Arvin mengerjakan tugas hukuman dari Sintia dengan sangat serius, bahkan dirinya tidak pernah sekalipun bertanya dan hanya berfokus untuk membaca serta menulis.
Semua ini berbeda dengan pemikiran Sintia yang menganggap bahwasanya Arvin adalah anak yang banyak bicara. Namun, apa-apaan ini? Kenapa dia sangat serius dalam mengerjakan tugas hukuman yang tidak penting ini?
Ya, memang benar ini semua tidak ada hubungannya dengan sekolah, entah untuk alasan apa Sintia memaksa Arvin untuk bersamanya dengan dalih memberikan hukuman.
'Dia sangat serius, apa mungkin ini adalah sifatnya yang sebenarnya?' Batin Sintia sambil melihat Arvin yang sedang mengerjakan soal.
Tak butuh waktu yang sangat lama untuk Arvin menyelesaikan tugasnya itu. Dia telah selesai dalam waktu yang cukup cepat, yaitu: 54 menit dari 120 menit yang diberikan oleh Sintia.
Sehingga masih ada satu jam lebih yang tersisa, namun Arvin dari awal berniat untuk segera pergi dari rumah Sintia dan mulai bekerja lagi. Kebetulan saat ini Arvin ingin melakukan hal yang sama seperti hari sebelumnya.
"Ini Bu, saya sudah menyelesaikan sesuai perintah ibu. Sekarang, apakah saya bisa segera pulang? Saya masih harus bekerja…" Ucap Arvin namun terhenti ketika melihat raut wajah Sintia yang tampak murung.
Sintia segera mengambil buku yang digunakan oleh Arvin untuk mengecek nilai akhir dari tugasnya itu. Namun, tanpa diketahui olehnya, untuk kedua kalinya Arvin mengintip jendela status miliknya.
Disana Arvin bisa melihat isi hati Sintia yang mengatakan: "Aku tidak menyangkal dia bisa secepat itu mengerjakan soal yang kesulitannya lebih tinggi dari semestinya. Aku tahu dia memang pintar, tetapi bukankah ini terlalu berlebihan? Jawabannya pun hampir semuanya benar. Ah, aku pikir dia akan menyerah terus memohon kepadaku, tapi ternyata aku lah yang akan seperti itu…"
Arvin mengerutkan keningnya ketika melihat isi hati dari Sintia. Dia terkejut dengan kata "Menyerah" dan "Memohon", dia tidak pernah menyangkal bahwa Sintia akan sekejam itu terhadap dirinya.
"Bagaimana Bu? Apakah saya bisa segera pulang?" Tanya Arvin seolah mendesak Sintia untuk segera menjawab.
"Emm… ya, walau lebih awal dari durasi yang ditentukan, tapi kau boleh pulang. Selamat, dengan ini hukuman mu telah selesai." Balas Sintia tampak tidak terlalu bahagia.
'Dia mengatakan itu dengan wajah yang kusut, imutnya…' Batin Arvin secara tidak sadar memuji Sintia.
"Selesai? Apa maksudmu, Bu? Masih banyak hukuman yang belum aku selesaikan, anda tidak boleh meringankan hukuman saya dengan alasan pribadi!" Ungkap Arvin merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengembalikan mood Sintia.
Mendengarnya, Sintia melirik dengan acuh, tetapi di dalam hatinya berbeda lagi: 'D-dia menyerahkan dirinya sendiri untuk mendapatkan hukuman dariku? Betapa gila nya dia, tetapi aku akan menerimanya dengan senang hati!'
"Ekhem, baiklah. Kau harus menerima hukuman dariku untuk satu Minggu kedepan! Persiapkan dirimu itu." Sahut Sintia sedikit malu-malu.
"Baiklah. Untuk saat ini saya akan segera pulang, terimakasih atas bimbingannya! Sampai jumpa, Bu!" Salam Arvin kemudian pergi keluar rumah Sintia dengan sendirinya.
"Dia pergi… bagaimana dengan bukunya ini?" Gumam Sintia sambil melihat ke tempat dimana Arvin berdiri sebelumnya.
***
Setelah mempersiapkan diri untuk bekerja, Arvin segera pergi ke tempat pekerjaannya dengan cepat. Dia berlari bagaikan kuda yang sedang balapan untuk mempertaruhkan kemenangan.
Tentu saja tidak ada yang melihatnya, karena jalanan yang Arvin lewati merupakan jalan yang cukup sepi. Itu wajar, karena lingkungan disekitar rumah Arvin mayoritasnya adalah orang yang sibuk dan selalu menutup diri dari keramaian, sama seperti Arvin.
Sesampainya di minimarket tempat ia bekerja, Arvin melihat Santoso sedang melayani satu pelanggan wanita yang sepertinya sedikit familiar di mata Arvin.
"Hey, Santoso. Gimana?" Tanya Arvin kepada Santoso yang sedang melayani pelanggan wanita.
"Eh, Arvin? Biasa lah, sama seperti sebelumnya!" Sahut Santoso yang telah semakin akrab dengan Arvin.
Mendengar nama Arvin, pelanggan wanita itu sedikit tersentak dan secara spontan menoleh ke arah Arvin berada.
Saat itu juga, perasaan familiar yang dirasakan oleh Arvin sebelumnya telah terkuak, dan wanita itu tak lain adalah Sena Apriliani yang kembali berbelanja minuman, sama seperti sebelumnya.
"Eh? Anda? Apa anda membeli minuman coklat lagi?" Tanya Arvin mendekati Sena dengan tatapan penasaran.
"M-memangnya kenapa?" Balas Sena sedikit meninggikan suaranya, namun dengan wajah yang sedikit tersipu.
