Eps. 3: Weird

Gue menatap Apartemen dari balik kaca Toserba sembari memperhatikan lampu kamarnya Grace, "hari ini dia gak mau belanja apa ya?" Kata gue tanpa gue sadari.

"Lo lagi liat apaan?" Celetuk Nabila, yang kebetulan sekarang gue shift dua bareng dia gantiin Kinan yang tadi masuk shift satu.

"Enggak... Gue cuma lagi nunggu pesanan." Jawab gue seadanya. Sesekali gue juga melihat layar handphone gue yang sepi, beberapa kali juga gue mundar-mandir twitter balesin chatnya Vivi yang lagi ceritain soal viralnya situs web misterius yang katanya suka mengundang banyak anak-anak muda untuk melakukan permainan aneh atas dasar imingan uang tunai milyaran juta.

Sebetulnya gue juga sempat coba akses web ini karena penasaran, tapi sial, web ini punya ip di luar negeri, sementara gue gak bisa buka tanpa VPN. Tadinya gue yang penasaran juga sempet tanya apa Vivi udah coba buka website ini atau belum, dan ternyata sama, Vivi juga kesulitan login meski sudah pakai VPN.

Website aneh ini udah tersebar dimana-mana beritanya, sampai masuk minggu ini pun masih jadi trending nomor satu di twitter, gak turun-turun walau pun banyak berita viral lainnya bermunculan. Gak hanya itu, para konten kreator dari youtube dan tiktok juga gak henti-hentinya nyoba buat buka website ini, yang gilanya lagi mereka sampai harus sewa kemampuan hacker untuk meretas website ini, tapi gagal.

Sekalinya ada yang berhasil, malah konten settingan.

Semua konten kreator yang gue follow juga sampe ngebahas tentang website ini, dan dari salah satu channel kesukaan gue yang namanya Sepulang Kuliah, gue dapet info baru, konon katanya untuk bisa masuk ke website ini, lo harus punya akses khusus dari para agen atau mantan player dari website ini. Jadi setelah akses kita dapatkan, baru deh kita dibawa ke dalam permainan yang sesungguhnya. Dan ternyata para mantan player ini tersebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Pantesan, wajar aja kalau website ini gak bisa ditembus oleh siapapun, skalanya udah internasional begini, gue gak kebayang permainan apa yang bakalan disuguhi kalo gue jadi player disana.

Kayaknya gue bakal—

"Ram!"

"Oit, apaan?" Sial, lamunan gue pecah gara-gara Nabila manggil gue yang lagi rapihin barang di rak.

"Ada yang nyariin."

Gue kebingungan, "siapa?"

"Gak tau." Jawab Nabila sekenanya.

Grace kah?

Dan dengan secepat kilat gue langsung berlari kecil ke depan meja kasir. Namun ternyata dugaan gue salah, yang muncul di hadapan gue adalah kenalan lama SMA gue yang udah lama gak gue temui. Namanya Robby, dia senyum sambil melambaikan tangan kanannya. "Hai Ram!"

...***...

Kami mengobrol di luar Toko mumpung lagi sepi, Robby nyalain rokok yang dia keluarin dari balik sakunya, dan dengan entengnya Robby langsung menyerahkan selembar brosur asuransi ke hadapan gue.

Tentu saja tanpa basa-basi sedikitpun, sejak dulu gue dan dia memang gak pernah deket, gue juga berani taruhan, dia tau gue kerja disini bukan karena kita teman.

"Gue lagi ngumpulin member nih Ram, lo mau ikutan gak? Syaratnya gampang kok, toh kan lo harus menjamin kesehatan dan keselamatan lo kedepannya." Ucap Robby seraya tersenyum lebar, penampilan dia ini berantakan banget, gak kayak agen-agen asuransi pada umumnya. Jeans sobek, muka yang kusut, badan kurus, kacau pokoknya.

Tentu aja gue gak percaya kalo dia mau nawarin asuransi, dari sini aja gue udah bisa nilai kalo dia itu pecandu.

"Gak Rob, gue gak pakai asuransi, dan gak butuh-butuh banget." Ucap gue dengan nada penolakan.

