NovelToon NovelToon

Sentrifugal

Eps. 1: Struggled

Apa itu tuntas?

Menurut gue, kata tuntas itu mewakili banyak hal besar, dan satu hal penting di akhir kehidupan ini.

Hidup ini bisa dibilang tuntas kalau segala kewajiban kita sudah terpenuhi sebagaimana mestinya, misalkan kewajiban orang tua memberikan pendidikan yang layak pada anaknya, lalu kewajiban anak berbakti kepada orang tuanya, serta bisa jadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Itu tuntas dalam artian besar, tapi gak penting.

Bagi diri gue pribadi, tuntas dalam artian penting itu adalah mati dalam keadaan bebas.

Bebas dari kewajiban yang ada sebagai manusia. Tersenyum dalam gelapnya liang kubur, kemudian melayang damai ditemani para Malaikat ke alam selanjutnya.

Dan proses menuju kebebasan itu sama sekali gak mudah. Ada banyak darah, juga airmata yang tumpah. Raga gue kering kerontang kehabisan segalanya. Meski begitu, kebebasan yang gue terima belum setimpal.

Nama gue Rama, Rama Alvarendra.

Kehidupan begitu gak tertebaknya. Setiap hari, setiap mau tidur, gue selalu mengkhayal tentang bagaimana rasanya punya uang yang tidak terbatas, tentang... Bisa beli apapun tanpa harus pikir dua kali, rasanya pasti damai.

Gue bisa beli rumah mewah untuk nyokap, bisa mengkuliahkan adik-adik gue, terus beli komputer gaming yang super kencang, gadget mahal, apapun pokoknya!

"Tuhan, tolong, tolong banget, kasih segala yang saya mau, saya juga ingin hidup dengan baik, setidaknya beri ketenangan yang nyata dan bergulung-gulung sampai akhirnya sudah mencapai batas usia."

Kira-kira begitu doa gue, setiap takut menghadapi hari esok, di tengah malam yang selalu terasa cepat usai.

Sekarang waktunya harus bisa dapat peluang yang jauh lebih dari cukup, biarpun kesempatan gue setipis dompet di celana, tapi isinya gak nol persen.

Esok hari pasti jadi awal dimana segalanya akan berubah, gue akan ambil resiko terberat meskipun taruhannya melibatkan diri gue sendiri, asalkan kebebasan jadi bayarannya.

...***...

"Ram, bangun, udah pagi!"

"Jam berapa?"

"Jam 5."

Mata gue yang masih ingin terpejam dipaksa terbuka meski tidur cuma tiga jam. Setiap minggu, selama tiga hari, pasti ada waktu dimana kerja berat gak diimbangi jam tidur yang sehat.

Tapi ini sepele, masalah waktu tidur yang sedikit juga banyak manusia yang mengalami.

Selepas mandi dan siap-siap beberapa hal, gue yang sudah terbiasa gak sarapan ini segera berangkat ke sebuah Toserba tempat gue bekerja.

Shift satu memang selalu begini, gak ada kata nine to five, yang gue alami cuma, six to six.

Penat, tapi ya sudah, didewasa ini yang penting itu terima gaji meski selewat mata hilang lagi.

Hari gue dimulai dengan buka toko, bersiap dengan segala laporan yang macam-macam jenisnya, menghitung stock barang, full display, kirim uang sales, makan kalau ada sisa uang, kalau gak ada cuma minum dari air mineral sisa semalam, sisanya berharap hari segera selesai.

Pola yang mengerikan kalau dijalani tanpa uang.

"Lo kerja sebenernya untuk apa?"

"Gimana, pak? Maaf."

Gue lagi-lagi dihadapkan oleh permasalahan rumit antar atasan dan bawahan yang gak pernah beres.

Koordinator wilayah gue pagi ini datang dengan sebuah tarikan data bahwa beberapa barang di toko menghilang dicuri sindikat, lagi.

"Gue tanya, Ram. Lo kerja buat cari uang, atau keluar uang? Sindikat tiap bulannya ada Ram? Lo tidur hah?!"

Nada tinggi lagi, selalu volume suara besar yang gue hadapi. Maksud gue... Kenapa lo gak bisa tanya baik-baik? Apakah lo harus begini ke gue?

Di hadapan orang banyak gue tertunduk.

Sebetulnya ada alasan kuat kenapa banyak barang bisa hilang gak terkontrol, yaitu CCTV Toserba kami rusak, dan semenjak buat laporan tiga bulan yang lalu, sedikitpun perbaikan gak pernah ada.

"CCTV mati pak, kita gak bisa selalu kontrol customer yang belanja, saya juga punya jobdesk yang harus—"

"Bersihin semua rak yang berdebu, ganti barang yang hilang, gue gak mau tahu, hari ini selesai."

Selalu begini.

"Soal CCTV gi—"

"Lo paham gak?"

"Paham, pak."

Lagi dan lagi, setiap kata yang keluar dari mulut gue gak pernah ada yang tuntas.

"Kirim foto struknya kalo udah!"

"Iya, pak."

Setelah itu dia pergi dengan menjadikan gue sebagai masalah utama, biarpun sebenarnya bukan gue, dia sudah terlalu benci juga mengingat performa Toserba ini yang makin lama makin merugi. Gue sadar, menjaga banyak barang itu salah satu bagian yang penting, tapi gue gak bisa selalu ada tiap saat di rak dimana barang selalu hilang.