'Dia kenapa? Perasaan aku selalu melihat wajahnya yang merona, mungkinkah dia masih mengingat kejadian kemarin? Ah, aku malu untuk mengingatnya…' Batin Arvin merasa sedikit aneh.
Sementara itu, Santoso yang sudah membungkus serta men-scan belanjaan Sena pun langsung bertanya kepada Arvin.
"Eh? Apa kalian saling kenal?" Tanya nya sedikit kebingungan dengan hubungan yang tampak rumit dari mereka berdua.
"Ya, begitulah. Beliau adalah bos ku di pekerjaan yang sebelumnya." Jawab Arvin sambil berjalan ke arah tempat kasir.
Santoso sedikit terkejut dengan pengakuan Arvin, namun jawabannya itu sesuai dengan tebakan Santoso. "Heh… ternyata hubungan kalian memang serumit yang aku kira…"
"Apa maksudmu?" Tanya Arvin sedikit penasaran dengan tebakan Santoso.
Namun, sebelum Santoso menjawabnya, Sena telah melakukan hal yang sama seperti hari sebelumnya dengan membanting uang ke meja kasir dan berlari keluar dengan barang belanjaannya.
"Kau tidak berniat untuk mengejarnya?" Tanya Santoso sedikit menggoda Arvin yang tampaknya sedang khawatir terhadap Sena.
Arvin menggelengkan kepalanya, kemudian duduk dengan wajah yang sedikit kebingungan, "Tidak perlu, palingan dia kebelet kencing."
"Kau cukup kejam dari yang kukira…"
Setelah itu, mereka berdua melakukan perbincangan ringan sambil menunggu pelanggan datang.
Dan benar saja, tak lama kemudian muncul pelanggan yang perlahan semakin banyak. Namun, mereka berdua tetap tenang dan melayani pelanggan dengan penuh senyuman lembut yang nyatanya berhasil membuat pelanggan wanita klepek-klepek.
Tentu saja, yang membuat mereka seperti itu adalah senyuman Arvin yang terlihat begitu mempesona. Itu wajar karena Pesona Arvin telah mencapai sebelas yang sudah lebih dari cukup baginya untuk membuat beberapa wanita terpesona.
"Ini Kak belanjaannya, harganya jadi 267.900 ribu ya, Kak!" Ucap Arvin dalam mode kasir.
"E-eh… Ini uang nya!" Pelanggan wanita itu tampak salah tingkah dengan tatapan Arvin yang begitu mempesona.
Arvin sedikit mengerutkan keningnya ketika melihat uang yang nominalnya kelebihan lima puluh ribu, "Tapi Kak, ini kelebihan lima puluh ribu!"
Bukannya mengambil kembali uang nya, wanita itu malah membalas Arvin dengan senyuman tipis dan berkata, "Ambil saja sebagai hadia! Makasih ya mas ganteng~" Balas wanita itu dengan centil, kemudian pergi keluar dengan langkah yang elegan.
"Hee~, enak ya jadi orang tampan. Padahal aku juga mau dapet uang tip dari pelanggan…" Sindir Santoso dengan canda.
Arvin tertawa ketika mendengar suara Santoso yang seperti anak kecil, "Hahaha! Inilah kekuatan orang tampan!" Balas canda Arvin sambil menepuk-nepuk pundak Santoso.
"Kau tak boleh murung kayak gitu, walaupun aku tidak bisa memberikan uang ini kepadamu. Tetapi, aku akan memberikanmu sesuatu yang lebih baik!" Ucap Arvin tampak serius.
Santoso pura-pura ketakutan ketika mendengar ucapan Arvin, "Kau… kau… kau homok!?"
"Ya nggaklah bodoh!!"
Arvin sedikit membentak Santoso dan memukul pundaknya dengan pelan. Kemudian, Arvin melanjutkan ucapannya sambil melihat ke arah luar karena takut jika dianggap sebagai orang tidak normal lagi.
"Yah, aku hanya ingin mengajak kau dan keluargamu untuk jalan-jalan." Ucap Arvin membuat Santoso sedikit tersentak, namun tertawa karena menganggap ucapan Arvin sebagai candaan.
"Hahaha!! Terimakasih telah menghiburku, tapi sejujurnya aku juga ingin melakukan itu dengan keluargaku. Paling tidak bisa membahagiakan mereka walau hanya sedikit…"
Melihat temannya yang malah terlihat murung, Arvin melanjutkan ucapannya lagi, "Kau kira aku bercanda? Asal kau tahu, aku ini orang yang selalu menepati janji. Jadi, saat hari cuti, aku akan mengajakmu serta keluargamu untuk jalan-jalan, tapi tenang saja, aku akan membayar semua biayanya."
Mendengar semua itu, Santoso tertegun dan tanpa sadar air mata mulai meluncur tanpa hambatan. Dia menangis karena merasa kesungguhan dari Arvin yang dia ketahui selama ini tidak pernah berbohong.
"Haish, kenapa kau malah menangis? Hari Minggu masih lama, jadi tunda lah tangisanmu itu untuk nanti. Jangan sekarang." Tegur Arvin yang tak ingin melihat temannya menangis, walaupun itu hanyalah tangisan kebahagiaan.
"Baiklah…" Lirih Santoso menjawab, sambil menyeka air matanya yang hampir salah akan terjun kebawah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Hades Riyadi
Lanjutkan Thor 😀💪👍👍👍
2023-05-28
0
Hades Riyadi
Bu Sintia pake muncul segala , biarkan laaahh mereka berantem duluuu...🤔🙄😩😀💪👍👍👍
2023-05-28
0