"Ayo lah Ram, masa sih pekerja keras kayak lo gak butuh asuransi? Jaminan jiwa loh ini, kalo lo kenapa-napa lo ada backup!"

"Gue bilang gue gak butuh Rob, lo tawarin ke orang lain aja ya, sorry banget."

Akhirnya gue menjauh dari Robby dan kembali melangkah masuk ke Toko, tapi Robby malah narik lengan baju gue.

"Rama! Kalo lo mati gimana? Asuransi loh ini!"

"Kalo mati tinggal kubur."

Tapi gak cukup sampai situ, Robby ini kayaknya lagi sakau berat dan dia mulai bertindak anarkis.

"Tinggal bantuin temen yang lagi kesusahan apa sulitnya sih Ram? Anj*ng juga lo!" Teriak Robby, dia langsung lari ke arah gue dan menerkam badan gue sampai gue ambruk di lantai Toserba.

"Bangs*t! Lo ngapain anj*ng!?" Bentak gue sambil coba terus pukulin muka Robby, tapi memang dasarnya dia udah lepas kontrol, Robby sama sekali gak ngerasain pukulan yang terus menerus gue layangkan. Yang ada dia malah mencengkram kerah baju gue dan berusaha mencekik leher gue kuat-kuat.

"TINGGAL KASIH UANG AJA APA SUSAHNYA SIH BANGS*T!?"

Napas gue mulai menipis, cekikan dia betul-betul gak punya nalar sebagai manusia lagi, tapi gue bersyukur, kala itu tiba-tiba aja Nabila datang sembari membawa sapu dan dengan panik dia menghantam kepala Robby pakai gagang sapu itu sekuat tenaganya sampai-sampai Robby langsung melepaskan cengkraman tangannya dan gue pun lolos dari sergapan itu, melihat situasinya, gue pun tanpa pikir dua kali langsung nendang wajah Robby sampai hidungnya mimisan dan dia berlari kalang kabut dari Toserba kami.

Jantung gue mau meledak rasanya, gue sama Nabila saling tatap menatap, kami bener-bener gak bisa proses apa yang barusan kami alami. Kalau aja Nabila lagi gak diposisi sedang nyapu di area sales, mungkin kesadaran gue udah hilang, cengkraman Robby seketika memberikan bekas kemerahan di leher gue.

"Temen lo orang gila ya Ram!? Anj*ng kaget gue!" Cerocos Nabila marah-marah.

"Bukan temen gue Nab, maaf banget gue gak sangka kalo dia tiba-tiba kesurupan begitu."

Nabila terduduk lemas, dia masih meluk gagang sapu yang dari tadi dia bawa sambil gemetar.

"Leher lo gak apa-apa Ram?"

"Gara-gara lo tanya, gu-gue jadi susah ng-ngomong." Jawab gue serak dan terbata-bata.

Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nabila cuma menggelengkan kepalanya. Kemudian shift kami pun berlalu begitu saja sampai ke waktu closing dan pulang.

"Gue tungguin sampe bokap lo jemput Nab." Kata gue ke Nabila, kami udah di luar toko, gue duduk nungguin bokapnya Nabila dateng karena gue tau Nabila masih shock banget sama kejadian tadi.

"Gue malah lebih khawatir kalo lo diserang lagi Ram, siapa tau dia belum jauh? Bisa jadi kan dia nungguin lo?" Cecar Nabila.

Gue langsung mengeluarkan bracket shelving rak yang udah gue bawa dari gudang, "tenang aja, kalo dia muncul gue hajar mukanya pake ini."

Dan seketika Nabila lega, "awas aja lo kalo kena terkam kayak tadi lagi Ram, gak kebayang deh gue, amit-amit."

"Enggak, tenang aja, gue gak akan ketipu buat kedua kalinya."

Gak lama setelah itu datanglah bokapnya Nabila, dan akhirnya mereka pergi dari sini menuju rumah.

Gue pun akhirnya berjalan pulang juga.

Sepanjang jalan, gak henti-hentinya gue memperhatikan ke sekeliling, tiap ada gang gelap, tingkat kewaspadaan gue meningkat, dan tiap kali gue ketemu sosok manusia, gue selalu mempertajam penglihatan gue. Pokoknya malam itu terasa jauh lebih mencekam daripada hari-hari biasa.