Ada hari dimana gue benar-benar pengawasan penuh, tapi akhirnya banyak jobdesk gue yang tertinggal dan sudah masuk tenggat waktunya.

Di sini semua berjalankan berdasarkan waktu, kalau waktu ini dipakai untuk mengerjakan hal lain, maka hal penting lainnya gak akan terurus rapih. Karena setiap shiftnya cuma diisi oleh dua orang manusia yang melayani puluhan manusia lainnya sambil mengerjakan tugas dari manusia-manusia lain yang mengatur.

Kalau mau dinilai dari piramida rantai makanan, gue ini yang paling bawah. Mangsa paling empuk yang gak punya kekuatan untuk melawan.

Sekali melawan, hilang harapan.

Seandainya gue punya kekuasaan, gue akan panjat rantai makanan ini dan menggapai puncaknya sebagai predator terkuat.

Meski begitu, gue gak akan memangsa siapapun yang ada di bawah gue. Karena menurut gue, saat sudah ada di puncak, yang gue inginkan hanyalah menikmati sisa umur sambil memandangi dunia dari atas, cuma itu.

...***...

Sore pun menjelang, dan akhirnya kami semua, lima orang personil Toserba ini sepakat untuk bayar barang yang hilang dengan bagi rata.

Dan seperti yang selalu terjadi, nominalnya gak pernah sedikit. Masing-masing kami harus bayar 200 ribu karena total barang yang hilang sudah tembus sejuta bulan ini.

"Gue boleh bayar abis gajian?" Tanya gue kepada yang lain, dengan intonasi yang datar, gue udah membuang segala emosi gue dihari itu.

"Ya udah Ram, gue catet dulu nama lo, ya."

"Hari pertama langsung gue ganti."

"Udah, jangan dipikirin, kita lagi sial aja ini." Sahut rekan gue yang lainnya.

Gue berhenti bicara setelah itu, tenggorokan gue kering, bibir gue pecah-pecah, dan untuk minum saja gue gak punya nafsu. Satu hal yang ingin gue segera lakukan adalah pulang.

Tak terasa, jam sudah ada di pukul delapan, six to eight.

Rekor baru.

...***...

Selepasnya di rumah, ternyata ekspektasi gue terjun payung lagi.

Gue belum boleh istirahat setelah melihat nyokap gue ribut dengan suami barunya.

Iya, nyokap gue nikah lagi setahun selepas bokap kandung gue meninggal.

Dan si suami barunya ini betul-betul sampah yang harus dibuang, mereka ini ribut diwaktu yang gak tepat.

Telinga gue panas, jantung gue mau meledak, dan saat tahu gue pulang dengan muka capek harusnya mereka sadar kalau beberapa detik lagi gue akan...

Meledak.

"Lo berdua bisa diem gak!? Lo pergi dari sini anj*ng! Cari masalah terus, lo tau waktu gak? Otak lo pake t*lol!"

Gue ini tipe yang memendam, tanpa gue sadari, gue mengumpulkan emosi yang udah gue terima sedari pagi dan harusnya bisa gue tahan terus, tapi kali ini... Saat gelas yang nampung emosi gue tumpah, api yang menyundut bom di dalam alam bawah sadar gue meluap ke permukaan dan meledak.

Seisi rumah langsung terdiam, hening karena baru ingat kalau di rumah ada satu orang yang paling berat pundaknya marah.

Gue menghampiri kamar mereka dan sekali lagi meluapkan semuanya. "Berisik, Ram, jangan ribut!" Kata mereka.

Gue langsung tarik napas panjang detik itu juga.

"LO YANG BERISIK SAMP*H!!!"

Nyokap gue pun segera tarik tangan gue ke kamar gue, dia nahan gue biar gue gak bertindak semakin jauh.

"Kenapa sih Ram?! Jangan ikut-ikut, ini bukan apa-apa! Baru pulang udah marah-marah!"

"Berisik! Kalo akhirnya cuma ada ribut-ribut kenapa harus pilih si samp*h yang gak ngapa-ngapain itu?! Sadar mah!"

"Rama!" Bentak nyokap gue.

Dan... Si samp*h itu pergi tanpa ada kata-kata yang harusnya orang dewasa sampaikan senormalnya.

Lagi, dan lagi.

Hal kayak begini bukan sekali, atau dua kali gue alami. Sebenarnya sering, tapi kadang gue hiraukan karena gue rasa nyokap gue udah kepalang bodoh aja, dan gue semakin bodo amat. Tapi hari ini beda, seperti yang sudah gue katakan, gelas emosi gue sudah penuh.

Jadi orang yang tempramental itu berat, apalagi saat dimana lo pemarah, tapi lo gak bisa marah diwaktu seharusnya lo marah. Rasanya badan gue mau ambruk kemakan sama diri gue sendiri.

...***...

Malam ini gue tidur menyamping ke kiri dengan mata yang baru terbuka setelah tidur beberapa jam, gue yang gak tau mau ngapain lagi cuma bisa membiarkan jempol gue scrolling layar handphone di sosial media.

Gue melihat banyak hal malam ini, kebanyakan adalah hari-hari teman-teman gue yang gue nilai kehidupan mereka jauh lebih baik.

