuma ada ini di depan pintu."
"Hm?"
Kami berdua pun kembali menutup pintu kamar dan beranjak duduk lagi untuk memeriksa isi paket ini.
"Masa iya orang yang kirim paket bisa hilang secepat itu."
"Gue juga bingung."
Setelah kami buka paket, kami mengeluarkan isi paket tersebut.
"Hah? Ini kan dress." Ucap Vivi, jadi benar... Isi pertama dari paket ini adalah sebuah set dress cantik berwarna putih bersama dengan sepasang sepatu heels berwarna seragam.
"Dress buat apa?" Vivi masih terheran, sementara gue menyadari bahwa ada sebuah kartu dari dress yang tadi Vivi angkat.
Di sana tertulis, "kenakan lah pakaian ini untuk acara perjamuan kedua."
"Coba bongkar sampai bawah, jangan-jangan lo juga kebagian." Ujar Vivi.
Gue pun membongkar isi keseluruhan paket, dan benar saja, di lapisan paling bawah ada satu set jas hitam lengkap beserta dengan sepatunya juga.
"Resmi banget, apa harus kita pakai?" Tanya gue, Vivi mengangkat bahu. "Gue sih gak pengen, tapi kayaknya harus, mana gue warna putih lagi, sialan."
"Acaranya juga sebentar lagi, kayaknya kita harus siap-siap."
Vivi membawa dressnya, "oke kalau gitu gue coba dulu pakai ini."
"Oke." Jawab gue polos.
Tapi Vivi seolah-olah mau mengamuk.
"Oka oke, sana balik badan!" Bentaknya, gue kaget! Dengan reflex langsung balik badan menghadap dinding. "Ma-maaf."
Setelah itu gue gak mikir apa-apa, gue cuma mendengar betapa repotnya Vivi memakai dress itu.
"Nah udah." Katanya beberapa menit kemudian, gue pun membalik badan gue lagi ke posisi awal. Dan gue langsung tertegun, Vivi kelihatan cantik banget dengan dress itu, warna kulitnya cocok dengan warna dari dress, dan ukurannya juga pas untuk tubuh Vivi.
"Gue kelihatan gendut gak?" Tanyanya.
"Enggak kok." Jawab gue masih tertegun.
"Oke deh, nyaman juga bahannya. kayaknya ini dress mahal deh."
"Cocok sama lo, lo kelihatan jadi lebih feminim."
Vivi tersungut, "ngeledek ya?"
"Enggak!"
"Cih, ya udah giliran lo siap-siap."
"Oke."
Gue pun mengambil set jas yang dipaketkan tadi, kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Melihat gue, Vivi terdiam membatu... "Oh iya, kenapa gue gak ganti di kamar mandi aja ya." Katanya sendiri.
Beberapa menit pun berselang, jauh lebih lama dari Vivi, gue gak keluar-keluar dari kamar mandi.
"Hoi, lo mandi lagi kah? Lama banget!" Teriak Vivi.
"Se-sebentar!" Jawab gue terbata.
"Lo lagi ngapain?!"
"Pasang dasi."
"Astaga cowok ini, bener-bener deh." Gerutu Vivi.
Gak lama kemudian, Vivi menendang pintu kamar mandi!
*BRAAAK!
Gue kaget setengah mati!
"Woi lo gila ya?!"
"10 menit lagi acara mulai, dan lo masih sibuk sama dasi?! Sini lo!" Bentaknya.
Vivi langsung menyeret gue keluar dari kamar mandi, kemudian dia memasangkan gue dasi sembari merapihkan kerah kemeja gue. Sementara itu, gue cuma memalingkan muka karena malu.
"Nah begini kan rapih, coba aja dari tadi minta tolong. Lo tuh ya, apa-apa selalu sendirian." Ujar Vivi.
Mata kami saling bertautan, gue mengedip.
"Apa? Mau gue colok mata lo?" Vivi makin dalam menatap.