Sebetulnya gue juga masih shock, gak gue sangka orang yang dari dulu gak pernah akrab sama gue tiba-tiba muncul dan berlaku seperti itu. Pake acara nawarin asuransi pula, padahal cuma mau minta uang, gue gak kebayang dia bisa senekat itu.

...***...

Badan gue rebah saat di atas kasur, sehabis minum air hangat, tenggorokan gue masih aja sakit, orang gila, hampir mampus gue malam ini.

"Rama kamu gak apa-apa?" Tanya nyokap gue yang mengintip dari balik pintu kamar.

"Gak apa-apa." Jawab gue singkat.

"Besok masuk apa?"

"Pagi, mah."

"Ya udah tidur, istirahat, besok mamah bangunin."

"Ya."

...***...

Semakin malam, saat jam terus berdetak melewati pukul satu dini hari, gue masih belum bisa tertidur.

Rasanya jadi ingat waktu sekolah dulu. Gue yang selalu diam di sudut kelas gak pernah punya satu orang pun teman yang bisa gue ajak ngobrol, masa-masa Sekolah gue selalu tanpa kesan karena gue menjauhi diri. Boro-boro kisah cinta monyet, punya sahabat aja enggak sama sekali.

Entah kenapa, gue cuma bisa akrab sama orang-orang di media sosial. Gue ngerasa lebih percaya diri ngebuka obrolan apapun sama mereka, dan rasanya juga lebih tenang karena gak harus kumpul-kumpul nongkrong ke luar rumah.

Mungkin itu juga sebabnya gue jadi kurang koneksi dan sekarang malah harus kerja di Toserba, gue sama sekali gak melihat jalur suksesnya, sial... Tiba-tiba gue merasa kalau masa depan gue makin gak keliatan aja.

Tubuh gue rebah ke arah kanan, kedua telinga udah disumpal earphone yang terus memutarkan lagu-lagu pop punk. Gue mencoba tenang dalam kesendirian, segala yang gue alami di hari ini gue proses satu per satu, dan gue memastikan diri bahwa hari ini gue udah melakukan semuanya semaksimal mungkin, walau pun kejadian tadi gila banget, gue gak ada penyesalan.

Akhirnya gue bisa tidur tenang.

...***...

Pagi pun tiba tanpa terasa, setiap pukul 5 gue udah harus sepenuhnya sadar. Seperti biasa, berangkat tanpa lupa pamit dan berjalan dengan masih membawa perasaan waspada. Gue gak pernah tau kapan kesialan akan menimpa, jadi gue harus siap sama segala kemungkinan terburuk.

Ini hari minggu, jalanan sepi karena semua orang-orang di Jakarta pasti bangun lebih siang menikmati weekend mereka. Beda halnya dengan gue yang hari weekend-nya ada di waktu weekdays.

Kegiatan bermula tanpa ada satu pun hal yang aneh, gue jaga bareng Nabila lagi karena dia bawa kunci cadangan. Kami memulai segala macam jobdesk kami dari yang paling banyak dulu, biasanya Nabila izin sarapan, tapi pagi ini dia memilih buat lebih sering ada di area sales entah kenapa.

Lagi asik-asiknya ngejalanin jobdesk hari minggu, tiba-tiba aja Grace muncul berbelanja ke Toserba ini. Gue kaget dia datang lengkap dengan pakaian olahraga tanda dia habis pulang jogging.

Nabila langsung melayani, dan ternyata Grace mau isi ulang galon air di kamar Apartemennya.

"Rama, bisa tolong aku bawa galon air gak?" Pintanya, tanpa pikir dua kali gue langsung menyanggupi dengan ramah.

Berjalanlah lagi kami, gue udah bawain galon air yang dia mau, seperti biasa Grace selalu ceria, dia cerita banyak hal yang dia alami akhir-akhir ini, dan sebagai pendengar yang baik, gue sama sekali gak motong cerita Grace, sepanjang ia bercerita tanggapan gue selalu antusias sama tiap pembicaraan yang dia bawa, Grace kelihatan senang dengan sikap gue.

