"Aah!! Ampun Bu, ampun!" Teriak kesakitan Arvin memohon ampunan kepada Sintia yang sedang memukulinya secara tidak manusiawi.
"K-kau sudah berani mengancam seorang guru! Ini hukuman yang pantas untukmu!!" Sintia tampak tidak ingin mengampuni Arvin, namun semua itu dilakukan untuk menutupi rasa malunya.
Ya, benar. Saat ini Sintia sedang menahan rasa malu karena rahasianya telah terbongkar oleh siswa yang sama sekali tidak dekat dengannya.
Sintia terus memukuli Arvin selagi wajahnya masih memiliki rona merah, dan itu berlangsung cukup lama bahkan hampir saja membuat Arvin pingsan karena dehidrasi.
Kenapa dehidrasi? Karena dia terus berteriak memohon ampunan, dan untung saja tidak ada lu serius yang tertinggal di tubuhnya. Jika tidak, maka bisa berbahaya untuk Sintia yang bisa saja diseret ke kantor polisi atas dasar menyakiti orang tanpa alasan yang jelas.
"Akhirnya anda berhenti memukuli saya…" Arvin bersyukur sambil mencoba untuk bangkit, "Sungguh guru yang kejam." Gumamnya, namun masih terdengar jelas oleh Sintia yang langsung menatap tajam dirinya.
"Itulah akibat karena telah mengancam seorang guru, tapi masuklah! Aku akan melakukan sesuatu pada luka memar mu itu." Ucapnya acuh tak acuh, kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan Arvin yang masih membersihkan debu dipakainya.
Setelah itu, Arvin segera masuk ke dalam rumah Sintia dan tak lupa juga untuk mengatakan salam. Namun, ketika sampai di ruang tamu ia tak bisa melihat sosok Sintia yang sepertinya telah menyatu dengan udara—
"Kenapa kau terus berdiri? Bukankah jelas di depanmu ada sofa, duduklah dan nikmati perawatan langsung dariku!" Ucapnya tanpa rasa malu.
'Hmm… ternyata dia cukup narsis untuk seorang guru yang dikenal tegas. Tapi tak masalah, itu masih bisa diterima.' Batin Arvin sambil mencoba duduk perlahan di sofa ruang tamu.
Tak lama kemudian Sintia mengikuti Arvin dan duduk disampingnya. Tanpa mengatakan apapun lagi, dia membuka kotak P3K untuk mengambil kapas dan alkohol dalam botol kecil.
"Auch… pelan-pelan Bu!" Meringis perih Arvin atas pengobatan Sintia.
"Berhentilah mengeluh! Jika kau terus seperti itu, maka akan ku akhiri sampai disini! Lagipula tubuhmu berotot seperti ini, tidak pantas untuk meringis seperti itu." Tegur Sintia tanpa mengalihkan pandangannya, dia tampak sangat konsentrasi.
"Baiklah…"
Arvin menatap wajah Sintia yang tampak serius, dan tanpa sadar senyuman terukir di wajahnya membuat suasana menjadi lebih romantis tanpa sebab.
Saat ini, entah mengapa ada dorongan kuat dari diri Arvin untuk terus menatap Sintia. Namun, semua itu berhasil dipatahkan oleh dering telfon yang bergetar di atas meja.
"O-oh, ada telfon yang masuk Bu. Kenapa tidak diangkat dulu?" Arvin sedikit gugup ketika memberitahukan kepada Sintia mengenai telfon tersebut.
"Hmm… biarkan saja dulu. Untuk saat ini aku akan mengobati mu. Tetap diam dan jangan banyak bergerak atau ku colok matamu itu!"
Melihat Sintia yang tampak cuek serta mengancam, Arvin tak bisa berbuat banyak dan mengiyakan untuk kedua kalinya.
Momen itu berlangsung cukup singkat dan akhirnya kecanggungan pun telah berakhir. Arvin yang selama ini sedikit menahan nafasnya mulai bernafas dengan lega, satu marabahaya telah berhasil dilewati.
"Kau tunggu dulu disini, aku akan menelfon dulu dan jangan sampai keluyuran tidak jelas!" Tegas Sintia disertai tatapan tajam membuat nyali Arvin langsung ciut.