Gue langsung menepis pandangannya, "udah ah, ayo keluar." Dan berjalan menuju pintu.
"Lho! ngambek." Ledek Vivi lagi.
...
Ketika gue sudah membuka pintu kamar, ternyata ada Baskara dan Cindy yang sudah menunggu di lorong.
"Kalian."
"Eh, hai guys!" Sapa Cindy.
"Hai, Cind."
"Sorry, tadinya kami mau ketuk pintu, tapi kayaknya kalian lagi seru, hehe." Ledek Baskara.
Muka gue memerah, "apanya!"
Tak lama kemudian, kepala Vivi menengok dari dalam kamar. "Hai Cind, hai Bas!"
"Hai Vi!"
"Wah, pakaian kalian warnanya bagus!" Puji Vivi.
Baskara melihat jas miliknya dan dressnya Cindy, kemudian hanya mengacungi jempol ke arah kami dengan senyuman yang dipaksa.
"Baskara gak suka warna pink." Ucap Cindy sambil tersenyum.
Gue gak bisa membalas tawa karena masih malu soal dasi tadi, "seenggaknya dasi kupu-kupu lebih gampang dipasang." Lanjut gue, juga mengacungi jempol dengan senyuman paksa.
Kami berempat pun akhirnya berjalan menuju rooftop tempat acara perjamuan ini kembali dilakukan, hari ini entah mengapa semua lift berfungsi kembali seperti seharusnya.
"Wah, padahal kita susah payah naik turun tangga, ternyata liftnya masih bisa berfungsi." Gerutu Vivi.
"Mirip lampu, kayaknya seluruh gedung apartemen ini udah disetting deh." Jawab gue.
"Iya, gue sama Cindy juga udah berkali-kali nyobain lift, tapi sama sekali gak fungsi." Sambung Baskara.
Dan akhirnya, setelah itu kami sampai di rooftop. Perjamuan sudah sangat lengkap disiapkan, mulai dari banyaknya para pelayan hari ini dengan seragam khusus mereka yang berlogo sentrifugal, juga para player lain yang sudah tiba di sana, serta kelima VIP yang telah menanti kami.
Grace mengedipkan matanya saat melihat kedatangan gue, sementara gue hanya menatap Grace sebentar sebelum Vivi menarik tangan gue untuk mengambil segelas wine.
"Cewek sialan." Maki Grace dalam hati.
Dari sudut rooftop, 01 sedang memandangi langit dengan ditemani 02 seperti biasanya.
"Nona, anda jadi melakukan rencana itu?"
"Tentu saja."
"Apa perlu saya juga mengikuti rencana anda?"
01 menatap 02, "gak perlu. Rencana ini harus berjalan senatural mungkin."
02 menunduk, "baik."
...
Vivi memotong steik yang ada di hadapannya, "Ram, lo gak lapar apa? Kayaknya lo dari tadi cuma pilih-pilih makanan, tapi gak ada yang lo makan."
"Iya, makanan di perjamuan sama di kamar kita beda loh." Tambah Baskara.
"Gue kayaknya kekenyangan deh guys, saking kenyangnya sampai gak nafsu lagi makan di sini." Jawab gue.
"Sayang banget, kayaknya setiap kita selesai permainan akan terus ada acara perjamuan kayak begini deh."
"Gue rasa juga begitu, Cind."
Sejujurnya, alasan gue buat gak makan adalah karena gue yakin, salah satu makanan disini pasti udah disusupi oleh obat tidur! Entah kenapa, tapi kayaknya baru gue yang sadar kalau Sentrifugal punya pola yang sebenarnya sama, kami dibuat menjauhi titik awal dengan cara yang gak pernah berubah, terus menerus begitu.
Dan untuk membuktikan firasat gue ini, gue akan coba untuk gak makan sama sekali semua hidangan yang disediakan.
Karena...
Permainan kedua pasti punya setting tempat yang berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments