Eps. 19: First Plan

Grace mendapat panggilan telpon dari VIP Yohan.

"Semua sudah siap?"

"Mereka masih makan."

"Ada yang aneh?"

"Semua aman, kok."

"Oke, kalau begitu di sini persiapan juga sudah sempurna."

"Baiklah."

Kelly mendekati Grace, "dari Yohan?" Ucapnya, dan Grace hanya menjawab dengan sebuah anggukan, setelah itu Grace kembali menghiraukan Kelly dan berjalan ke arah meja gue dan teman-teman.

"Lo mau kemana?" Tanya Kelly.

Grace menjawab santai, "ketemu pacar."

Mendengar itu, Kelly jadi makin membenci Grace, "ah si bangs*t itu seenaknya terus." Gumamnya.

Melihat Grace yang sedang berjalan, 03 yang juga kebetulan duduk di meja sebelum meja gue kembali bersikap liar.

"Wah, lihat dia sayang, makin hari makin sexy aja." 03 menunggu Grace lewat, dan setelah Grace lewat, dia mulai menampar pantat Grace dengan kencang!

*Plak!

"Hehehe, lembut banget." 03 tertawa girang.

Grace terdiam untuk beberapa detik, kemudian dia membuang napasnya. *Huft...

"Hei, habis ini mau main ke kamarku gak?" Ajak 03 ke arah Grace dengan wajah cabulnya.

Tapi Grace hanya melempar senyum, "kamu pernah diajarkan sopan santun gak sama ibumu?"

"Yang barusan sopan loh, hehe."

"Oh ya?" Grace mendekatkan wajahnya ke arah 03.

"Kalau begitu saya juga punya standar sendiri buat menghukum orang-orang kurang ajar kayak kamu."

"Ugh, galaknya!" Tapi 03 masih tertawa meremehkan.

Tanpa sadar, dia sudah jadi target buruan Grace.

"Kita lihat aja nanti." Ucap Grace, selanjutnya dia kembali berjalan menghampiri meja gue.

03 terdiam pucat.

"Hai guys." Sapa Grace.

"VIP Grace?" Respon Vivi, Baskara, dan Cindy. Sementara gue diam saja.

"Selamat ya buat kalian karena udah bisa melewati permainan yang pertama, gak sangka loh kalian bisa mengalahkan 07, dan 08 yang fisiknya jauh lebih kuat dari kalian." Ucap Grace ramah.

"Makasih VIP Grace, ini semua karena kita berempat saling tolong menolong." Sambut Cindy.

"Nikmati saat-saat ini ya, karena cuma ada satu tim yang akan memenangi permainan ini, nanti kalian juga pasti bisa jadi musuh yang menjatuhkan satu sama lain. Saya cuma mau kasih tahu itu, supaya kalian gak terjerat oleh perasaan kalian masing-masing."

Kali ini ucapan Grace memang benar adanya, gue jadi menyadari bahwa suatu saat nanti, gue dan Vivi pasti akan melawan Baskara dan Cindy.

"Setelah ini, gue mau kita semua bersikap biasa seolah-olah kita gak pernah saling tolong menolong." Ucap gue tegas di hadapan Baskara dan Cindy.

"Hei, Ram? Apa perlu segitunya?" Vivi menggoyangkan badan gue seolah ingin menyadarkan bahwa kata-kata gue sudah kelewat batas.

Tadinya gue kira Baskara dan Cindy akan marah dan tersinggung setelah gue mengatakan hal itu, tapi... Ternyata gak sama sekali.

Cindy dan Baskara saling tatap, kemudian keduanya berkata dengan tenang, "oke, kami juga akan berjuang semaksimal mungkin supaya gak merepotkan kalian lagi."

Hati gue seketika tersentuh, sial!

Tapi gue masih sama sekali gak bisa menerima keramahan mereka, gue terlalu takut menganggap mereka teman walau pun rasanya kami semua bisa akrab.

Grace tersenyum simpul ke arah gue, kemudian dia meletakkan telapak tangannya ke bahu gue.

"Apa yang 10 bilang itu benar, membawa perasaan di Sentrifugal itu hal yang salah. Di sini kalian berkomperisi, bukan membentuk aliansi." Ucap Grace memperjelas maksud kata-kata gue sebelumnya.

"Tapi kita bisa selamat karena saling mengandalkan di permainan pertama." Vivi masih teguh dengan pemikirannya.

Grace mencubit pipi Vivi gemas, "sayang, mau sampai kapan kalian saling mengandalkan? Yang perlu diandalkan itu partner satu tim, bukan tim lain."

Cindy juga meraih tangan Vivi dengan lembut, "Vi, aku dan Baskara setuju kok dengan kata-kata VIP Grace, kita kan masih bisa akrab setelah permainan ini selesai. Entah kami, atau kalian yang menang, aku lebih perduli pertemanan kita semua."

Vivi menatap Cindy sendu, "Cindy..."

"Dan kita gak berencana untuk kalah loh, jadi kalian juga harus berjuang mati-matian ya!" Sambung Baskara.

Di sini, gue masih diam.

"Ngomong-ngomong, kelihatannya kalian udah mulai panggil satu sama lain dengan nama ya." Akhirnya Grace menyadari hal ini.

Dan Cindy yang akan menjawab, "kami merasa jauh lebih nyaman kalau memanggil dengan nama."

"Ah, begitu rupanya."

...***...

Setelah acara perjamuan selesai, gue berusaha mulai memisahkan diri dari Baskara dan Cindy dengan pergi ke sudut lain di rooftop ini.

"Eh Ram, lo mau kemana?" Panggil Vivi.

"Cari angin." Jawab gue sekenanya, kemudian pergi berlalu begitu saja.

"Dasar keras kepala, dia kenapa tiba-tiba begitu sih?!" Maki Vivi, sementara itu Cindy lagi-lagi berusaha meredam emosi Vivi. "Mungkin Rama lagi fokus buat permainan selanjutnya, makanya dia agak sensitif."

"Tapi gak gitu dong Cind, dia itu selalu punya keputusan sendiri, selalu ngorbanin diri sendiri." Jelas Vivi.

Namun di sini Baskara justru malah terbakar semangatnya, "oke, kalau begitu yang harus ngobrol itu sesama laki-laki!" Baskara beranjak dari kursinya, dia meninggalkan Vivi dan Cindy untuk menemui gue.

"Biar Baskara yang cari tahu Rama kenapa." Cindy tersenyum kepada Vivi, dan Vivi hanya menghela napas, *huft

"Ram." Panggil Baskara.

"Eh, Bas." Sambut gue seadanya.

"Ada hal yang lagi lo pikirin kah?"

Gue masih ragu untuk membicarakan garis besar rencana gue, jadi pada akhirnya gue masih juga enggan bicara panjang lebar.

"Gue cuma agak terlalu was-was sama permainan kedua." Akhirnya hanya itu yang terucap.

Dan Baskara entah kenapa langsung tahu, kalau gue enggan bicara jujur dengannya.

"Ram, gue jadi inget kalau dulu gue sempet kabur dari kenyataan." Ucap Baskara tiba-tiba.

"Hm? Maksud lo?"

"Gue ini atlet taekwondo yang lumayan terkenal di sekolah dulu, gue sering jadi pusat perhatian banyak orang semenjak selalu juara di tiap kompetisi mana pun, tapi karena itu... Gue juga jadi gak memperhatikan orang-orang di sekeliling gue yang sebenarnya butuh kehadiran gue. Karena taekwondo, gue punya banyak teman, dan karena taekwondo juga gue gak sadar kalau ayah gue ternyata lagi berjuang sendirian melawan penyakitnya di rumah sakit. Sampai di suatu pertandingan antar kota, gue berhasil membawa gelar juara. Gue seneng banget waktu itu Ram, tapi sayang... Tuhan langsung membalikkan keadaan gue semudah kita membalikkan telapak tangan. Ayah gue meninggal saat gue lagi senang-senang ngelakuin banyak selebrasi kemenangan. Akhirnya gue jadi yatim piatu karena ibu gue lebih dulu pergi saat gue kecil. Semenjak ayah meninggal, gue yang depresi memilih untuk kabur dan ninggalin taekwondo. Habis itu gue memilih untuk jadi anak band, terus lo tau gak Ram? Saat gue ngeband, gue sama sekali gak punya fans, orang-orang bilang musik gue sampah, lagu-lagu gue jelek. Tapi anehnya gue ngerasa gue patut merasakan hal itu karena gue udah jahat ke ayah. Itu sebabnya gue pilih gitar sebagai salah satu benda wajib yang harus kita bawa, karena gitar itu dulunya adalah gitar ayah gue." Jelas Baskara panjang lebar.

Gue yang sedari tadi mendengarkan hanya tertunduk menahan haru dengan sorot mata yang kosong karena gue tiba-tiba kepikiran nyokap.

Tapi di sisi lain, gue merasa Baskara ini juga pantas untuk bertahan di Sentrifugal.

"Bas... Lo, harus lindungi Cindy, oke?"

Baskara terdiam sepersekian detik sebelum ia paham apa maksud kata-kata gue.

"Oke, Ram."

"Gue sebenarnya punya rencana Bas, tapi gue belum mau melibatkan kalian semua karena terlalu beresiko. Jadi gue harap kalian bertahan di permainan kedua supaya kita bisa benar-benar prepare di permainan ketiga." Ucap gue serius.

"Yang perlu gue lakuin cuma bertahan, oke Ram. Gue akan ingat kata-kata lo."

"Untuk saat ini, cuma itu yang perlu lo tau."

Baskara mengangguk menandakan dia mengerti.

...***...

Kira-kira 30 menit sudah berselang, dan gue memandangi Vivi, juga yang lain mulai terkulai lemas karena rasa kantuk yang sangat berat. Mata gue memicing, di sisi lain, sedari tadi juga gue memandangi tempat berkumpulnya para VIP yang sekarang sudah kosong.

Dari sini gue sadar, ternyata benar kalau makanan di sini disusupi obat tidur. Untuk menjalani rencana selanjutnya, gue pun berpura-pura ambruk dan tertidur.

Gue mencoba terlelap senatural mungkin sampai pada suatu ketika, tak lama kemudian datang lah para prajurit Sentrifugal yang mengecek kondisi kami satu per satu apakah kami sudah terlelap atau belum.

Mereka semua datang dengan setelan jas serba hitam dan memakai kacamata yang juga hitam. Beberapa orang terlihat bukan cuma dari orang Indonesia, melainkan ada juga orang jadi luar negeri dari berbagai macam negara, tidak cuma laki-laki, gue juga baru sadar ternyata perempuan juga bisa menjadi bagian dari prajurit Sentrifugal.

Ah sial, gue sebenarnya takut bukan main, tapi untungnya obat penenang yang gue pinta dari Cindy saat kami ketemuan di kamar tadi mulai bereaksi. Otot-otot di tubuh gue sekarang jauh lebih rilex seolah-olah betulan orang yang sedang tidur, selanjutnya yang perlu gue lakukan adalah mengatur napas perlahan-lahan.

Tak perlu waktu lama, setelah semua player yang dinyatakan tidur diangkut ke sebuah tempat, kini giliran gue yang tengah dicek.

Seorang prajurit perempuan yang menggunakan masker mengecek tubuh, napas, juga pupil mata gue untuk menilai apakah gue tidur atau tidak.

"How about him?" Tanya prajurit kekar yang menunggu hasil pemeriksaan.

Prajurit yang selesai mengecek gue berkata...

"He's slept over. Like a baby."

"Okay, take his body out! Let's move!"

Tubuh gue dipindahkan ke sebuah kursi roda, dan kepala gue diikat oleh sesuatu agar gak banyak menerima guncangan. Setelah itu gue dibawa ke sebuah tempat yang di dalamnya sudah terbaring para player lain. Tubuh gue dimasukkan ke dalam kantung tidur, lalu ditempatkan di sebelah 01 di sisi kiri, dan Vivi di sisi kanan. Pokoknya cara mereka memindahkan dan menempatkan tubuh gue benar-benar hati-hati dan penuh kenyamanan supaya tubuh gue tetap rilex.

Satu hal yang baru gue sadari adalah, ternyata tempat dimana kami semua dibaringkan adalah kontainer yang dibuat sedemikian mungkin seolah-olah itu adalah ruang nyaman.

Kenapa gue berkata begitu?

Karena, sesaat para prajurit keluar dari sini, kami semua berjalan!

Gue merasakan getarannya meski kecil, dan gue yakin juga kami ini sedang dibawa ke suatu tempat yang kemungkinan besar adalah lokasi permainan kedua.

Gue mencoba mengarahkan mata gue melirik ke tiap sudut kontainer, kemudian gue sadar kalau—

"Gak ada cctv di sini." Ucap seseorang di sebelah kiri gue.

Gue terkejut setengah mati karena mendapati ternyata 01 juga gak tidur sama sekali.

"Lo! Jangan bilang kalo lo itu mata-mata Sentrifugal yang udah tau rencana gue!" Bisik gue ke arah 01 penuh tuduhan.

Respon 01 hanya datar seolah-olah dia sedang melihat orang aneh.

"Oke, itu berarti lo bukan mata-mata Sentrifugal juga." Jawab 01.

"Hah?!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!