Mereka senyum lepas, jalan-jalan ke coffee shop langganan mereka, ada yang baru beres menyelesaikan kuliahnya, ada yang baru aja nikah, banyak hal, intinya momen-momen dimana kalo gue ada di posisi mereka, gue juga akan memposting hal yang sama.

Gue sempat lihat postingan gue beberapa hari terakhir, isinya cuma kumpulan film yang gue tonton dari layar laptop jadul gue, dan musik-musik yang lagi gue terus dengerin.

Sepersekian detik kemudian gue sadar...

Gak ada hal yang menarik untuk dibagikan hari ini, kayaknya gue lagi menampung kesialan teman-teman gue.

Tapi gak apa-apa juga, toh sebenarnya gue gak sendirian dalam mengalami kesulitan, di dunia yang luas ini, bukan cuma gue yang punya sakit kepala karena stress berkepanjangan, ada banyak orang seperti gue.

Gue yakin, itulah sebabnya, gue bersyukur masih ada cahaya di hati gue meski gak bisa menerangi segalanya.

Nyokap gue sebetulnya adalah orang yang sangat baik dan ibu yang sempurna untuk gue, tapi kehidupan kadang menggiring dia ke orang yang salah dan gue gak bisa kontrol itu.

Kalu bokap gue, dia udah gak kesakitan lagi setelah sekian lamanya.

Bokap gue meninggal dengan wajah yang datar, tanda ia merasa hidupnya belum boleh tuntas dengan sebagaimana ia mau.

Gue jadi mikir...

Gimana ekspresi gue saat meninggal nanti?

Entahlah, gue juga gak tau, dan gak mau berekspektasi lebih tinggi, sejengkalpun gue enggan.

Karena pada titik ini, kisah gue akan dimulai.

Eps. 2: Stranger

Seperti biasa gue bekerja di Toserba, kali ini gue kebagian jadwal shift dua yang dimana dimulai dari empat sore sampai dua belas malam. Larut banget memang, tapi apa boleh buat.

Kinan, rekan kerja gue kali ini bercerita tentang seorang customer yang baru-baru ini sering banget borong banyak barang dari Toserba kami, dia begitu antusiasnya sama customer ini, karena semenjak customer ini datang, sales kami mengalami kenaikan pesat.

"Lo tau gak Ram? Ternyata mbak yang sering belanja banyak itu penghuni Apartemen baru di depan kita lho!" Ucap Kinan bersemangat. Oh ya, ngomong-ngomong Toserba gue terletak di depan sebuah Apartemen yang bisa dibilang sudah lebih dulu ada ketimbang Toserba ini.

"Oh ya? Bagus dong, bisa-bisa sales kita kebantu tiap dia belanja, harus kita baik-baikin dia." Sahut gue yang ketika itu sedang merapihkan uang.

"Gue ngiri banget sih Ram sama dia, udah cantik, tajir mampus pula! Gila... Bahagia banget gue kalo jadi dia." Lanjut Kinan, kali ini gue cuma tersenyum tanpa berkata sepatah kata apapun.

Lalu, gak lama kemudian, secara ajaibnya perempuan yang Kinan ceritakan datang ke Toserba kami.

"Selamat malam, silahkan berbelanja." Sambut gue dan Kinan.

Ternyata Kinan gak salah, perempuan ini betul-betul cantik dan badannya bagus mirip seorang model, parfum yang dia pakai juga bisa membuat seisi toko jadi harum banget, seketika aja gue menatap Kinan dengan ekspresi kagum, dan Kinan seraya berbisik... "Kan, apa gue bilang!" Katanya gembira.

Gue pun secara gak sadar jadi memperhatikan perempuan yang kira-kira usianya sedikit lebih tua dari gue, dia punya rambut hitam yang berkilauan, wajahnya eksotis khas perempuan Indonesia, manis, juga cantik disaat yang bersamaan.

Kira-kira setelah 20 menit memilih barang sembari bertelepon ria dengan seseorang, dia pergi ke meja kasir untuk membayar semua barang-barangnya yang ternyata banyak seperti kata Kinan. Saking banyaknya, gue sampai harus turun tangan bantu Kinan masukin barang yang dia scan ke tas belanja.

Setelah sebuah nominal belanjaan yang tembus 850 ribu itu keluar dari layar mesin kasir, ekspresi perempuan ini cuma tersenyum sembari mengeluarkan credit cardnya tanpa perlu tau dia dapat diskon berapa, atau dapat voucher apa, dia gak perduli! Dia langsung bayar dan...

"Kamu boleh tolong aku bawain tas belanjaan aku gak? Kayaknya aku gak bisa bawa semuanya sekaligus." Katanya ke arah gue, gue yang sempat kaget langsung mengiyakan dan pergi ke depan meja kasir, lalu membawa tiga kantung belanjaannya.

"Iya kak." Jawab gue sigap.

Perempuan ini melempar senyumnya lagi, dengan ramah dia berkata, "maaf ya, jadi ngerepotin kamu."

Gue menggelengkan kepala, "enggak sama sekali kak."

Dia tertawa kecil, "oke, yuk ikut aku."

Gue secepat kilat langsung melirik Kinan, dan Kinan mengedipkan matanya sambil memberi jempol.

"Sikat Ram!" Bisiknya.