"Baiklah…" Sahut Arvin bersuara rendah.
Setelah itu Sintia segera mengambil ponselnya, kemudian pergi ke ruangan belakang untuk menelfon seseorang. Namun, Arvin telah mengetahui siapa orang yang akan ditelfon oleh gurunya itu.
'Sebelumnya aku melihat kontak dengan nama 'Ayah', apakah itu ayahnya? Lalu kenapa dia tidak menjawabnya dengan segera? Mungkinkah… ah, lupakan! Toh bukan urusanku juga, niat awal ku kesini hanya untuk mengambil tas yang disita.' Batin Arvin yang tak ingin berasumsi lebih jauh lagi.
Tak lama kemudian Sintia kembali muncul, namun dengan wajah yang kusut. Sesaat Arvin berpikir bahwa asumsinya tepat sasaran, tapi dirinya tetap tak peduli.
Sintia melewati Arvin dengan acuh dan berjalan menuju ruangan lain. Tak butuh waktu lama, Sintia kembali dengan tangan yang menenteng tas sekolah Arvin.
"Nih, maaf karena telah membuatmu menunggu." Ucap Sintia sambil menyodorkan tas kepada Arvin.
"Tidak masalah, terimakasih." Arvin menerimanya dengan tenang, kemudian berdiri dan hendak untuk berpamitan, namun sesuatu membuat dirinya berhenti.
"Sebelum pergi, aku akan memberitahumu sesuatu." Celetuk Sintia membuat Arvin terheran.
"Iya, memangnya ada apa Bu?" Tanya Arvin yang tak tahan untuk segera pulang.
"Hmm… aku hanya akan memberikanmu hukuman lain. Mulai besok, kau akan melakukan tugas tambahan dariku. Tanpa ada penolakan, mengerti!?"
"M-mengerti…" Arvin tertunduk dengan lesu ketika mendengar ucapan Sintia yang lebih pantas disebut sebagai ancaman.
Arvin yang merasa tidak enak untuk berlama-lama, kemudian berpamitan dengan Sintia dan segera pergi dari rumahnya. Mengingat malam ini dia harus bekerja lagi, tak bisa jika harus membolos walaupun uang nya telah banyak.
Sejujurnya ini karena alasan pribadi, pada awalnya Arvin bekerja untuk mendapatkan uang. Tetapi sekarang, Arvin bekerja demi kesenangan dan kepuasan karena bisa mendapatkan uang dari hasil jerih payahnya sendiri.
Itung-itung bisa mendapatkan pengalaman untuk bekal nanti, sehingga dirinya sudah memiliki persiapan jika sialnya kehilangan sistem.
Dengan begitu, Arvin berlari menuju rumahnya, kemudian pergi ke tempat ia bekerja yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari rumahnya.
"Selamat malam. Bagaimana pekerjaan hari ini?" Tanya Arvin kepada teman bekerjanya yang masih sebaya dengannya.
"Haah, seperti biasa. Tidak terlalu rame, tapi tidak sepi juga. Kau sendiri bagaimana? Kenapa datang lebih awal hari ini?" Temannya terheran-heran sambil melihat Arvin yang perlahan menghampirinya.
"Kenapa? Kau tau sendiri, aku tidak memiliki aktivitas lain selain bekerja, bukan? Tidak ada salahnya untuk datang lebih awal, itung-itung membantumu sebelum bagian mu selesai." Balas Arvin sambil tersenyum tipis.
"Haah, kau memang selalu begini. Apa kau tidak masalah jika terus memaksakan diri seperti itu? Kudengar kau sedang bekerja di dua tempat." Tanya pria itu sekali lagi.
"Oh ya, aku belum menceritakan ini kepadamu. Aku telah dipecat dari pekerjaan itu tepat seminggu sebelum sekolah dimulai. Yah, alasannya karena tidak bisa memperkerjakan anak dibawah umur lagi." Arvin membalasnya dengan santai tanpa sedikitpun beban terlihat.