"Taruh disitu aja Rama, gak apa-apa." Katanya, gue pun segera menuruti sementara dia langsung duduk melepas sepatu larinya.

"Saya langsung balik ya kak."

"Tunggu Ram!"

"Ada lagi kak?"

"Sebentar ya." Grace bangkit dari duduknya, terus dia buru-buru masuk ke dalam dan gak lama kemudian kembali lagi dengan keranjang belanja Toserba kami yang sempat dia pinjam.

"Nih Ram, aku sempet minjem keranjang tempo hari sama temen kamu, makasih ya!" Katanya, gue tersenyum sambil ambil kembali keranjang yang ditutupi plastik kresek hitam itu.

"Iya sama-sama kak, saya balik ya."

"Iya Rama."

Turun dong gue, santai sambil bawa keranjang, dan niatnya sambil buang plastik kresek ini, mungkin maksud Grace biar sekalian aja. Tapi setelah gue angkat kresek itu, gue kaget lagi untuk kesekian kalinya.

Sekarang ada sepuluh lembar uang seratus ribuan. Satu juta rupiah. Lo bayangin!

Tapi bukannya gue seneng, kali ini gue gak enak hati karena udah terlalu banyak. Akhirnya gue kembali lagi ke kamar Grace untuk mengembalikan uang tip ini dengan pura-pura ada barang dia yang tertinggal.

Gak lama setelah gue ketuk pintu kamarnya, dia pun langsung menyambut.

"Oh hai Rama, ada yang ketinggalan?"

"Enggak kak, ini ada uang di keranjang kakak mungkin ketinggalan." Jawab gue dengan tulus, dia pasang wajah bingung.

"Itu uang tip untuk kamu Ram, ambil aja, lumayan buat jajan." Sambungnya lagi penuh senyum, tapi tetep aja gue gak enak.

"Maaf kak tapi kebanyakan banget, saya gak enak nerimanya, soalnya kerja saya gak seberapa kok."

Gue pun menjulurkan tangan dengan uang tadi, tapi Grace malah mendorong tangan gue kembali.

"Pegang, Rama. Aku kasih kamu karena kamu orang baik. Ini gak seberapa juga kok dari sekian banyak yang aku punya, jadi gak usah gak enak hati ya, kalo aku kasih ambil aja."

"Tapi kak—"

"Rama!"

"I-iya?"

Grace menatap gue tajam, dia menarik kerah baju gue sampai wajah kami semakin dekat, kemudian dia berbisik ke telinga gue. "Akan aku beritahu apa pekerjaan aku dulu, tapi sebelum itu, kamu harus tau bahwa kamu gak bisa kembalikan apapun yang aku kasih."

Napas hangat dari mulutnya begitu memburu, membuat keringat dingin mulai menetes dari kepala gue, tanpa sadar... Gue menelan liur.

"Kamu paham, Rama?"

Gue cuma mengangguk tanpa melempar kata-kata.

Dia pun melepas jeratan tangan halusnya dari kerah baju gue, dan seketika gue mundur beberapa langkah karena terkejut bukan main.

"Kapan kamu libur kerja?" Tanya Grace lagi.

"Lu-lusa." Jawab gue gugup.

"Oke, lusa aku tunggu kamu di Zenobia Cafe, jam 8 malam. Bisa?"

"Bi-bisa, kak."

Dan Grace pun mulai menutup pintu kamarnya perlahan-lahan dengan senyuman dan mata yang masih tajam. "Jangan kabur loh kamu." Ucapnya lagi diakhiri tawa kecil yang misterius.

Gue degdegan bukan main, setelah itu akhirnya gue berjalan balik ke Toko sambil terus menerus memikirkan kata-kata dan Sikapnya Grace yang aneh. Gelagat Grace tiba-tiba berubah jadi sedikit liar ketimbang hari-hari biasanya. Gue gak sangka dia bisa begitu.

Tapi...

Dia akan kasih gue apa rahasia pekerjaannya dulu, gue gak akan melewati momen ini. Lusa, apapun yang terjadi gue harus menemui Grace.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!