Kami pun berjalan beriringan, berdua, di lorong Apartemen malam yang lagi sepi-sepinya, sesekali dia melirik gue dengan ramah, sementara gue hanya bisa melempar senyum tipis malu-malu. Jarak gue dan dia benar-benar gak ada celah, wajahnya deket banget, dan dari jarak ini, sepanjang jalan itu yang gue cium cuma wangi dari parfumnya.

Lalu, keheningan di antara kami pun pecah karena dia memulai percakapan.

"Kamu udah lama kerja di Toserba itu, Rama?" Tanyanya dengan suara halus yang manis.

Gue kaget, kok dia tau nama gue?

Tapi gue gak menghiraukan hal itu karena gugup setengah mati.

"Udah lumayan lama kak." Jawab gue pada akhirnya.

"Hmm begitu, kamu gak kuliah?"

"Saya kurang mampu buat kuliah kak, jadi abis lulus SMA langsung kerja."

Lama kelamaan pun obrolan kami makin cair dan mengalir, meski kebanyakan dia yang lempar pertanyaan, gue masih dengan senang hati menjawab semuanya.

"Sayang banget ya, kamu juga yang bayarin semua anggota keluarga kamu?"

"Begitulah kak."

"Ayah kamu gimana?"

"Ayah saya udah meninggal beberapa tahun yang lalu."

Perempuan ini langsung menyandarkan telapak tangannya ke bahu gue, "sorry ya Rama." Katanya, gue makin gugup, "i-iya gak apa-apa."

"Pasti berat ya jadi tulang punggung keluarga satu-satunya, mana lagi kalau kerja di Toserba pasti ada aja keluar uangnya, kan?"

"Iya benar."

"Aku juga anak pertama, Rama. Dan kamu tau? Backgroundku juga sama kayak kamu, ayahku meninggal waktu aku masih SMP, dan ibuku kerja mati-matian setelah itu, begitu aku lulus SMA, aku kerja jadi barista sambil kuliah." Jelasnya panjang lebar, gue gak sangka dia akan cepat terbuka begini sama orang asing.

"Wah, keren banget kak!"

"Bukan apa-apa kok, kamu juga harus kuat ya, hidup ini tuh isinya pertarungan, yang kuat yang akan bertahan. Kalau kamu lengah, akan ada banyak orang yang siap nusuk kamu dari belakang."

"Iya kakak bener."

Sedetik kemudian gue langsung ngeh, berat juga berarti perjuangan dia ya.

Terus gue pun memberanikan diri untuk melempar pertanyaan untuk pertama kalinya.

"Sekarang kakak kerjanya apa kalo boleh tau?"

Wajahnya langsung menerawang ke langit-langit.

"Hmm... Sebetulnya sekarang aku lagi menikmati hasil dari kerja aku yang mati-matian itu, jadi kalo kamu tanya sekarang aku kerjanya apa, ya... Aku nganggur aja, tapi tabunganku cukup sampai umurku tembus 100 tahun, kalo aku masih hidup loh ya! Hahaha..."

Gila. Sumpah demi apapun gue langsung berkata dalam hati, "gue harus tau lebih lanjut!"

"Sumpah kak?! Emangnya dulu kakak ngerjain apa?" Kata gue, gue makin memburu berkali-kali lipat kalo udah sangkutan dengan masalah uang.

"Ada deh Rama, rahasia! Hahaha." Jawabnya dengan wajah jahil. Gue jadi lemes... Gagal deh

"Ohh hahaha... Maaf kak."

"Hahaha... Gak apa-apa banget kok, sumpah, wajar aja kamu penasaran."

Dan pada akhir percakapan kami, kami udah sampai di depan kamar Apartemennya. Gue segera menaruh barang belanjaan di tempat yang dia mau, dan langsung pamit, tapi... Belum juga selangkah gue menjauh, dia memanggil.

"Rama tunggu!"

"Iya kak?"

"Hmm, aku boleh minta tolong gak?"

"Apa itu kak?"

Seketika itu juga dia kasih gue kartu namanya yang dia keluarkan dari dalam dompet.

"Nanti kamu chat aku ya, hmm... Cuma sekedar kalau aku butuh apa-apa bisa minta kamu anter kesini mungkin?"

"Oh ya bisa, tentu aja bisa kak."

Dia melempar senyum lagi, "oke, aku nanti tanya shift kamu dulu ya sebelum request belanjaan."

"Iya kak, pasti aku anterin kalo lagi jaga." Gue membalas senyum.

"Oke Rama, makasih banyak ya!"

"Sama-sama kak."

Dan gue pun berlalu pergi.

Sambil jalan, gue langsung memperhatikan kartu nama putih dengan tinta hitam bertuliskan nama Grace Victoria, gak cuma itu... Gue sempat senam jantung karena kaget dengan lima lembar uang seratus ribuan yang ternyata terselip di bawah kartu nama tadi.

Gue tertohok sambil menutup mulut, gila, uang tip-nya aja tembus lima ratus ribu. Dia bukan sembarang orang!

Grace Victoria, gue akan berusaha mengulik dia jauh lebih dalam lagi sampai gue bisa tau dia kerja apa sebelum bisa sekaya ini.

Gue jalan sambil bengong, khayalan gue udah terbang jauh ke antah berantah, memikirkan hal apa aja yang bisa gue lakukan kalo udah ada di posisi kayak dia.

Ah mau gila rasanya!

...***...

Sesampainya di Toserba, Kinan udah nungguin banget kabar dari gue, dia antusias parah di meja kasir dengan mata berbinar-binar.