"Begitukah? Aku dengar juga peraturan itu telah diberlakukan di beberapa tempat, sehingga mulai sekarang akan sulit untuk mencari pekerjaan bagi orang seumuran kita. Tapi syukurlah tempat ini tidak memberlakukan peraturan itu." Ungkap pria tersebut merasa bersyukur.
"Yah, lupakan semua itu. Lebih baik kita segera fokus bekerja, dan kau siap-siaplah untuk pulang. Aku akan mengurus semuanya selagi kau bersiap-siap." Usul Arvin sambil tersenyum kearah temannya.
"Apa itu tak masalah?"
"Tentu saja, cepatlah sebelum aku berubah pikiran. Bukannya kau juga harus pulang lebih awal sebelum adik-adikmu merengek lagi?"
Untuk sesaat pemuda itu tertegun atas kebaikan Arvin, kemudian tersenyum tipis dan berkata, "Kau benar. Terimakasih." Sahutnya kemudian mulai bersiap-siap seperti yang dikatakan oleh Arvin.
Setelah semuanya selesai, pemuda yang bernama Santoso itu mulai melayani pelanggan walaupun sebagian telah ditangani oleh Arvin.
Santoso segera pergi untuk pulang setelah situasi menjadi tenang kembali dan meninggalkan Arvin yang masih memiliki pekerjaan hingga beberapa jam kedepan.
Namun Arvin tak mempermasalahkannya, dia justru merasa bahagia karena bisa meringankan beban temannya yang memiliki nasib sepertinya, tetapi dengan versi yang lebih berat.
Ya, Santoso adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dan kini dirinya harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya setelah kehilangan ayahnya yang tewas karena penyakit.
Walaupun begitu, Santoso tidak pernah mengeluh dan terus bekerja setidaknya sampai bisa memberikan makanan enak kepada keluarga kecilnya.
Keluarganya terdiri dari empat orang, ibu dan juga dua adiknya yang masih kecil-kecil. Dengan keluarga seperti itu, Santoso merasa sangat bahagia dan selalu menjalani hidupnya dengan senyuman.
Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa Santoso dulunya adalah anak berandalan yang selalu menyusahkan keluarga serta orang-orang disekitarnya.
Tentu saja hal itu mungkin saja terjadi, namun jika melihat kerja kerasnya yang sekarang, mungkin orang-orang akan berpikiran hal yang sama dengan Arvin.
"Dia orang yang hebat. Aku awalnya merasa bahwa dunia terasa sangat tidak adil, tetapi ketika melihat semangatnya, aku mulai berpikir bahwa dunia sangat adil jika setiap orang menikmati kehidupannya tanpa melihat duri yang ad# di bawah kakinya."
Arvin tersenyum lembut, kemudian mulai mengingat kehidupannya yang masih berada di kata "Beruntung". Mengingat di sisinya masih ada orang yang peduli, ditambah dengan kehadiran sistem yang mengubah nasibnya menjadi lebih baik lagi.
Ketika sedang sibuk dengan pikirannya, Arvin bisa melihat seorang wanita sedang memilih minuman yang berada di dalam lemari pendingin.
"Astaga, aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Ayo Arvin, fokus bekerja!" Gumam Arvin kemudian menampar lembut pipinya.
Sesaat setelahnya, wanita itu telah menentukan pilihannya kemudian berjalan menghampiri Arvin untuk membayar minumannya. Saat itu, Arvin tidak bisa melihat jelas wajah wanita tersebut karena tertutupi oleh topi.
Namun ketika kepalanya mendongak, Arvin terbelalak kaget, begitu pula dengan wanita tersebut yang sama kagetnya seperti Arvin. Bahkan minumannya sampai terlepas dari tangannya, namun masih beruntung karena mendarat sempurna di meja kasir.
"B-bu bos?" Lirih Arvin masih dengan keterkejutannya.
Suasana seketika berubah menjadi aneh karena pertemuan yang tidak terduga antara karyawan yang dipecat dengan bos yang telah memecatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Hades Riyadi
Lanjutkan Thor 😀💪👍👍👍
2023-05-08
0
Hades Riyadi
Like and Favorit 😀🤣💪👍👍👍🙏
2023-05-08
0
PASYA VOLDIGOD
ending yg sgt tidak bisa ditebak
2023-04-22
2