"Gimana dia orangnya? Ramah gak? Asik gak? Kamarnya mewah banget gak?"

Gue senyum malu sambil mengangguk, terus gue langsung taruh sebungkus nasi padang paket lengkap kesukaan Kinan di atas meja kasirnya.

Kinan memicingkan mata, "lo dapet tip ya? Ngaku deh!"

Gue ketawa, "gak banyak kok, hehe, cukup buat beli dua nasi padang paket lengkap." Yang padahal lebihnya banyak banget.

"Huh, yaudah deh... Makasih ya Ram!"

"Iya iya..."

...***...

Di perjalanan pulang, gue memutuskan untuk segera simpan nomor Grace ke kontak gue, dan disaat itu juga gue memberanikan diri untuk chat ke nomornya buat kasih tau kalau nomor dia udah gue simpan.

Responnya ternyata tetep aja ramah meski cuma lewat chat, setelah itu gue gak balas apa-apa lagi dan melangkahkan kaki menuju rumah dengan pasti.

...***...

Karena besok jadwal gue ada di shift dua lagi, gue jadi punya kesempatan buat begadang malam ini, seperti biasa gue membuka akun gue di twitter, akun dimana gue bisa sembunyi dari kehidupan asli yang membosankan ini dan berubah jadi pribadi yang menyenangkan, juga bebas.

Kalau di dunia nyata gue introvert, di twitter gue bisa jadi ekstrovert dengan mudahnya. Seolah-olah punya dua kepribadian yang bisa gue ganti-ganti sesuka hati gue.

Malam ini, seperti biasa, seorang teman gue yang bernama Vivi menghubungi gue lewat chat, dan ternyata chat itu udah gue lewatin beberapa hari ini, otomatis gue langsung chat balik Vivi dengan harapan dia bisa segera online lagi.

Oh ya, gue kenal dengan Vivi dari akun creepy yang sering banget kami komentari isi threadnya, dan ternyata sedikit banyaknya kami punya kesamaan dibeberapa hal, kayak genre musik, film, dan hobi hal-hal berbau creepy.

Bermenit-menit telah berlalu, dan Vivi gak kunjung online, gue pun memutuskan untuk pindah dari twitter ke game online yang suka gue mainin.

Tapi... Saat gue sudah mau login, Vivi muncul membalas chat gue.

Ngomong-ngomong soal Vivi, dia dan gue sama-sama menyembunyikan identitas diri kami masing-masing, jadi gue gak tau gimana rupa Vivi, dan Vivi juga gak tau gimana rupa gue. Satu hal yang hanya kami beritahu adalah nama kami, tiap kali kami berbalas chat, biasanya kami selalu menceritakan apapun yang lagi kami alami minggu-minggu ini, secara garis kasarnya, kurang lebih begitu. Jadi uniknya hubungan kami adalah, kami bisa paham satu sama lain meskipun hal yang kami bicarakan gak ada satu pun yang dijelaskan detail. Segalanya mengalir begitu aja dari awal chat sampai selesai chat.

Sedikit background dari Vivi, dia ini yang jelas seorang pelukis muda yang lagi merintis karirnya, berjuang setengah mati demi mimpinya dengan keadaan keluarga yang broken home.

Kami sama di banyak sisi, salah satunya adalah perihal ambisi masing-masing.

Ambisi gue adalah punya uang banyak dan hidup bebas berkecukupan, sementara ambisi Vivi itu hidup bebas dari kekangan keluarganya yang sangat amat toxic.

Jadi kami sama-sama ingin bebas dari jeratan hidup kami.

Vivi pernah bilang ke gue, "Ram, gue tuh sekarang udah semakin bodo amat sama hidup gue, semisal gue mati sekarang pun ya udah mati aja. Satu-satunya hal yang teramat gue suka cuma melukis, selebihnya gak ada. Gue udah coba macam-macam cara buat lari dari adiksi keluarga gue terhadap diri gue, tapi mereka gak akan pernah berhenti sebelum gue mati."

Vivi lahir dari keluarga besar yang semua nama belakang anggota keluarganya punya gelar, sementara Vivi enggak sama sekali, dia bisa aja kuliah dan punya gelar, tapi jalan hidup Vivi sama sekali gak begitu. Sama halnya dengan seniman-seniman diluar sana, Vivi menuangkan segala macam tekanan hidup dan depresinya lewat lukisan, dari lukisan, Vivi sembuh perlahan-lahan.

Kalo boleh dianalogikan, Vivi ini layaknya orang sakit yang dipenjara. Dia gak akan pernah bisa sembuh sebelum bebas.

Begitulah Vivi.

Kami pun terus bertukar pesan sampai pagi buta, gue ini termasuk pendengar yang baik, jadi mungkin itu sebabnya kami berteman akrab selama ini, meski sama-sama sembunyi dari identitas palsu, gue tau Vivi orang baik.

Eps. 3: Weird

Gue menatap Apartemen dari balik kaca Toserba sembari memperhatikan lampu kamarnya Grace, "hari ini dia gak mau belanja apa ya?" Kata gue tanpa gue sadari.

"Lo lagi liat apaan?" Celetuk Nabila, yang kebetulan sekarang gue shift dua bareng dia gantiin Kinan yang tadi masuk shift satu.

"Enggak... Gue cuma lagi nunggu pesanan." Jawab gue seadanya. Sesekali gue juga melihat layar handphone gue yang sepi, beberapa kali juga gue mundar-mandir twitter balesin chatnya Vivi yang lagi ceritain soal viralnya situs web misterius yang katanya suka mengundang banyak anak-anak muda untuk melakukan permainan aneh atas dasar imingan uang tunai milyaran juta.

Sebetulnya gue juga sempat coba akses web ini karena penasaran, tapi sial, web ini punya ip di luar negeri, sementara gue gak bisa buka tanpa VPN. Tadinya gue yang penasaran juga sempet tanya apa Vivi udah coba buka website ini atau belum, dan ternyata sama, Vivi juga kesulitan login meski sudah pakai VPN.

Website aneh ini udah tersebar dimana-mana beritanya, sampai masuk minggu ini pun masih jadi trending nomor satu di twitter, gak turun-turun walau pun banyak berita viral lainnya bermunculan. Gak hanya itu, para konten kreator dari youtube dan tiktok juga gak henti-hentinya nyoba buat buka website ini, yang gilanya lagi mereka sampai harus sewa kemampuan hacker untuk meretas website ini, tapi gagal.

Sekalinya ada yang berhasil, malah konten settingan.

Semua konten kreator yang gue follow juga sampe ngebahas tentang website ini, dan dari salah satu channel kesukaan gue yang namanya Sepulang Kuliah, gue dapet info baru, konon katanya untuk bisa masuk ke website ini, lo harus punya akses khusus dari para agen atau mantan player dari website ini. Jadi setelah akses kita dapatkan, baru deh kita dibawa ke dalam permainan yang sesungguhnya. Dan ternyata para mantan player ini tersebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Pantesan, wajar aja kalau website ini gak bisa ditembus oleh siapapun, skalanya udah internasional begini, gue gak kebayang permainan apa yang bakalan disuguhi kalo gue jadi player disana.

Kayaknya gue bakal—

"Ram!"

"Oit, apaan?" Sial, lamunan gue pecah gara-gara Nabila manggil gue yang lagi rapihin barang di rak.

"Ada yang nyariin."

Gue kebingungan, "siapa?"

"Gak tau." Jawab Nabila sekenanya.

Grace kah?

Dan dengan secepat kilat gue langsung berlari kecil ke depan meja kasir. Namun ternyata dugaan gue salah, yang muncul di hadapan gue adalah kenalan lama SMA gue yang udah lama gak gue temui. Namanya Robby, dia senyum sambil melambaikan tangan kanannya. "Hai Ram!"

...***...

Kami mengobrol di luar Toko mumpung lagi sepi, Robby nyalain rokok yang dia keluarin dari balik sakunya, dan dengan entengnya Robby langsung menyerahkan selembar brosur asuransi ke hadapan gue.

Tentu saja tanpa basa-basi sedikitpun, sejak dulu gue dan dia memang gak pernah deket, gue juga berani taruhan, dia tau gue kerja disini bukan karena kita teman.

"Gue lagi ngumpulin member nih Ram, lo mau ikutan gak? Syaratnya gampang kok, toh kan lo harus menjamin kesehatan dan keselamatan lo kedepannya." Ucap Robby seraya tersenyum lebar, penampilan dia ini berantakan banget, gak kayak agen-agen asuransi pada umumnya. Jeans sobek, muka yang kusut, badan kurus, kacau pokoknya.

Tentu aja gue gak percaya kalo dia mau nawarin asuransi, dari sini aja gue udah bisa nilai kalo dia itu pecandu.

"Gak Rob, gue gak pakai asuransi, dan gak butuh-butuh banget." Ucap gue dengan nada penolakan.

"Ayo lah Ram, masa sih pekerja keras kayak lo gak butuh asuransi? Jaminan jiwa loh ini, kalo lo kenapa-napa lo ada backup!"

"Gue bilang gue gak butuh Rob, lo tawarin ke orang lain aja ya, sorry banget."

Akhirnya gue menjauh dari Robby dan kembali melangkah masuk ke Toko, tapi Robby malah narik lengan baju gue.

"Rama! Kalo lo mati gimana? Asuransi loh ini!"

"Kalo mati tinggal kubur."

Tapi gak cukup sampai situ, Robby ini kayaknya lagi sakau berat dan dia mulai bertindak anarkis.

"Tinggal bantuin temen yang lagi kesusahan apa sulitnya sih Ram? Anj*ng juga lo!" Teriak Robby, dia langsung lari ke arah gue dan menerkam badan gue sampai gue ambruk di lantai Toserba.

"Bangs*t! Lo ngapain anj*ng!?" Bentak gue sambil coba terus pukulin muka Robby, tapi memang dasarnya dia udah lepas kontrol, Robby sama sekali gak ngerasain pukulan yang terus menerus gue layangkan. Yang ada dia malah mencengkram kerah baju gue dan berusaha mencekik leher gue kuat-kuat.

"TINGGAL KASIH UANG AJA APA SUSAHNYA SIH BANGS*T!?"

Napas gue mulai menipis, cekikan dia betul-betul gak punya nalar sebagai manusia lagi, tapi gue bersyukur, kala itu tiba-tiba aja Nabila datang sembari membawa sapu dan dengan panik dia menghantam kepala Robby pakai gagang sapu itu sekuat tenaganya sampai-sampai Robby langsung melepaskan cengkraman tangannya dan gue pun lolos dari sergapan itu, melihat situasinya, gue pun tanpa pikir dua kali langsung nendang wajah Robby sampai hidungnya mimisan dan dia berlari kalang kabut dari Toserba kami.

Jantung gue mau meledak rasanya, gue sama Nabila saling tatap menatap, kami bener-bener gak bisa proses apa yang barusan kami alami. Kalau aja Nabila lagi gak diposisi sedang nyapu di area sales, mungkin kesadaran gue udah hilang, cengkraman Robby seketika memberikan bekas kemerahan di leher gue.

"Temen lo orang gila ya Ram!? Anj*ng kaget gue!" Cerocos Nabila marah-marah.

"Bukan temen gue Nab, maaf banget gue gak sangka kalo dia tiba-tiba kesurupan begitu."

Nabila terduduk lemas, dia masih meluk gagang sapu yang dari tadi dia bawa sambil gemetar.

"Leher lo gak apa-apa Ram?"

"Gara-gara lo tanya, gu-gue jadi susah ng-ngomong." Jawab gue serak dan terbata-bata.

Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nabila cuma menggelengkan kepalanya. Kemudian shift kami pun berlalu begitu saja sampai ke waktu closing dan pulang.

"Gue tungguin sampe bokap lo jemput Nab." Kata gue ke Nabila, kami udah di luar toko, gue duduk nungguin bokapnya Nabila dateng karena gue tau Nabila masih shock banget sama kejadian tadi.

"Gue malah lebih khawatir kalo lo diserang lagi Ram, siapa tau dia belum jauh? Bisa jadi kan dia nungguin lo?" Cecar Nabila.

Gue langsung mengeluarkan bracket shelving rak yang udah gue bawa dari gudang, "tenang aja, kalo dia muncul gue hajar mukanya pake ini."

Dan seketika Nabila lega, "awas aja lo kalo kena terkam kayak tadi lagi Ram, gak kebayang deh gue, amit-amit."

"Enggak, tenang aja, gue gak akan ketipu buat kedua kalinya."

Gak lama setelah itu datanglah bokapnya Nabila, dan akhirnya mereka pergi dari sini menuju rumah.

Gue pun akhirnya berjalan pulang juga.

Sepanjang jalan, gak henti-hentinya gue memperhatikan ke sekeliling, tiap ada gang gelap, tingkat kewaspadaan gue meningkat, dan tiap kali gue ketemu sosok manusia, gue selalu mempertajam penglihatan gue. Pokoknya malam itu terasa jauh lebih mencekam daripada hari-hari biasa.

Sebetulnya gue juga masih shock, gak gue sangka orang yang dari dulu gak pernah akrab sama gue tiba-tiba muncul dan berlaku seperti itu. Pake acara nawarin asuransi pula, padahal cuma mau minta uang, gue gak kebayang dia bisa senekat itu.

...***...

Badan gue rebah saat di atas kasur, sehabis minum air hangat, tenggorokan gue masih aja sakit, orang gila, hampir mampus gue malam ini.

"Rama kamu gak apa-apa?" Tanya nyokap gue yang mengintip dari balik pintu kamar.

"Gak apa-apa." Jawab gue singkat.

"Besok masuk apa?"

"Pagi, mah."

"Ya udah tidur, istirahat, besok mamah bangunin."

"Ya."

...***...

Semakin malam, saat jam terus berdetak melewati pukul satu dini hari, gue masih belum bisa tertidur.

Rasanya jadi ingat waktu sekolah dulu. Gue yang selalu diam di sudut kelas gak pernah punya satu orang pun teman yang bisa gue ajak ngobrol, masa-masa Sekolah gue selalu tanpa kesan karena gue menjauhi diri. Boro-boro kisah cinta monyet, punya sahabat aja enggak sama sekali.

Entah kenapa, gue cuma bisa akrab sama orang-orang di media sosial. Gue ngerasa lebih percaya diri ngebuka obrolan apapun sama mereka, dan rasanya juga lebih tenang karena gak harus kumpul-kumpul nongkrong ke luar rumah.

Mungkin itu juga sebabnya gue jadi kurang koneksi dan sekarang malah harus kerja di Toserba, gue sama sekali gak melihat jalur suksesnya, sial... Tiba-tiba gue merasa kalau masa depan gue makin gak keliatan aja.

Tubuh gue rebah ke arah kanan, kedua telinga udah disumpal earphone yang terus memutarkan lagu-lagu pop punk. Gue mencoba tenang dalam kesendirian, segala yang gue alami di hari ini gue proses satu per satu, dan gue memastikan diri bahwa hari ini gue udah melakukan semuanya semaksimal mungkin, walau pun kejadian tadi gila banget, gue gak ada penyesalan.

Akhirnya gue bisa tidur tenang.

...***...

Pagi pun tiba tanpa terasa, setiap pukul 5 gue udah harus sepenuhnya sadar. Seperti biasa, berangkat tanpa lupa pamit dan berjalan dengan masih membawa perasaan waspada. Gue gak pernah tau kapan kesialan akan menimpa, jadi gue harus siap sama segala kemungkinan terburuk.

Ini hari minggu, jalanan sepi karena semua orang-orang di Jakarta pasti bangun lebih siang menikmati weekend mereka. Beda halnya dengan gue yang hari weekend-nya ada di waktu weekdays.

Kegiatan bermula tanpa ada satu pun hal yang aneh, gue jaga bareng Nabila lagi karena dia bawa kunci cadangan. Kami memulai segala macam jobdesk kami dari yang paling banyak dulu, biasanya Nabila izin sarapan, tapi pagi ini dia memilih buat lebih sering ada di area sales entah kenapa.

Lagi asik-asiknya ngejalanin jobdesk hari minggu, tiba-tiba aja Grace muncul berbelanja ke Toserba ini. Gue kaget dia datang lengkap dengan pakaian olahraga tanda dia habis pulang jogging.

Nabila langsung melayani, dan ternyata Grace mau isi ulang galon air di kamar Apartemennya.

"Rama, bisa tolong aku bawa galon air gak?" Pintanya, tanpa pikir dua kali gue langsung menyanggupi dengan ramah.

Berjalanlah lagi kami, gue udah bawain galon air yang dia mau, seperti biasa Grace selalu ceria, dia cerita banyak hal yang dia alami akhir-akhir ini, dan sebagai pendengar yang baik, gue sama sekali gak motong cerita Grace, sepanjang ia bercerita tanggapan gue selalu antusias sama tiap pembicaraan yang dia bawa, Grace kelihatan senang dengan sikap gue.

"Taruh disitu aja Rama, gak apa-apa." Katanya, gue pun segera menuruti sementara dia langsung duduk melepas sepatu larinya.

"Saya langsung balik ya kak."

"Tunggu Ram!"

"Ada lagi kak?"

"Sebentar ya." Grace bangkit dari duduknya, terus dia buru-buru masuk ke dalam dan gak lama kemudian kembali lagi dengan keranjang belanja Toserba kami yang sempat dia pinjam.

"Nih Ram, aku sempet minjem keranjang tempo hari sama temen kamu, makasih ya!" Katanya, gue tersenyum sambil ambil kembali keranjang yang ditutupi plastik kresek hitam itu.

"Iya sama-sama kak, saya balik ya."

"Iya Rama."

Turun dong gue, santai sambil bawa keranjang, dan niatnya sambil buang plastik kresek ini, mungkin maksud Grace biar sekalian aja. Tapi setelah gue angkat kresek itu, gue kaget lagi untuk kesekian kalinya.

Sekarang ada sepuluh lembar uang seratus ribuan. Satu juta rupiah. Lo bayangin!

Tapi bukannya gue seneng, kali ini gue gak enak hati karena udah terlalu banyak. Akhirnya gue kembali lagi ke kamar Grace untuk mengembalikan uang tip ini dengan pura-pura ada barang dia yang tertinggal.

Gak lama setelah gue ketuk pintu kamarnya, dia pun langsung menyambut.

"Oh hai Rama, ada yang ketinggalan?"

"Enggak kak, ini ada uang di keranjang kakak mungkin ketinggalan." Jawab gue dengan tulus, dia pasang wajah bingung.

"Itu uang tip untuk kamu Ram, ambil aja, lumayan buat jajan." Sambungnya lagi penuh senyum, tapi tetep aja gue gak enak.

"Maaf kak tapi kebanyakan banget, saya gak enak nerimanya, soalnya kerja saya gak seberapa kok."

Gue pun menjulurkan tangan dengan uang tadi, tapi Grace malah mendorong tangan gue kembali.

"Pegang, Rama. Aku kasih kamu karena kamu orang baik. Ini gak seberapa juga kok dari sekian banyak yang aku punya, jadi gak usah gak enak hati ya, kalo aku kasih ambil aja."

"Tapi kak—"

"Rama!"

"I-iya?"

Grace menatap gue tajam, dia menarik kerah baju gue sampai wajah kami semakin dekat, kemudian dia berbisik ke telinga gue. "Akan aku beritahu apa pekerjaan aku dulu, tapi sebelum itu, kamu harus tau bahwa kamu gak bisa kembalikan apapun yang aku kasih."

Napas hangat dari mulutnya begitu memburu, membuat keringat dingin mulai menetes dari kepala gue, tanpa sadar... Gue menelan liur.

"Kamu paham, Rama?"

Gue cuma mengangguk tanpa melempar kata-kata.

Dia pun melepas jeratan tangan halusnya dari kerah baju gue, dan seketika gue mundur beberapa langkah karena terkejut bukan main.

"Kapan kamu libur kerja?" Tanya Grace lagi.

"Lu-lusa." Jawab gue gugup.

"Oke, lusa aku tunggu kamu di Zenobia Cafe, jam 8 malam. Bisa?"

"Bi-bisa, kak."

Dan Grace pun mulai menutup pintu kamarnya perlahan-lahan dengan senyuman dan mata yang masih tajam. "Jangan kabur loh kamu." Ucapnya lagi diakhiri tawa kecil yang misterius.

Gue degdegan bukan main, setelah itu akhirnya gue berjalan balik ke Toko sambil terus menerus memikirkan kata-kata dan Sikapnya Grace yang aneh. Gelagat Grace tiba-tiba berubah jadi sedikit liar ketimbang hari-hari biasanya. Gue gak sangka dia bisa begitu.

Tapi...

Dia akan kasih gue apa rahasia pekerjaannya dulu, gue gak akan melewati momen ini. Lusa, apapun yang terjadi gue harus menemui Grace.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!